Sunday, July 13, 2014

KEMBALI KE BOGOR



TOURING  BOGOR – PALEMBANG – BOGOR (III)
KEMBALI KE BOGOR

Asphalt yang hitam masih berbalut embun
Menahan debu yang ingin berterbangan
Burung ciblek yang mulai keluar dari sarangnya
masih terlihat malu-malu memperdengarkan kicauannya

            Bunyi dari HPku yang mengalunkan nada alarm antelope kembali berdering subuh ini, mendahului bunyi adzan subuh yang dikumandangkan dari masjid kampung sebelah. Aku menggeliatkan badanku sebentar, kemudian segera menuju kamar mandi.
            Pagi ini badanku terasa segar setelah tidur siang kemarin yang cukup lama dan tidur lebih awal semalam. Istriku telah selesai mandi dan mulai membereskan pakaian yang harus dimasukkan kedalam side box motor. Setelah selesai sholat akupun mulai ikut membereskan semua bawaan yang kami turunkan saat sampai di Palembang hari Jumat malam kemarin.
            Sebelum berangkat kami memutuskan untuk tidak sarapan terlebih dahulu karena masih terlalu pagi, jarum jam masih menunjukkan pukul lima tepat. Aku menuju motor, memasukkan semua barang bawaan dan perlengkapan serta memeriksanya kembali supaya jangan sampai ada yang tertinggal. Bapakku telah membuka pintu pagar dan melakukan senam ringan untuk menjaga kesehatan tubuhnya. Diusianya yang telah lebih dari enam puluh enam tahun, wajahnya masih terlihat lebih muda dari usianya. Rambutnya masih terlihat hitam, jalannyapun masih gagah. Biasanya bapakku bersepeda sejauh 10 kilometeran setelah sholat subuh, namun pagi ini beliau hanya melakukan senam ringan saja karena ingin melihatku pulang ke Bogor.
      Aku menghidupkan motor, memanaskan mesinnya dan memeriksa kembali kesiapannya sebelum berangkat. Semua lampu aku coba nyalakan agar yakin semua masih berfungsi dengan baik dan tidak ada masalah. Klaksonnya mengeluarkan bunyi “tooottt” yang keras saat aku menekan tombolnya. Bapakku terkejut mendengar suara kencang yang keluar dari hela keong yang bertengger disisi kiri dan kanan engine guard si Kuning. Klakson ini baru kupasang di Bogor malam menjelang berangkat ke Palembang. Sengaja aku pasang klakson dengan suara kencang agar suaranya bisa di dengar pengendara kendaraan lain di depan saat aku melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi atau sebagai isyarat pada saat aku akan mendahului kendaraan di depan. Dengan klakson yang mengeluarkan bunyi standard sulit untuk meminta kendaraan yang berjalan lambat supaya lebih ke kiri, apalagi motor-motor kecil yang memenuhi jalan sampai ke jalur kanan walaupun dipacu dengan kecepatan yang rendah.
          Istriku telah siap, ibukupun telah berdiri di teras depan rumah. Aku menghampiri ibuku, memeluk dan menciumnya serta meminta didoakan supaya perjalanan kami lancar dan diberi keselamatan. Sebenarnya aku ingin kembali ke Bogor hari Senin saja supaya bisa menikmati pempek buatan adikku, tetapi istriku ingin pulang hari ini karena Senin malam dia akan ikut kursus menulis online.
           Jam 05.15, perlahan si Kuning mulai kujalankan meninggalkan halaman rumah kedua orang tuaku, lambaian tangan mereka mengiringi kepergian kami. Motor masih melaju perlahan, gelap masih enggan beranjak, sesekali semilir angin berhembus dan menggoyang daun-daun pohon di halaman rumah yang kami lalui.
      Jalan Mayor Zen masih sepi, hanya dua-tiga kendaraan saja yang lewat. Di persimpangan tiga jalan RE Martadinata aku membelokkan motor ke kanan memasuki jalan Patal – Pusri. Di Jalan inipun masih terlihat sepi, mungkin karena ini hari Minggu. Di persimpangan empat Kenten, aku melihat pagar seng yang berdiri di tengah jalan sepanjang kira-kira lima puluh meter. Di lokasi perempatan ini katanya akan dibangun fly over untuk mengurangi kemacetan.
           Dari jalan Patal – Pusri kami terus memasuki jalan R Sukamto kemudian ke jalan Basuki Rahmad. Dari jalan Basuki Rahmad kami terus ke Jalan Demang Lebar Daun kemudian belok kanan ke jalan Parameswara. Setelah keluar dari jalan Parameswara dan masuk ke jalan raya Polygon, kondisi jalan sudah tidak mulus lagi sampai dengan menjelang jembatan Musi II. Selain banyak lubang, batu-batu gravel berukuran besarpun banyak yang menyembul keluar.
            Tidak jauh setelah melalui jembatan Musi II aku meminggirkan motor dan masuk ke SPBU karena sejak sampai di Palembang si Kuning memang sengaja tidak aku isi supaya menjelang keluar dari kota Palembang aku bisa mengisi tankinya sampai penuh.Tanki yang berkapasitas 18 liter dengan jarak tempuh sekitar 20 kilometer perliter ini memang membantu saat melakukan perjalanan yang cukup jauh, apalagi di perjalanan yang tidak banyak terdapat SPBU yang menjual pertamax seperti di jalur lintas Sumatera ini.
