Tuesday, April 21, 2015

Touring Bogor - Dieng (Part 3 : Pulang)



TOURING BOGOR – DIENG
(Part 3 : Pulang)

Selalu ada kebahagiaan saat melalui jalan kecil yang berdebu
Yang berhias hijaunya sawah dan pepohonan yang rindang
Anak-anak kecil yang berlari riang menyambut hujan
Telah melemparkan kita kembali kemasa silam

            Setelah selesai memasukan barang-barang ke dalam box motor dan tidur lebih awal semalam, pagi ini aku bangun dengan badan yang lebih segar. Di samping, istriku masih tertidur pulas.
            “Neng, bangun. Kita harus segera siap-siap untuk pulang setelah sholat subuh nanti. Jangan sampai kita terlambat.” Aku berkata pelan sambil membelai pipinya.
            Istriku membuka kelopak matanya, lalu terseyum dan menatap wajahku sebelum menggeliatkan badan.
            “Langsung pulang ? Kita sempat ke candi Arjuna dulukan? ” sebuah pertanyaan meluncur dari mulutnya.
            “Nggak. Kita langsung pulang saja. Nanti kalau kesiangan kita bisa terjebak macet di jalan.” Aku menegaskan sambil memasukan barang-barang kecil ke dalam tank bag.
            Istriku diam, kemudian bangun dan menuju kamar mandi. Setelah selesai sholat subuh, dia mengemasi mukena dan barang perintal-perintilnya untuk dimasukan ke dalam tas yang akan diletakkan di bagian belakang si Kuning.
            Aku tau, istriku pasti sangat kecewa bila kami tidak menyempatkan untuk ke candi Arjuna setelah kemarin pagi tidak bisa menyaksikan sunrise di bukit Sikunir. Touring baginya bukan melulu hanya duduk di motor untuk kemudian menikmati waktu istirahat setelah sampai tujuan sepertiku. Selain menikmati perjalanan, dia juga ingin menikmati kawasan wisata yang ada termasuk juga mencoba merasakan kulinernya.
            Di Dieng sebenarnya banyak sekali lokasi wisata yang jarak antara satu sama lainnya berdekatan sehingga tidak akan menghabiskan banyak waktu untuk sampai. Namun aku selalu ingin memulai perjalanan saat hari masih pagi karena ingin merasakan terpaan embun ke wajahku, atau berharap bisa melihat orang-orang yang memulai kehidupannya sebelum matahari mulai memancarkan sinar terang.
            Aku mengambil sepatuku yang masih basah dan terasa begitu dingin. Kali ini disamping mengenakan kaos kaki yang tebal, aku harus membungkus kaki dengan kantong plastik supaya tetap hangat.
            Istriku telah siap, namun mukanya terlihat begitu memelas. Aku tau bahwa dia benar-benar sangat ingin mengujungi candi Arjuna sebelum kami pulang.
            “Ok, kita akan mampir ke candi Arjuna sebelum pulang.” Aku berkata kemudian sambil mengenakan tali sepatu.
            “Tapi kalau sampai sana nanti masih ditutup, kita langsung pulang dan tidak akan menunggu sampai dibuka.” Lanjutku lagi.
            Mendengar kalimatku, sontak ekspresi memelas istriku hilang dan berganti dengan senyum kegembiraan.
            Hanya butuh waktu 5 menit dari penginapan untuk sampai ke lokasi candi Arjuna. Warung-warung di sekitar lokasi wisata ini sudah mulai dibuka, namun masih terlihat sepi. Istriku segera turun dari motor dan dan menghampiri seorang ibu yang tengah membersihkan meja di dekat warungnya.
            “Candi Arjunanya sudah buka, Bu ?” Tanya istriku
            Si ibu tidak menjawab, dia hanya membalikkan badannya dan melambaikan tangan memanggil seorang pria tengah baya yang sedang meletakkan kursi panjang di warung sebelahnya.
            Pria itu menghampiri istriku dan bertanya, “Mau masuk mbak ?”
            “Iya, pak.”
            “Harga karcisnya 20 ribu untuk dua orang, mbak.” Ujarnya sambil menyodorkan 2 buah potongan karcis.
            “Masuknya lewat mana, pak?”
            “Lewat sana, mbak.” Ujarnya sambil menunjukkan pintu besi berwarna biru yang tingginya hanya sekitar 60 centi meter. “Motornya tolong diparkir di sebelah sana ya, mas.” Lelaki itu berkata kepadaku sambil menunjuk sebuah pohon yang rindang.
            Aku memarkirkan motor dan mengambil tripod, kemudian berjalan cepat menyusul istriku. Walaupun pagi ini hujan tidak turun, tetapi matahari belum juga muncul untuk menyingkirkan kabut yang menghalangi sinarnya.
            Belum ada orang lain yang masuk ke kawasan candi Arjuna ini ketika kami sampai dan mulai berphoto. Cahaya yang ada terlihat flat, bukan kondisi yang ideal untuk menghasilkan photo yang bagus. Apa boleh buat, mudah-mudahan saja hasilnya nanti masih bisa diedit dengan photoshop.
           