           Dari persimpangan empat Sungki aku belok ke kanan masuk ke dalam jalan raya Palembang – Indralaya. Suasana Minggu pagi yang cerah belum juga mampu membuat keramaian lalu lintas di jalan ini hidup lebih awal. Embun yang turun ke jalan masih terlihat walaupun sudah mulai menipis, cahaya matahari pagi mulai nampak samar-samar menerobos embun yang bergerak lambat ditiup semilir angin.
        
Gerbang Indralaya
Aku memacu si Kuning dengan kecepatan antara 80 sampai 100 kilometer perjam. Embun dan angin yang menerpa tidak membuat badanku merasa dingin karena terbalut oleh jaket kulit yang cukup tebal. Jalan Palembang – Indralaya yang pagi ini cukup lengang dengan tikungannya yang lebar membuatku nyaman untuk meliuk-liukan motor tanpa mengurangi kecepatannya. Istriku yang duduk dibelakang ikut menikmati ayunan shockabsorber Showa yang ditanam pada kawasaki Versys ini.
Tugu Juang di Indralaya
          Hanya membutuhkan waktu 40 menit dari rumah orang tuaku ke Tugu Juang di Indralaya, kepadatan lalu lintas pada jalan yang tengah dicor seperti pada malam Sabtu yang lalu tidak tampak. Di sepanjang jalan Indralaya kami juga tidak melihat ada penjual sarapan di pinggir jalan. Untuk daerah yang tidak terlalu sibuk, kelihatannya sarapan di luar rumah bukanlah suatu kondisi yang normal. Sungguh berbeda dengan pulau Jawa, karena hampir di sepanjang jalan yang kami lalui saat touring kemanapun, penjual bubur ayam, nasi uduk, mie, lontong dan lainnya sudah bertebaran sejak habis subuh.
            Dari Indralaya aku terus memacu si Kuning kearah Tanjung Raja. Jalan yang masih lengang namun dengan kondisi yang tidak terlalu mulus tidak membuat si Kuning kesulitan. Warna hijau yang nampak dari barisan pepohonan liar yang didominasi dengan pohon pisang di sepanjang jalan ini sungguh menyejukkan. Dan ternyata tidak membutuhkah waktu yang lama kami sudah tiba di Tanjung Raja.
            Pasar Tanjung Raja cukup ramai di pagi hari. Banyak petani yang datang dari desa di sekitar kecamatan ini yang menawarkan hasil kebunnya, petani dari kecamatan lainpun banyak juga yang berjualan di pasar ini. Di Tanjung Raja juga terdapat pasar hewan yang cukup besar, aneka ternak seperti sapi, kerbau, kambing, domba bahkan hingga angsa dan bebek ramai ditawarkan. Pada saat masih kuliah sekitar tahun 1991, aku beberapa kali diajak oleh temanku berbelanja sapi disini. Dia yang profesinya sebagai penjual sapi dan daging di Palembang membeli sapi dari pasar hewan Tanjung Raja. Sapi-sapi itu berasal dari berbagai daerah di Sumatera Selatan, dibawa dengan menggunakan kapal dan mobil untuk bisa sampai di pasar ini. Sekali datang ke Tanjung Raja, paling sedikit dia akan membeli lima belas ekor sapi.
           Dari kak Anda, nama sahabatku itu, aku diajarkan juga cara menaksir bobot sapi. Melihat dari bentuk dan menepuk beberapa bagian tubuh sapi untuk mengetahui kepadatan dagingnya kita dapat menentukan berapa berat sapi itu saat berupa karkas setelah dipotong nanti. Dari perkiraan berat itulah kita menentukan berapa harga sapi hidup tersebut, tawar menawar dilakukan dengan saling memperlihatkan angka perhitungan di kalkulator masing-masing. Harga daging yang dipakai sebagai paktokan harga umumnya standard, selisih harga hanya diakibatkan dari selisih dalam memperkirakan berat sapi yang akan diperjual belikan.
            Selepas dari Tanjung Raja menuju Kayu Agung, di kiri kanan jalan banyak terlihat sawah yang ditaman penduduk di daerah rawa. Sawahnya terlihat menghijau menandakan tanah itu subur. Sungai kecil yang terletak di bibir jalan digunakan juga oleh penduduk sekitar sebagai sarana transportasi dengan menggunakan perahu-perahu dayung. Sejak kecil mereka sudah mahir mendayung perahu, membantu orang tuanya membawa hasil kebun mereka dan juga menggunakannya untuk berdagang.
           
Gerbang memasuki Kayu Agung
Memasuki kota Kayu Agung, jalan cukup jelek saat mendekati kawasan terminalnya. Lubang yang cukup besar banyak bertebaran di jalan tersebut. Sejak terakhir kali aku melawatinya dengan mobil hampir setahun yang lalu jalan berlubang ini sudah ada, artinya sudah hampir setahun perbaikan belum juga dilakukan padahal sudah mendekati bulan puasa.
           Di taman kota Kayu Agungpun sepi. Tidak nampak satu orangpun di taman yang bisa digunakan untuk rekreasi ataupun berolahraga ini, padahal ini hari Minggu. Mungkin melakukan olahraga pagi bukan hal yang umum untuk penduduk yang masyarakatnya kebanyakan petani atau pedagang, entah kalau sore hari nanti…barangkali penduduk akan banyak yang berekreasi di sini, terutama kaum muda-mudinya. Patung kapal dengan ukuran yang cukup besar berwarna coklat berdiri dengan megahnya di tengah taman. Cukup indah untuk taman kota yang ukurannya tidak terlalu luas.
          Jalan-jalan di sepanjang lintas timur Sumatera menyajikan pemandangan yang monoton dan sedikit membosankan. Yang sedikit berbeda hanya saat berada di Lempuing karena menyajikan pemandangan rumah-rumah Bali yang banyak memiliki rumah sembahyang yang bentuknya sangat indah. Patung-patung yang dibalut dengan kain bermotif kotak-kotak putih dan hitam serta sesajen berupa bunga-bungaan yang menjuntai yang ditempatkan di altar penyembahan terlihat sangat menarik, suasanya persis dengan yang ada di pulau Bali.
Tugu Batas Propinsi
            Jam 08.10 kami sudah tiba di perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung. Aku segera menepikan motor untuk mengambil photo sebagai kenangan. Istriku yang mungkin kakinya sudah merasa pegal sempat sempoyongan ketika turun dari motor dan nyaris jatuh ke dalam semak di pinggir gapura perbatasan. Sebenarnya gapura ini masih terletak di wilayah propinsi Sumatera Selatan, tidak sampai dua puluh meter lagi ada gapura yang terletak di propinsi Lampung dengan tulisan “Selamat Datang di Propinsi Lampung”.
            Tugu Perbatasan milik propinsi Sumatera Selatan ini kelihatan tidak dirawat, sangat kotor dan terdapat coretan. Di kaki gapuranya rumput dan semak liar tumbuh meninggi. Mungkin tugu ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting selain hanya sebagai penanda batas propinsi saja. Namun semestinya tugu ini dibuat sebagus mungkin dan dirawat dengan baik sebagai gambaran wilayah yang ada di dalamnya. Jika pemerintah propinsi kesulitan untuk melakukan perawatan bisa saja semestinya dialih tanggung jawabkan ke pemerintah kecamatan dan diteruskan ke pemerintah desa, yang penting biaya perawatan tetap menjadi tanggung jawab pemerintah propinsi. Tapi mungkin ada benarnya juga tugu tersebut memang tidak perlu dirawat karena sudah melambangkan kondisi propinsi Sumatera Selatan yang juga terlihat kurang terawat. Hasil observasi di kota Palembang satu hari kemarin ditambah perjalanan melalui jalan lintas timurnya memberikan gambaran mengenai kondisi ini.
            Jam 08.30, beberapa saat setelah memasuki daerah Mesuji Lampung, aku kembali mengisi bahan bakar si Kuning sekalian untuk sarapan pagi. Bekal roti dan minuman isotonic yang semalam dibeli aku keluarkan dari side box, kemudian kami duduk di teras depan kantor pegawai SPBU ini, menikmati sarapan dan meluruskan kedua kaki sambil memperhatikan satu-dua kendaraan yang mengisi bahan bakar.
            Setengah jam kemudian kami kembali melanjutkan perjalanan, menikmati jalan-jalan yang tidak mulus dan mendahului beberapa truk yang berjalan lambat karena berusaha menghindari lubang. Dengan muatan yang terkadang sangat tinggi, truk bergoyang-goyang seperti hendak jatuh. Akupun meliuk-liukkan si Kuning, mengikuti gelombang jalan dan memilih bagian yang lebih mulus. Dengan torsi motor yang cukup besar dan posisi duduk yang tegak, melewati jalan seperti ini sungguh bukan suatu hal yang mangesalkan karena tidak membuat letih dan terasa menyenangkan.
            Belum sampai jam sepuluh pagi ketika kami sudah sampai di pasar Tulang Bawang. Lalu lintas tidaklah begitu ramai, mungkin karena sudah lewat ”jam pasar”. Menjelang lebaran, pasar Tulang Bawang menjadi salah satu tempat yang dapat menghambat perjalanan karena macet. Seperti umumnya pasar di manapun, badan jalan selalu dijadikan tempat berdagang oleh pedagang kagetan untuk menggelar dagangannya.
        Di persimpangan tiga Menggala aku membelokan motor ke kiri, menuju arah Sukadana. Terkadang si Kuning sesekali aku pacu sampai kecepatan 127 kilometer perjam, walaupun ada satu dua lubang disepanjang jalan ini namun aku tidak begitu kuatir karena masih bisa terlihat dari jarak yang cukup aman untuk menghindar. Apalagi dengan rem ABS yang tertanam, pengereman menghasilkan gerakan motor yang lembut dan membuatnya tidak oleng. Tidak jarang istriku mengingatkan untuk menurunkan kecepatan karena ingin menikmati perjalanan, disamping mungkin karena kuatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
            Masih di daerah Sukadana, namun telah melalui gerbang “Selamat Jalan” dari kota Sukadana, kami kembali melalui jalan yang rusak cukup parah. Batu-batu kali dan pecahan yang berukuran besar menyembul dari jalan yang bergelombang. Mobil-mobil berjalan sangat perlahan, apalagi mobil truk yang membawa muatan berat. Motor kecil masih bergerak lincah mencari jalan yang bisa dilewati.