Kawasan Candi Arjuna
Di lokasi kawasan wisata candi Arjuna terdapat candi-candi lain sepeti candi Semar, candi Srikandi, candi Puntadewa dan candi Sembadra. Letaknya berdekatan satu sama lain. Candi Arjuna merupakan candi yang tertua dan terbesar serta memiliki keistimewaan yang terletak pada bak batu yang selalu terisi tetesan air embun yang berasal dari atap candi. Uniknya air embun itu tidak pernah kering meski terkena panas matahari. Masyarakat menamai air embun itu “Parwito Sari” dan meyakini air itu banyak mengandung berkah bagi yang menggunakannya.

Candi Srikandi dan Candi Puntadewa

            Candi Semar yang paling berdekatan letaknya dengan candi Arjuna, candi ini merupakan candi sarana, sebagai tempat berkumpul dan menunggu para umat sebelum masuk ke candi Arjuna.  Candi ini konon dipergunakan juga untuk gudang penyimpanan senjata dan perlengkapan pemujaan. Candi Semar berbentuk persegi panjang  membujur arah Utara-Selatan. Ukurannya lebih kecil dari Candi Arjuna.
Istriku, Aku dan Aku di Candi Semar
            Setelah selesai berphoto, jam 06.30 aku dan istriku kembali mulai meluncur dengan siKuning, membelah jalan asphalt yang tidak begitu mulus dengan pemandangan kiri-kanan yang begitu cantik oleh deretan pohon pinus dan tanaman sayur-mayur yang menghijau. Sementara di kejauhan tampak deretan bukit yang memamerkan keindahannya. Beberapa orang penduduk terlihat telah memulai aktifitas merawat tanaman mereka.

            Akhirnya kami tiba di ruas jalan yang diberi papan peringatan “Hati-hati Jalan Longsor”, beberapa pria berdiri di dekat pembatas jalan darurat untuk memandu pengendara yang akan melintasi jalan tersebut. Jalan yang tadinya memiliki 2 jalur kini menyempit dan hanya tinggal sejalur saja akibat longsor dan pembatas jalan darurat yang dibuat. Mobil dengan bak terbuka yang berlawanan arah dengan kami memperlambat kecepatannya saat melalui jalan ini, sedangkan kami berhenti untuk menanti giliran.
            Ketika seorang pria memberi kode untukku jalan, aku menarik gas siKuning dengan perlahan. Jurang yang terlihat sangat dalam berada di sebelah kananku, terlihat jelas dari bagian jalan yang longsor. Istriku terlihat cemas, kuatir kalau motor yang kami tunggangi terpeleset dan jatuh. Namun Alhamdulillah, kami bisa melalui jalan ini dengan selamat.
            Kami kembali menikmati pemandangan indah yang terbantang di sepanjang jalan yang kecil dan berkelok. Istriku terlihat sibuk membidikan kamera ke kanan dan ke kiri, mencoba merekam semua keindahan tersebut. Sesekali kami temui jalan yang berlubang dan becek, namun itu bukan kendala yang berarti untuk motor 650 cc yang bertype enduro ini.

            Melalui rute Dieng – Wanayasa – Banjarnegara – Purbalingga, banyak kelokan dengan kodisi jalan yang tidak begitu lebar. Kadang mendaki dan kadang menurun. Tidak sedikit juga jalan yang kami lalui mulai rusak dan berlubang, tapi pemandangan yang disuguhkan membuat aku semakin merasakan kebesaran Illahi.
            Terlepas dari jalan kecil, kami memasuki jalan raya antar propinsi jalur selatan. Si Kuning bisa kupacu cukup kencang, terkadang sampai 130 km/jam. Motor ini sebenarnya lumayan stabil untuk diajak berlari sampai kecepatan 160 km jam seperti yang pernah kucoba saat di Tegal ketika touring ke Guci. Tapi kali ini kami ingin menikmati jalan-jalan yang dilalui, aku lebih sering hanya memacunya pada kecepatan 80-100 km/jam saja.
           
RM Asep Strawberry
Jam 12.15 kami sudah tiba di RM Asep Strawberry yang terletak di Tasikmalaya, menjelang perbatasan dengan Garut. Aku memarkirkan si Kuning di dekat pintu masuk. Rumah Makan ini sangat luas dengan arsitektur tradisional Sunda, di sini kita bisa memilih untuk makan lesehan atau menggunakan kursi makan.
            Kami memilih untuk makan lesehan sambil melihat hijaunya sawah yang dibatasi oleh pagar BRC. Aku memesan menu paket bebek bakar untuk 2 orang. Menu ini terdiri dari nasi liwet, bebek bakar, lalapan, tahu, ikan asin dan sambal. Uang yang harus kami keluarkan untuk menu ini plus 2 gelas kelapa muda sebesar Rp. 132 ribu rupiah termasuk pajak 10%. Cukup murah untuk rumah makan yang eksotik dan nyaman ini.
Menu Paket Bebek Bakar
            Melihat langit yang putih mulai menjadi abu-abu, kami segera menanggalkan jaket dan menggantinya dengan jas hujan sebelum meninggalkan RM Asep Strawberry. Ternyata dugaan kami benar, baru berjalan 15 menit hujan mulai turun dengan derasnya.
            Hujan selalu membuat perasaanku menjadi senang, namun melalui jalur Tasikmalaya – Garut aku harus ekstra hati-hati karena banyak tikungan yang mendekati 90 derajat dengan kondisi asphalt yang kurang bagus, belum lagi banyak truk dan bus besar yang melintas.
            Sampai memasuki daerah Ranca Ekek semua aman-aman saja, aku menyempatkan mampir ke SPBU karena bar petunjuk bahan bakar tinggal 2 buah. Hujan masih turun, namun tidak lagi sederas saat berada di Jalan Tasikmalaya – Garut.
            Namun memasuki km 24 jalan raya Garut – Bandung, kendaraan yang melintas mulai bergerak
Banjir
perlahan, air setinggi 20 cm mulai menggenangi jalan. Aku berusaha selap-selip mencari celah agar siKuning bisa lewat. Pengalaman melewati air yang lebih tinggi dari saat ini sewaktu touring ke Kuningan dan Baturaden bulan yang lalu membuatku tidak kuatir kalau motor ini akan mogok.
            Beberapa kilometer kemudian, puluhan motor dan mobil yang berada di depanku terlihat tidak bergerak sama sekali, sementara dari arah berlawanan banyak motor yang menerobos jalur yang seharusnya hanya dipakai untuk satu arah ini. Aku tersenyum ketika membayangkan seandainya yang menerobos ini adalah rombongan motor besar, pasti di medsos sudah ramai caci maki yang keluar. Namun kalau yang melakukannya motor kecil seperti ini, semua menganggap ini adalah hal yang wajar-wajar saja. Tidak perlu ada caci maki !
            Ketika melihat ada celah untuk maju, aku segera menarik gas si Kuning perlahan melalui pinggiran jalan. Air yang berwarna coklat keruh setinggi 30 cm sudah menggenangi jalan dan merendam sepatuku. Setelah melalui mobil angkot yang berada disebelah kanan, aku baru menyadari kalau di depan genangan air sangat tinggi. Mobil dan motor sudah banyak yang mogok.
            Sudah tidak memungkinkan untuk kembali mundur sehingga aku paksakan untuk terus melajukan kuda besi ini. Genangan air ternyata semakin tinggi dan menyentuh dengkulku. Pada ujung knalpot siKuning aku bisa melihat gelembung air yang tercipta dari tekanan gas buang dan mengeluarkan suara blub…blub..blub…
            “Waduh, Neng, air ternyata semakin tinggi. Gawat kalau siKuning sampai mogok. Susah untuk mencari bengkel moge disekitar sini.” Aku mulai merasa panik.
            Istriku tidak menjawab, ketegangan kelihatannya sudah menjalar dalam hatinya.
            “Mudah-mudahan saja air tidak sampai menyentuh air intake sehingga tidak masuk ke mesin. Kalau sampai mogok, kita harus mencari dealer Kawasaki di Bandung atau mencari mobil storing untuk membawanya ke Bogor.” Lanjutku.
            Aku terus menjaga putaran gas supaya konstan sehingga air tidak bisa masuk ke knalpot dan tidak terhisap melalui air intake, namun motor revo yang mogok di depanku membuat petaka itu harus terjadi. Karena aku terpaksa menurunkan putaran gas, tekanan genangan air dijalan menjadi lebih besar daripada tekanan buang knalpot dan akibatnya air tersebut masuk sehingga siKuning mogok.
            Sia-sia aku menstarter siKuning beberapa kali karena mesinnya tidak juga mau hidup. Istriku segera turun dan mencoba untuk mendorong motor yang totalnya lebih dari 300 kg setelah ditambah berat badanku dan barang bawaan. 
            SiKuning bergerak sangat perlahan sementara istriku terilihat terengah-engah kecapekan, padahal bagian jalan yang bebas genangan masih sekitar 40 meter lagi di depan. Banjir yang tingginya sampai setengah paha menyulitkannya untuk melangkah, apalagi harus ditambah dengan mendorong motor yang tengah mogok.
            “Ya Allah….Neng, coba cari orang yang bisa bantu mendorong.” Pintaku yang tak tega melihatnya ngos-ngosan.
            “Nggak ada, Kang. Semua orang kelihatannya pada sibuk ngurusin kendaraannya sendiri.” Suaranya terdengar terputus-putus karena nafasnya sudah satu dua.
            “Mas! Bisa bantu dorong.” Jeritku pada seorang lelaki yang tengah berdiri di belakang mobil jazz berwarna putih yang mogok.
            “Maaf, pak. Saya lagi dorong mobil ini.” Dia menjawab singkat.
            “Dik, tolong bantu dorong ya.” Aku berkata pada 2 orang remaja tanggung yang berjalan menuju arahku.
            “Baik, pak.” Mereka menjawab dengan wajah yang terlihat girang.
            Si Kuning kembali berjalan dengan perlahan membelah air yang tinginya sekitar 80 cm, dari kaca spion aku melihat istriku berjalan terseok-seok.