            Aku mencoba melewati jalan jelek tersebut tanpa harus memilih jalan yang bagus, mecoba ketangguhan motor Kawasaki ini, ground clearancenya yang cukup tingi dengan long travel suspension seharusnya tidak akan menjadi masalah. Ternyata memang benar, jalan jelak tersebut dengan mudahnya bisa dilalui, apalagi saat ini kondisinya kering sehingga aku tidak kuatir roda motor akan slip dan terjatuh.
            Di beberapa tempat yang kondisinya jelek berhasil kulalui dengan aman, namun di jalan yang sedikit menanjak dengan lubang yang cukup dalam di penghujung daerah Sukadana aku salah memperkirakan ketinggian tepi lubang dengan bagian bawah motor saat mencoba mendahului mobil innova hitam yang bergerak pelan. Suara halus yang seharusnya keluar dari knalpot kawasaki Versys ini tiba-tiba berubah menjadi bunyi yang keras menakutkan…trototototototot….
            Aku dan istri terkejut, beberapa pengemudi motor dan mobil menoleh ke arah kami begitu mendengar bunyi mesin yang tidak lagi merdu dengan suara yang cukup memekakkan. Namun aku tidak segera berhenti dan memperkirakan bunyi itu pasti berasal dari bagian tabung knalpot yang robek karena tergesek batu.            
            Si Kuning masih saya kujalankan, melalui lagi beberapa jalan yang jelek. Namun saat melalui jalan mulus, baru terasa bahwa powernya gembos. Tarikannya menjadi loyo dan akselerasinya benar-benar memble. Wah, ini berarti aku harus cepat berhenti untuk memastikan kerusakan yang terjadi pada knalpot tersebut.
Nungging periksa knalpot
             Aku menepikan motor pada sisi jalan yang agak lapang. Setelah aku dan istriku turun, aku segera jongkok dan mengintip bagian bawah si Kuning. Ternyata sambungan saluran buang dari mesin dengan saluran masuk tabung knalpot terlepas dan terlihat kempot. Melihat dari baut yang terpasang aku memperkirakan bahwa posisi baut ini lebih mendekati tanah dibanding tabung knalpotnya sehingga baut tersebut tersangkut dibatu. Seandainya diposisikan nol derajat atau benar-benar horizontal, mungkin batu tersebut hanya akan menggesek tabung knalpotnya saja.
            Tidak berapa jauh dari tempat kami berhenti, ada bengkel motor yang halamannya cukup luas. Motor segera aku masukan ke halaman bengkel. Orang-orang yang ada di bengkel melihat ke arah kami begitu mendengar ada suara trotototototot…
            Aku permisi dengan pemilik bengkel untuk menumpang memperbaiki knalpot karena tiga montir yang ada kulihat sedang sibuk memperbaiki kendaraan lain. Kalau harus menunggu aku kuatir akan kehilangan banyak waktu, jadi lebih baik aku kerjakan sendiri saja terlebih dulu.
Mbengkel
            Aku membuka side box, kemudian mengeluarkan kunci L dan kunci shocket. Bagian aksesoris di samping Versys banyak menggunakan baut dengan kepala untuk kunci L. Istriku duduk di bangku panjang yang terletak di teras bengkel sambil melihatku mulai membongkar bagian demi bagian samping motor supaya bisa melepaskan tabung knalpot.
       Selagi aku masih sibuk berkutat mengatasi masalah ini, istriku yang tidak bisa menahan rasa laparnya mengajak untuk mencari makan siang lebih dulu dengan alasan kuatir sakit mag-nya kambuh. Aku yang selalu kehilangan nafsu makan bila sedang asyik mengerjakan sesuatu mempersilahkannya untuk makan sendiri. Nanti setelah selesai memperbaiki knalpot, mudah-mudahan selera makanku akan timbul kembali.
           Setengah jam kemudian, salah satu montir yang telah selesai memperbaiki motor datang membantuku. Aku meminta diambilkan besi bulat atau pipa tebal untuk membundarkan kembali bagian ujung knalpot dan clampnya yang penyok.        
           
Dibantuin Montir
Ternyata melakukan pekerjaan ini tidak semudah yang aku bayangkan, plat clamp dan ujung knalpot terbuat dari besi yang cukup keras. Mebutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuatnya bisa kembali ke bentuk semula. Keringat semakin membasahi bajuku karena udara yang cukup panas, sebotol air mineral ukuran 600ml tandas dengan cepat.
  Setelah pekerjaan ini selesai, berikutnya adalah mengembalikan tabung knalpot tersebut ketempatnya semula dan memasang kembali semua tutup body di samping kiri dan kanan. Ketika mesin dihidupkan dan gas dibuka agak besar, bunyi yang keluar dari knalot sudah kembali halus. Aku menarik nafas lega. Walaupun harus kehilangan waktu hampir satu setengah jam, namun bunyi trotototot yang memekakkan telinga sudah tidak terdengar lagi dan berharap tarikan si Kuningpun menjadi enteng kembali.
Di jalan yang cukup mulus, aku mencoba untuk memacu kecepatan sampai 125 kilometer perjam, juga mencoba akselerasinya dengan melakukan pemindahan dari gigi besar ke gigi kecil saat hendak mendahalui kendaraan di depan dengan jarak yang cukup dekat. Alhamdulillah semua sudah kembali seperti semula.