            “Ayo, dik, dorong terus lebih cepat.” Aku memberi semangat pada kedua remaja tanggung ini.
            Ketika sampai di emperan sebuah toko yang tidak terkena banjir, aku melihat puluhan motor sudah parkir di sana. Para pemiliknya sibuk membuka busi dan berusaha mengeringkannya. Beberapa motor bisa hidup, tetapi banyak juga yang gagal.
            Aku termangu memandang si Kuning. Bila businya basah, aku harus mengeringkannya. Namun untuk bisa membuka 2 buah busi motor ini, aku harus mengangkat tankinya terlebih dahulu. Dan untuk bisa mengangkat tanki, aku harus membuka fairing yang terpasang dan melepas selang bensin yang menuju injektor. Pekerjaan ini tidak susah sebenarnya, tapi akan memakan waktu yang tidak sebentar.
            Namun kalau air masuk melalui saluran hisap udara, tidak ada jalan lain maka motor ini harus di bawa pakai mobil stroring ke bengkel dan akan membutuhkan waktu yang berjam-jam untuk menunggu datangnya mobil storing tersebut, belum lagi waktu perbaikannya.
            Aku menunduk dan memperhatikan bekas air yang menggenangi motor. Ada secercah harapan saat kulihat bekas air tidak sampai menyentuh letak busi, hanya kurang beberapa centi meter saja.
            Segera kutekan tombol starter. Mesin siKuning tidak menyala dan hanya batuk-batuk saja, namun aku melihat banyak sekali air berwarna kecoklatan yang keluar dari knalpot. Mendengar suara mesin yang kering, aku yakin bahwa tidak ada air yang terhisap dan masuk ke mesin. Kutekan beberapa kali tombol starter untuk mencoba menguras air yang berada dalam tabung knalpot sampai akhirnya brrumm…brrumm…si Kuning kembali meraung dengan gagahnya.
            “Alhamdulillah…ayo naik, Neng.” Ujarku penuh semangat.
            Wajah istriku terlihat begitu gembira dan segera duduk di belakangku.
            Hujan terus mengguyur kami sepanjang perjalanan. Petualangan di atas kuda besi kali ini benar-benar menguji stamina. Aku yang berharap jalur Soekarno – Hatta di Bandung, Cimahi dan Padalarang sepi dari motor karena hujan ternyata harus kecele. Jalur-jalur tersebut tetap ramai dengan pengendara motor yang mengenakan jas hujan dan terlihat beraneka warna.
             Menjelang magrib, kami telah melewati kota CIanjur dan menuju Cipanas. Hujan belum juga berhenti, kabut yang turun menambah gelap jalan yang harus kami lalui. Lampu kendaraan yang datang dari arah depan hanya terlihat samar-samar. Mataku sangat sulit untuk melihat batas jalan walaupun telah dibantu dengan 2 buah fog lamp yang melekat pada crash bar siKuning.
            Kabut yang menggulung tubuh kami terasa begitu dingin, lebih dingin dari kabut yang turun saat berada di Dieng. Tangan kiriku yang tidak mengenakan sarung tangan terasa membeku dan kram. Sulit digerakkan untuk menarik tuas kopling. Jas hujan yang kami kenakan memang mampu membuat badan menjadi tidak basah, namun tidak mampu mengusir udara yang sangat dingin seperti ini. Aku mulai merasa lelah, istriku juga pasti merasakan hal yang sama karena sejak dari Bandung dia kini lebih banyak diam.
            Memasuki wilayah Puncak ternyata penderitaan belum juga berakhir. Karena ini malam minggu, jalan di kawasan ini menjadi macet. Bau beraneka jenis masakan dari warung di pinggir sepanjang jalan raya Puncak ini membuat perutku semakin lapar. Namun untuk berhenti dan menikmati makan malam bukan saatnya yang tepat karena sepatuku sudah basah sejak hujan yang turun menjelang Nagrek dan terasa begitu dingin. Yang memenuhi pikiranku saat ini hanyalah bisa cepat sampai di rumah untuk mandi air hangat dan segera berbaring.
            Selepas dari Cisarua, jalanan benar-benar macet. Kendaraan bergerak sangat perlahan. Aku terkadang harus mengambil bahu kiri jalan yang tidak mulus untuk bisa melewati mobil yang tidak bergerak di depanku. Kondisi jalan yang basah oleh air hujan cukup menyulitkan karena rawan untuk tergelincir, apalagi side box yang terpasang membuat gerakan siKuning menjadi tidak lincah untuk selap-selip.
            Sesekali aku menggunakan jalur kanan dan melebih garis putih bila kendaraan dari arah depan jaraknya masih jauh. Akselerasi motor ber-cc 650 ini cukup baik, walapun saat ini dipakai berboncengan dengan muatan side box yang penuh. Motor-motor kecil yang berjalan lambat namun memaksa menggunakan jalur kanan sering membuatku menggelengkan kepala karena tidak jarang mereka membuat laju kendaraan dari arah depan terpaksa berhenti.
            Memasuki daerah Gadog aku bisa menarik napas lega, lalu lintas sangat lancar. Aku menambah kecepatan siKuning lalu mengayunkannya ke kiri dan ke kanan seperti perahu yang dipermainkan ombak, menikmati kegembiraan setelah terbebas dari kemacetan yang begitu menjengkelkan.
            Jarum jam telah menunjukkan pukul 20.40 ketika kami sampai di rumah. Sibungsu Rafif berteriak senang melihat kedatangan mamanya. Aku melepaskan semua perlengkapan dan jas hujan yang dipakai, lalu bergegas menuju kamar mandi untuk merasakan siraman air hangat yang mengalir dari shower sebelum menikmati semangkok soto ayam lezat yang panas.
            Di garasi aku melihat siKuning masih penuh dengan tanah becek yang menempel dan terlihat semakin gagah. Biarlah dia terlelap malam ini setelah menempuh jarak 980 kilometer, besok pagi pak Ano pasti akan memandikannya sampai bersih. (TAMAT).

Saturday, April 18, 2015

Dieng Yang Indah



TOURING BOGOR – DIENG
(Part 2 : Dieng Yang Indah)

Hujan yang biasanya menyenangkanmu
Pasti akan tetap selalu menyenangkanmu
Kalau sekarang hujan membuatmu gelisah
Bersabarlah, karena dia akan digantikan dengan pelangi yang indah

Suara adzan yang berkumandang dari HP-ku terdengar keras dan memaksaku untuk membuka mata. Rasa ngantuk dan malas akibat udara dingin yang menusuk sampai ke tulang membuatku malas bergerak. Jam menunjukkan pukul 4 kurang 10 menit. Istriku menggeliatkan badannya, memaksa rasa malas untuk segera menyingkir, kemudian segera menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
“Kang, bangun. Sholat dulu baru nanti tidur lagi.” Istriku berkata sambil menarik selimut yang menutupi tubuhku.
Aku semakin meringkukkan badan seperti udang yang sedang di goreng karena dingin semakin mendekap. Baju dan celana long-john yang kukenakan ternyata hanya sedikit membantu, padahal saat kubawa ke Korea menjelang musim dingin, baju dan celana ini terasa hangat dipakai. Suhu udara di Korea waktu itu antara 0 – 8 derajat celcius.
“Ntar, masih dingin.” Aku menjawab sambil menarik kembali selimutnya.
Istriku segera sholat sendiri karena ruangan kamar yang sempit tidak memungkinkan kami untuk sholat berjamaah. Namun baru saja dia selesai sholat, suara adzan subuh berkumandang dari masjid yang berjarak sekitar 100 meter dari tempat kami menginap.
“Lho, kok baru adzan?” tanyanya heran.
“Pengingat waktu sholat di HP Akang benar kok. Saat di Bogor dan di Kurau bunyinya selalu bersamaan dengan adzan dari masjid.” Aku menjawab. “Nggak apa-apa, sholatnya nggak perlu diulang karena saat sholat tadi sudah masuk waktu subuh.” Lanjutku.
Aku bangun dan menuju kamar mandi dengan rasa malas. Ketika kran kubuka, air hangat mengalir dengan deras. Aku segera berwudhu dan sholat.
Jam sudah menunjukkan pukul 5.30 pagi ketika kami masih bermalas-malasan di tempat tidur, di luar hujan masih turun rintik-rintik yang membuat kami semakin malas untuk segera beranjak. Hujan rintik-rintik yang turun sejak tengah malam memupus keinginan untuk melihat dan mengambil photo sunrise di bukit Sikunir, padahal aku sudah bela-belain membawa kamera DSLR dengan lensanya yang cukup berat plus tripodnya yang juga berat demi mendapatkan photo sunrise di bukit Sikunir ini.
Jam 6.20 hujan akhirnya berhenti, kami segera bersiap untuk mulai menjelajahi kawasan wisata di sekitar daerah ini. Istriku sudah mengenakan mantel merah kesayangannya yang hampir saja tidak bisa dibawa karena keterbatasan bagasi motor. Mantel merah itu memang eye catching dan selalu tampak bagus bila diphoto. Aku hanya mengenakan jaket motor karena sudah tidak memungkinkan untuk ikut-ikutan membawa mantel lain hanya sekedar untuk berphoto.
Hujan yang sangat deras kemarin sejak dari Purwanegara sampai Wonosobo membuat sepatuku basah. Air mengalir masuk melalui atas sepatu yang tidak tertutup rapat oleh jas hujan. Untung aku selalu membawa sandal jepit, sehingga tidak perlu berdingin-dingin menggunakan sepatu yang basah itu. Namun menggunakan sandal jepit, selain tidak aman digunakan untuk bermotor, juga akan mengurangi estetika saat berphoto, apalagi bila harus berphoto dengan istriku yang menggunakan sepatu boot-nya.
Aku membelokkan si Kuning ke arah kanan, melewati beberapa daerah wisata di kawasan ini. Di papan penunjuk jalan aku melihat kawasan wisata candi Arjuna, kawah Sikidang, telaga Balik Kambang, candi Dwarawati dan bukit Sikunir. Pemandangan di sekitar ini terlihat sangat indah, hamparan tanaman sayur penduduk yang didominasi tanaman kentang terlihat menghijau dengan landscape yang berundak. Di kejauhan aku melihat kepulan asap putih yang membumbung tinggi, asap putih yang keluar dari cerobong pembangkit listrik tenaga panas bumi milik PT. Geo Dipa.