Macet menjelang Bakauheuni
Menjelang masuk ke area pelabuhan ternyata sangat macet karena banyak truk dan mobil yang antri menuju pelabuhan. Aku berusaha selap-selip mencari celah agar tidak tertahan dalam antrian ini. Dengan posisi mengemudi yang tegak, apalagi setelah aku pasang penambah tinggi dudukan setang, kegiatan selap-selip ini cukup mudah bisa dilakukan. Sekitar jam 14.30 kami sampai di pelabuhan Bakauheuni dan menuju dermaga satu setelah membayar karcis masuk. Namun sayang, kapal yang tengah bersandar dan bersiap berangkat sudah penuh sehingga kami diminta untuk menunggu kapal ferry berikutnya yang akan berangkat sekitar setengah jam lagi.      
Menunggu naik ke Ferry
Sambil menunggu naik ke dalam kapal ferry berikutnya, aku duduk di depan kedai minum dan memesan segelas white coffe untuk menghilangkan kantuk yang mulai datang. Istriku yang melihat rumah makan berada disebelah kedai ini menawariku untuk makan siang. Karena masih malas makan aku minta suaya dibungkuskan saja dengan lauk sepotong ayam dan sepotong rendang untuk di makan di atas kapal.
Setelah tiga puluh menit, akhirnya aku diminta petugas untuk naik ke atas kapal. Dengan berjalan kaki istriku naik lebih dahulu melalui jembatan kendaraan untuk mengambil photo dan mencoba mencari ruang ekskutif supaya bisa lebih nyaman beristirahat nanti. Ada banyak motor yang juga akan menyebrang ke Merak, namun hanya aku yang menggunakan motor besar dalam penyeberangan kali ini.
Naik ke Ferry
Walaupun belum masuk hari libur yang panjang, ternyata banyak juga mobil dan motor yang naik ke atas kapal. Kendaraan ini tempatkan di dek atas, sementara truk di tempatkan di dalam lambung kapal. Kondisi kapal ferry ini kelihatan tidak baik, mungkin hanya memenuhi syarat laik berlayar saja. Banyak cat yang sudah terkelupas dan memudar, sebagian ada yang mulai keropos dan karatan. Seperti kebanyakan fasilitas umum yang ada di Indonesia, walaupun dek tempat parkir motor cukup jauh dari kamar mandi namun bau pesing masih bisa tercium sampai tempat ini.
Ternyata ruang eksekutif dalam kapal ferry ini tidak sebagus kapal ferry sebelumnya yang kami tumpangi saat menyeberang dari Merak ke Bakauheuni. Disamping telah penuh terisi, kursi yang adapun sudah banyak yang kondisinya rusak. Bayangan bisa tidur diatas kursi hilanglah sudah, berganti dengan pemandangan yang cukup membuat tubuh semakin lelah.
Setengah jam sudah kami berada di atas kapal namun belum juga terdengar bunyi tooooott yang panjang tanda kapal akan berangkat, entah sedang menunggu apalagi. Karena mulai terasa lapar, aku keluarkan bungkus nasi dari dalam kantong kresek hitam, kemudian memakannya dengan cepat. Daging ayam dan rendang yang sudah mulai mengeras karena mungkin terlalu sering dihangatkan kali ini terasa enak.
Karena mengantuk, aku mencoba untuk tidur sambil duduk. Penumpang di ruang eksekutif ini bertambah ramai, bau keringat mulai menebar, mungkin juga termasuk keringatku yang mengalir deras saat memperbaiki motor tadi. Aku melepas sepatu supaya kakiku bisa “bernafas” dan mengeringkan keringat. Alhamdulillah, ternyata tidak ada aroma yang tidak sedap yang keluar. Aman, artinya tidak akan ada penumpang lain yang bakal protes.
Beberapa saat kemudian terdengar suara khas ttoooooottt yang panjang, dari jendela aku lihat kapal mulai bergerak perlahan meninggalkan dermaga. Tali temali mulai ditarik dan digulung. Di sebelah tempat kami duduk, seorang bapak tua yang kelihatan seperti pensiunan tentara sedang asyik menceritakan kelebihan salah satu calon presiden yang menjadi jagoannya dalam pilpres mendatang, berharap dua orang ibu yang menjadi pendengarnya akan ikut memilih calon yang sama. Suaranya terdengar begitu berapi-api.
Suasana di kapal ferry kali ini terasa menjemukan, ditambah lagi rasa kantuk yang semakin berat namun tidak bisa aku salurkan. Di depan ruangan terdengar suara penyanyi yang sambil bermain orgen menyanyikan lagu-lagu yang ngetop pada era tahun 80-an. Sesekali dia mengajak para penumpang untuk maju ke depan dan ikut bernyanyi.
Di anjungan ferry
Setelah beberapa jam kapal berlayar aku belum juga bisa tidur walaupun rasa mengantuk menyerang begitu hebat. Berkali-kali mulutku menguap dan membuat mata berair. Mungkin ini karena pengaruh minum white coffe tadi. Akhirnya aku mengajak istriku untuk berphoto di anjungan kapal. Angin sore yang bertiup kencang membuat udara menjadi sejuk. Di anjungan ini banyak orang yang duduk-duduk dan berdiri di pinggir kapal untuk melihat pemandangan laut. Dari jarak yang tidak terlalu jauh pelabuhan Merak sudah terlihat. Paling lama mungkin empat puluh menit lagi kapal akan merapat. Barisan cerobong asap pabrik juga terlihat cukup jelas, cerobongnya yang tinggi menjulang mengeluarkan asap berwarna putih keabu-abuan. Di sebelah kanan kapal ferry ini, aku juga melihat banyak kapal-kapal kecil milik nelayan yang bergerak menuju keramba yang terapung dan bergerak naik turun dipermainkan gelombang laut.
Keburuntungan ternyata belum mau berpihak pada kami. Karena menunggu antrian untuk berlabuh, kapal ferry ini harus berhenti dalam jarak yang sebenarnya sudah dekat dekat dermaga. Aku menggerutu dan mengomel, harapan untuk bisa sampai di Bogor sekitar jam sepuluhan malam sulit untuk bisa terjadi. Semakin malam akan semakin lambat pula laju motor untuk antisipasi kondisi jalan yang kurang bagus disamping jarak pandang yang terbatas. Belum lagi bayangan akan daerah rawan setelah daerah Jasinga membuatku cukup kuatir karena saat ini aku berboncengan dengan istri.
Tepat jam tujuh malam, kami baru turun dari kapal. Indikator penunjuk bahan bakar si Kuning sudah menunjukkan posisi seperempat karena saat di Lampung tadi aku sengaja mengisinya hanya satu kali supaya bisa mengisi dengan pertamax sampai penuh saat di Cilegon nanti. Menggunakan premium dengan nilai oktan yang rata-rata hanya 88 membuatku tidak nyaman karena takut dapat merusak fuel pump.
Setelah mengisi bahan bakar, kami memutuskan untuk menginap saja di Serang karena jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Disamping mengantuk, aku juga masih kuatir dengan kondisi jalan yang akan kami lalui karena saat touring ke pantai Carita bulan Februari yang lalu kondisi jalan di daerah Pandeglang, Rangkas Bitung dan Jasinga masih ada yang cukup jelek.
Jam delapan malam lewat beberapa menit kami sampai di hotel Mahadria yang terletak di jalan Ki Mas Jong kota Serang. Setelah memarkirkan motor di depan lobby aku dan istri segera menuju receptionist untuk menanyakan kelas kamar yang tersedia. Hotel ini tidak begitu ramai oleh tamu yang menginap, sehingga masih banyak pilihan kamar yang tersedia. Setelah berunding singkat, kami memutuskan untuk mengambil kamar type deluxe saja karena disamping harganya cukup murah, juga karena kebutuhannya hanya untuk tidur, besok jam lima pagi kami sudah harus berangkat lagi menuju Bogor supaya sampai di sana nanti tidak terlalu siang.
Alarm dari HPku berbunyi keras, akau membuka mata dan melihat ke jam tangan, jam 04.30. Aku masih mengantuk, tidur yang dimulai dari jam sembilan tadi malam ternyata belum bisa menghilangkan rasa kantuk yang mendera. Istriku telah selesai mandi dan bersiap untuk sholat subuh, adzan belum berkumandang. Aku mencoba untuk berdiri, setelah menggeliatkan badan dan mengambil handuk aku segera menuju kamar mandi.
Setelah menyerahkan kunci kamar ke petugas hotel, kami mulai bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan pulang. GPS aku hidupkan dan mulai memilih kota Bogor sebagai tujuan akhir. Namun baru beberapa saat hidup, mendadak GPS ini langsung mati. Aku coba untuk hidupkan lagi…kali ini malah mati saat sedang proses searching. Kucoba lagi, mati lagi…sampai beberapa kali.
 Akhirnya aku menggunakan google maps dari HPku dan langsung memasukan Bogor sebagai destination. Tanpa memeriksa route jalan yang dipilihkan google, aku langsung saja mengikuti arah yang ditunjukkan atas instruksi istriku, dia yang duduk diboncengan bertindak sebagai navigator karena aku tidak mempunyai HP holder di motor ini.
Baru saja jalan beberapa ratus meter, aku merasa ada yang tidak beres dengan jalan yang akan kami lalui karena mengarah ke jalan yang kecil, mungkin jalan perumahan. Aku menanyakan ke istriku apakah sesuai dengan jalan yang ditunjukkan google maps, dia seperti kebingungan dan berkata “Kelihatannya berlawanan, kang…” oalah…ternyata memang berlawanan, seharusnya saat dipersimpangan tiga tadi aku mengambil ke arah kanan, ternyata malah diinstruksikan belok ke kiri.
Apa boleh buat, si Kuning aku putar balik. Jalan masih sepi, baru dua tiga mobil dan motor saja yang nampak di jalan. Dengan menghidupkan fog lamp supaya jalan kelihatan lebih terang, aku memacu motor dengan kecepatan 90 sampai 100 kilometer perjam, mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh google maps.
Macet di pasar Tambak
Menjelang pukul enam kurang, aku baru sadar kalau ternyata google maps mengarahkan untuk melalui jalur Tangerang kembali setelah kami terjebak dikemacetan pasar Tambak. Jalan yang sebenarnya sangat lebar ini benar-benar macet total. Semua jalan dipenuhi oleh motor dan mobil dengan arah yang sama, padahal ini bukan jalan satu arah. Dari arah berlawanan, semua jalan juga tertutup oleh kendaraan dengan arah yang sama berawanan dengan arah kami. Benar-benar kacau, entah siapa yang memulai untuk saling serobot.