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi

Aku meminggirkan si Kuning dan mengambil beberapa photo untuk stock dan untuk bahan tulisan istriku. Udara dingin masih terasa pada tangan dan mukaku yang tidak tertutup, uap yang keluar dari mulut begitu jelas terlihat saat menghembuskan nafas.

Pemandangan indah di Dieng

Setelah mengambil beberapa photo, kami mencoba mencari penginapan yang “lebih layak”. Beberapa home stay yang kami lewati terlihat sama dengan penginapan yang kami tempati sekarang. Aku terus melajukan si Kuning sampai kami melihat home stay dengan arsitekturnya yang sedikit bergaya Bali.
“Coba kita tanya di sini, Kang. Kelihatannya home stay ini punya kamar yang bagus kalau dilihat dari ruang resepsionisnya.” Ujar istriku.
Setelah turun dari si Kuning, kami segera menghampiri seorang lelaki berperawakan sedang yang berada di ruang tersebut dan menanyakan apakah masih tersedia kamar untuk satu malam ini saja. Awalnya lelaki tersebut mengatakan masih ada kamar dan mengizinkan kami untuk melihat kamarnya terkebih dahulu, namun ketika melihat daftar pesanan kamar, dia meminta maaf karena ternyata hari ini sampai hari Minggu semua kamar sudah penuh. Menurutnya para tamu akan datang siang hari ini. Di beberapa home stay yang terlihat bagus juga ternyata sudah penuh. Apa boleh buat, artinya kami harus bertahan satu malam lagi di kamar yang kami tempati saat ini.
Sekarang kami melaju ke arah kawasan wisata lainnya. Di jalan yang terdapat pos retribusi, dua orang petugas memberi aba-aba untuk memperlambat laju kendaraan dan memintaku membayar karcis masuk seharga 8 ribu rupiah perorangnya.
Dieng Plateau Theater
Dieng Plateau Theater
Kawasan wisata pagi ini masih terlihat sepi, aku dan istri memutuskan untuk menuju Dieng Plateau Teater terlebih dahulu. Tempat ini berada di atas Telaga Warna di lereng bukit Sikendil desa Dieng. Sayangnya saat kami sampai tempat ini ternyata belum dibuka dan tidak ada informasi jam berapa akan dibuka, gedung theaternya juga tampak kurang terawat.  Dieng Plateau Theatre dilengkapi sarana audio visual dan film dokumenter tentang aktifitas gunung Dieng yang berisi gambaran pembentukan kawah-kawah dan juga tentang tragedi kawah Sinila yang menyemburkan gas beracun karbon monoksida pada 20 Februari 1979. Bencana itu menelan 149 korban jiwa.
Selanjutnya tujuan kami ke Telaga Warna. Di pintu masuk kawasan wisata ini kelihatan masih sepi, hanya ada 3 orang petugas yang berdiri. Jarum jam sudah menunjukan sekitar pukul 8 pagi, namun wisatawan yang berkunjung belum banyak yang datang.
“Sudah dibuka, mas?” tanyaku saat melihat loketnya masih tertutup.
“Sudah, mas. Berapa orang ?” dia balik bertanya.
“Berdua saja. Berapa ?”
“15 ribu untuk dua orang, mas.” Dia menjawab sambil menyodorkan 2 buah potongan karcis.
Aku mengeluarkan uang dan membayarnya, kemudian kami segera masuk. Datang ke lokasi wisata memang paling enak sebelum banyak wisatawan lain yang datang karena kita bisa bebas untuk berphoto di lokasi yang diinginkan tanpa merasa terganggu. Sulit untuk meminta orang lain menjauh, apalagi kalau antrian untuk berphoto di lokasi tersebut semakin banyak. Cara yang paling baik ya datang lebih awal sebelum banyak orang lain yang datang.
Melihat telaga yang membentang di hadapan kami, istriku berseru kegirangan.
“Kang, bagus banget ya. Airnya kelihatan hijau dan tenang. Barisan bukit di sana membuat pemandangan ini semakin cantik. Ayo kita photo-photo mumpung belum ada orang lain.” Dia memaksaku untuk segera menyiapkan kamera dan tripod yang kami bawa.
Pemandangan di telaga Warna pagi ini memang terlihat bagus. Airnya yang berwarna hijau terlihat tenang. Sebuah pohon dengan daun berwarna kemerah-merahan berdiri tegak di tepinya. Dibawah pohon itu ada sebuah bangku yang terbuat dari potongan pohon yang bisa dipakai untuk duduk memandang keindahan telaga warna.

Telaga Warna

Telaga Warna

Bila terkena sinar matahari, warna air di telaga Warna ini bisa terlihat biru, merah, putih, hijau dan lembayung. Warna ini mungkin dihasilkan dari polarisasi sinar matahari akibat pembiasan oleh air yang memiliki kandungan belerang yang cukup tinggi. Mungkin karena sebab itulah di telaga ini tidak ada ikan atau hewan air lainnya.

Telaga Warna
Batu Tulis Eyang Purbo Waseso
Setelah mengambil beberapa photo, kami menelusuri jalan setapak di pinggiran telaga untuk melihat lokasi wisata lainnya. Dalam kawasan telaga Warna ini terdapat beberapa kawasan wisata seperti telaga Pengilon, Batu Tulis Eyang Purbo Waseso, gua Jaran, gua Sumur Eyang Kumalasari, gua Semar dan gua Pengantin.
Gua Pengantin
Di telaga Pengilon, pepohonan yang tumbuh menghijau di atas bukit menjadi latar belakang yang cantik. Gelembung-gelembung gas dengan ukuran kecil menyembur keluar dari tanah berpasir di tepi telaga. Bau belerang cukup menyengat di sini, mungkin karena itu saat di pintu masuk tadi kami di tawari untuk membei masker seharga 5 ribu rupiah.


Telaga Pengilon

Setelah cukup puas di lokasi wisata telaga Warna ini kami keluar dan menuju lokasi parkir si Kuning. Semakin siang wisatawan yang datang semakin banyak. Motor, mobil dan bus sudah mulai memenuhi lokasi parkir. Lokasi parkir ini dikelilingi oleh warung-warung yang menjual makanan dan oleh-oleh khas Dieng seperti kripik kentang, kripik carica serta manisan carica. Melihat ada warung yang menjual bakso, aku dan istriku menunju kesitu untuk mencoba menghangatkan badan dengan semangkok bakso dan secangkir kopi. Matahari mulai bersinar mengusir kabut yang sudah mulai menipis, namun panasnya belum juga terasa.
Warung yang sederhana dan terbuat dari papan ini menjual oleh-oleh khas Dieng seperti deretan warung lainnya. Oleh-oleh itu ditumpuk dan disusun di bagian depan warung.
“Ada gorengan juga, bu?” aku bertanya
“Mendoan mau, pak?” tanyanya kembali
“Boleh.” Aku menjawab singkat
Si Ibu pemilik warung segera keluar meninggalkan warungnya, kemudian dia kembali dengan sepiring mendoan hangat. Ibu ini tidak membuat mendoan, dia mengambil dari warung lain yang ada disekitar situ. Begitu juga dengan jualan oleh-oleh, kalau disatu warung tidak ada, maka pemilik warung akan mengambilkannya dari warung yang lain. Mereka menerapkan kerjasama bisnis sederhana yang menguntungkan, satu sama lain saling mengisi kebutuhan.
Cabai Dieng
Semangkok bakso dan secangkir kopi instan sudah terhidang, ibu itu menawarkan untuk mencoba cabai khas Dieng untuk memberikan rasa pedas pada bakso. Menurutnya cabai Dieng akan berasa sangat pedas bila dihaluskan dengan bijinya, namun akan berkurang pedasnya bila dihaluskan tanpa biji. Namun pedasnya cabai Dieng tidak akan membuat sakit perut, rasa pedas hanya akan sampai dimulut saja. Aku dan istriku tertarik untuk mencoba, setengah sendok teh cabai yang telah dihaluskan tersebut aku masukan ke dalam mangkok bakso.
Ternyata benar, walaupun hanya setengah sendok teh, pedasnya luar biasa. Aku segera meneguk kopi instan yang sudah mulai terasa hangat, panasnya cepat sekali hilang karena udara di Dieng sangat dingin dan lembab. Mendoan yang dihidangkan dalam bentuk gorengan tepung segi empat ikut membantu menghilangkan rasa pedas tersebut.
Jam sudah menunjukkan pukul 09.30, istriku ingin kami melanjutkan kunjungan menuju tempat wisata lainnya. Namun karena kembali mengantuk aku ingin tidur saja, pergi ke tempat wisata lain akan dilakukan setelah sholat Jumat.
Baru saja aku terlelap, adzan tanda akan dimulainya kotbah Jumat nyaring terdengar dari masjid berukuran besar yang berjarak sekitar 100 meter dari tempat kami menginap, aku segera bangun dan mengambil air whudu untuk kemudian pergi ke masjid. Di luar penginapan kabut terlihat mulai turun, udara semakin dingin dan bukit yang biasanya terlihat dari depan penginapan mulai terlihat samar-samar sebelum akhirnya hilang tertutup kabut yang berwarna sedikit kelabu.
Menjelang sholat berakhir, hujan rintik-rintik mulai terdengar jatuh ke tanah. Mudah-mudahan saja hujan besar tidak turun. Setelah selesai sholat aku segera keluar masjid, hujan rintik-rintik ternyata mulai turun dengan rapat. Sempat kudengar seorang bapak mengatakan kepada rombongan yang sedang mempersiapkan pendakian gunung bahwa kalau hujan seperti ini akan berhenti dalam waktu yang lama, bisa sampai tengah malam katanya.
Aku berlari kecil menuju penginapan. Istriku yang sudah siap dengan mantel merahnya terlihat kecewa melihat hujan yang turun.
“Tuh, Kang. Sekarang hujankan. Kita jadi nggak bisa pergi ke candi Arjuna dan tempat lainnya.” Nadanya seperti penuh penyesalanan.
‘Ya mau gimana lagi. Tadi Akangkan ngantuk.” Jawabku sambil masuk ke dalam kamar.
Sampai jam 3 sore hujan belum juga berhenti, tidak terlalu lebat memang namun cukup untuk membuat tubuh basah dalam beberapa saat. Aku memilih tidur-tiduran dan membaca WA dari group alumni SMA sambil berharap hujan segera reda.
“Neng, kita makan duren saja yok.” Ajakku pada istriku.
“Di mana?” Dia bertanya.
“Tadi Akang lihat ada yang menjual duren di dekat warung tempat kita makan semalam. Coba Akang lihat dulu.” Aku segera keluar kamar dan menuju pintu utama penginapan.
“Masih ada, Neng. Durennya ditutup sama terpal. Nanti kita tanya saja sama ibu yang punya warung di mana tukang durennya. Kita makan duren sambi ngopi saja.” Ajakku.
Makan Durian
Kami bergegas keluar menggunakan payung, di luar hujan masih turun, kadang berhenti sebentar namun sesaat kemudian kembali deras. Kondisi cuaca yang sulit diprediksi.
Melihat kami berdiri di dekat durian yang tertutup terpal, seseorang segera berlari dari seberang jalan menghampiri kami.
“Mau beli duren, pak?” Dia bertanya.
“Iya. Berapa satunya, mas?” Tanyaku.
“Yang besar ini satunya 40 ribu, yang sedang ini 35 ribu, sedangkan yang kecil 30 ribu. Bapak bisa pilih yang mana, nanti kalau tidak enak akan saya tukar.” Ujarnya lagi.
“Yang ini saja, mas.” Aku menunjukan durian berukuran sedang yang bentuknya kelihatan bagus.
“Ini duren asli Dieng, pak. Rasanya manis.” Dia mencoba meyakinkanku.
Di sebelah barat, kabut kembali mulai turun. Bukit yang tadi terlihat samar-samar semakin tidak terlihat. Masjid di sebelah selatan yang hanya berjarak lebih kurang 50 meter dari hadapan kamipun mulai tertutup kabut. Udara dingin kembali menyergap kami.