Hampir empat puluh menit kami tertahan di pasar Tambak ini, bergerak maju sangat sedikit. Saat aku tanya, pengemudi motor disebelah menerangkan bahwa setiap pagi sebelum jam enam sampai jam delapan jalan ini selalu macet karena di depan ada persimpangan empat dan semua pengemudi selalu saling serobot, walaupun ada traffic lightnya. Tidak peduli lampu berwarna merah, mereka tetap saja jalan. Wuaaaalaah….…
Hanya lewat beberapa puluh meter dari persimpangan empat pasar Tambak, jalan sangat lengang. Aku lajukan si Kuning dengan kecepatan yang cukup tinggi. Jalan yang lebar dengan kerusakan yang sedikit membuatku dengan mudah untuk meliuk-liukan motor ber-cc 650 ini. Saat kondisi jalan begini, Versys 650 terasa sangat ringan seperti sedang mengendarai scoopy saja. Akselerasinya yang cukup cepat dengan tenaga yang tebal tidak membuat mental menjadi lelah saat ingin segera take over kendaraan di depan.
Di depan Indomart di jalan raya Serang - Tangerang kami berhenti untuk membeli minuman sekalian sarapan karena kebetulan ada penjual lontong sayur yang tengah mangkal disitu. Awalnya, istriku yang merasa tampilan lontong sayur ini berbeda dengan lontong sayur yang pernah dijumpainya spontan menanyakan apa nama makanan itu. Ketika penjual menyebutnya lontong sayur, alisnya langsung berkerut dan berguman “Kirain jenis makanan baru…eh, ternyata lontong sayur…” Aku tersenyum sambil terus menyuapkan potongan lontong ke dalam mulut.
Selesai makan lontong, beristirahat dan buang air kecil, kami bersiap-siap lagi untuk melanjutkan perjalanan. Matahari mulai merangkak naik, namun panasnya belum terasa. Lalu lintas mulai menggeliat, kendaraan di jalan mulai membanyak. Beberapa kilometer di depan mungkin ada pabrik karena pengemudi motor yang aku lihat banyak yang mengenakan seragam dan sepatu kerja.
Sebelum berangkat aku masih sempat bertanya dengan penjaga Indomart yang sedang menyapu teras depan jalan terpintas menuju Bogor. Dia yang ternyata berasal dari Tasikmalaya menjelaskan dengan begitu detil..bla-blanya…melalui jalan ini dan melalui jalan itu. Dia juga menyarankan untuk masuk melalui komplek perumahan ??? (lupa perumahan apa) supaya jalannya lebih singkat. Hampir sebulan sekali dia pulang ke Tasikmalaya dengan menggunakan motor bebeknya. Yang kuingat, jalan yang diberitahunya adalah melelalui jalur gunung Sindur. Membayangkan gunung Sindur, aku langsung menghayal akan bisa mendapatkan pemandangan bagus khas daerah pegunungan dengan udaranya yang sejuk. Semoga.
Karena sebenarnya masih belum begitu paham dengan jalur yang diterangkan, sudah tentu aku tetap menggunakan google maps karena GPS yang terpasang di motor benar-benar bermasalah. Mendekati persimpangan tiga setelah beberapa kilometer berjalan, kebingungan mulai terjadi. Google maps menunjukan aku harus memutar arah untuk segera memasuki jalan yang kelihatannya tidak begitu besar, sedangkan bila mencoba mengingat petunjuk yang diberikan oleh pegawai Indomart tadi aku masih harus terus berjalan.
Aku menghentikan motor dan berunding dengan istriku untuk memilih mana petunjuk yang harus diikuti. Dan setelah diskusi sebentar, akhirnya kami sepakat untuk mengikuti jalan yang ditunjukkan google maps.
Si kuning segera aku putar arahnya dan menuju jalan yang tidak begitu besar di sisi kanan jalan ke arah kota Tangerang. Jalan ini tidak begitu ramai dan kelihatannya menuju arah perumahan atau komplek industri. Jalan yang lurus dengan kondisi yang lumayan bagus ternyata tidak panjang, kurang dari dua kilometer saja kami sudah disuguhkan dengan kondisi jalan yang sangat jelek, bergelombang dengan batu-batu kali yang bermunculan dengan ukuran yang besar. Aku menghentikan motor dan meminta istriku untuk turun saat melalui bagian jalan yang kuperkirakan dapat menyentuh bagian bawah motorku, kuatir kejadian seperti di Sukadana-Lampung terulang lagi.
Kemacetan karena pekerjaan pengecoran jalan
Selepas dari jalan ini, ternyata masih banyak jalan-jalan kecil yang padat, macet dan jelek kondisinya harus kami lalui. Beberapa kali google maps menunjukkan arah jalan yang salah. Aku dan istri mulai sedikit frustrasi karena membayangkan ingin segera sampai di Bogor. Bahkan pernah karena yakin dengan arah yang ditunjukkan dan juga jalan tersebut cukup lebar, kami mengikuti saja dan menyelusuri jalan tersebut, namun baru beberapa ratus meter ternyata jalan itu jalan buntu yang berakhir di pemakaman umum. Waduh, cilaka….
Apa boleh buat, kali ini petunjuk menuju Bogor harus ditambah dengan feeling dan nanya sana-sini. Seringkali saat google maps menyuruh belok, aku tetap saja melajukan si Kuning karena tidak yakin bahwa petunjuknya benar.
Sekitar jam sembilan lewat beberapa menit, di stasiun pengisian BBM di daerah jalan raya Rumpin kami berhenti untuk mengisi bahan bakar dan beristirahat. Battery HPku sudah menunjukkan angka 10 persen saja. Artinya tidak lama lagi petunjuk jalan hanya tinggal by feeling dan tanya-tanya saja. Kondisi jalan yang hampir merata jeleknya ditambah petunjuk jalan yang tidak jelas memang bukanlah hal yang menyenangkan, tetapi jelas akan membuat rasa bahagia yang lebih disaat berhasil melaluinya.
Sebelum menyalakan mesin si Kuning saat mau melanjutkan perjalanan tiba-tiba aku teringat membawa power bank yang dalam kondisi penuh. Aku segera membuka tank bag dan mengeluarkan power bank tersebut, kemudian menyambungkan kabelnya ke HP dan memberikannya ke istriku.
Kami segera melaju kembali, jalan masih kecil dan jelek juga ramai. Dari google maps kelihatan jarak tempuh sebenarnya hanya tinggal sekitar delapan puluh kilometeran saja, jadi kalau kondisi jalan lumayan bagus, dalam waktu sejam lebih sedikit kami sudah bisa sampai ke Bogor.
Rombongan kerbau
Sepanjang jalan yang kami lalui benar-benar jalur enduro. Bayangan melalui rute gunung Sindur akan mendapatkan pemandangan yang indah pupuslah sudah. Sepanjang daerah Rumpin jalannya benar-benar rusak dan sebagian menjadi licin karena disiram supaya tidak berdebu. Menumpuh jaur ini benar-benar butuh ekstra kehati-hatian, apalagi ada beberapa titik yang jalannya naik turun dan berbelok. Belum lagi di sebagian jalan yang tengah diperbaiki, debunya tebal beterbangan dan menempel sehingga motor dan tubuh kami menjadi putih sebagian. Hanya ada sebagian kecil saja jalan yang punya pemandangan indah sawah yang hijau dan bukit (mungkin gunung Sindur) serta penggembala yang sedang menggembalakan kerbaunya dalam jumlah yang banyak.
Sesampai di jalan haji Miing, kondisi jalan belum juga membaik. Di beberapa lokasi sedang dilakukan pengecoran jalan sehingga terjadi kemacetan yang panjang. Beberapa kali juga aku harus mengendalikan si Kuning sampai ke pinggir jalan yang licin supaya bisa tetap lewat saat ada mobil dari arah berlawanan di jalan yang sedang di concrete tersebut.
Selepas dari jalan Haji Miing kami memasuki jalan Satelit Ranca Bungur, di jalan inipun kondisinya setali tiga uang. Namun kami sudah mulai bisa bernafas lega karena jarak ke Bogor sudah semakin dekat dan arahnya semakin jelas. Kemacetan mulai semakin terasa karena banyaknya jalan yang sedang diperbaiki. Tidak sedikit pengemudi motor dan penduduk di pinggir jalan yang memperhatikan kami. Body motor yang besar, side box pannier yang nempel di sisi kanan dan kiri, serta perlengkapan touring yang kami kenakan plus banyaknya debu yang melekat di motor dan badan kami mungkin menjadi hal yang cukup menarik perhatian mereka.
Dari jalan Satelit Ranca Bungur kami masuk ke jalan Cagak Ranca Bungur, jalan yang bergelombang dengan lobang di sana-sini ternyata sangat asyik untuk dilalui dengan menggunakan Kawasaki Versys ini. Benar-benar terasa suasana enduronya. Ayunan motor ini yang dilengkapi dengan shock buatan Showa tidak membuat hentakan keras pada motor, apalagi bila melalui kondisi jalan tersebut sambil berdiri. Benar-benar mengasyikkan.
Akhirnya sampai jugalah kami di jalan letkol Atang Sandjaya sekitar jam sepuluhan. Dari sini untuk sampai rumah hanya membutuhkan waktu setengah jam kalau dalam keadaan normal alias tidak macet. Kami merasa lega karena akhirnya sampai juga di Bogor. Si Kuning aku lajukan cukup kencang, bergerak lincah mendahului kendaraan lain. Kelakson hela yang terpasang dengan suara “tooot”nya yang kencang sangat membantu untuk membuat motor kecil yang sering berjalan di tengah dengan kecepatan yang lambat untuk segera berpindah ke pinggir.
Sebelum memasuki cluster perumahan kami, aku dan istri berhenti di pertokoan epicentrum BNR untuk membeli mirai ocha pesanan Rafif. Badan yang berdebu, motor yang kotor dan tubuh yang lelah, terbayar sudah dengan pengalaman yang kami dapatkan. Segala kesulitan dan tantangan yang kami hadapi adalah sebuah latihan dalam menghadapi perjalanan hidup yang tidak bisa diprediksi, disamping tentunya touring ini juga adalah salah satu upaya untuk terus membangun kebersamaan dan rasa cinta di antara kami berdua (TAMAT – sampai bertemu di perjalanan touring berikutnya).