Masjid yang tertutup kabut tebal
 Setelah selesai makan durian dan ngopi, aku dan istri kembali ke penginapan. Hujan memang tidak bersahabat dengan kami hari ini. Istriku yang biasanya menyukai hujan, kali ini terpaksa ndumel karena keinginannya mengunjungi candi Arjuna dan tempat wisata lainnya menjadi tidak kesampaian.
Sampai kami selesai sholat Isya, hujan ternyata belum juga berhenti walaupun butirannya sudah tidak serapat tadi sore. Istriku mengajak keluar untuk membeli oleh-oleh, takut tidak sempat katanya kalau menunggu hujan sampai benar-benar berhenti. Aku mengangguk.
Diperjalanan menuju tempat yang menjual oleh-oleh, kami melihat warung makan yang menjual mie ongkok. Sebenarnya sejak memasuki Wonosobo, kami melihat banyak sekali penjual mie ongkok ini. Ingin sebenarnya berhenti dan mencoba bagaimana rasanya, namun karena mengejar waktu untuk sampai di Dieng, keinginan ini tidak kami lakukan.
“Kang, setelah beli oleh-oleh nanti kita makan mie ongkok ya. Neng ingin tau seperti apa rasanya.” Pinta istriku.
Oleh-oleh
Tidak banyak oleh-oleh yang kami beli karena terbatasnya kapasitas bagasi motor. Jadi kami hanya membeli alakadarnya saja sebagai tanda bahwa kami sudah pernah sampai ke Dieng. Hanya beberapa kotak minuman purwaceng, beberapa bungkus kacang Dieng, keripik jamur dan sekotak manisan carica. Setelah itu kami segera menuju warung makan yang menjual mie ongkok.
Mie ongkok
Mie Ongkok ini ternyata mie yang terbuat dari tepung sagu dan berasal dari Wonosobo. Mie yang dimasak dengan cara mencelupkannya ke dalam air panas dengan menggunakan wadah yang terbuat dari anyaman bambu yang disebut ongkok ini disajikan dengan kuah kental yang terbuat dari saripati singkong, udang kering dan ditambahkan bumbu kacang tanah yang menyerupai bumbu kacang untuk sate.  Mie ini disajikan dengan irisan kubis dan kucai dengan tambahan kerupuk dan beberapa tusuk sate ayam. Biasanya penjual juga menyediakan tempe mendoan untuk menemani makan mie ongkok ini. Dan yang tidak akan ketinggalan adalah sambel yang terbuat dari cabai Dieng sebagai pelengkap bagi yang menyukai rasa pedas. Bagi yang akan berwisata ke Wonosono atau Dieng jangan lupa untuk mencoba mencicipi mie ongkok ini, dijamin akan merasakan sensasi rasa mie yang berbeda.
Malam semakin larut, udara yang dingin bertambah dingin. Kami segera menuju penginapan untuk mengepak barang dan beristirahat. Besok perjalanan pulang akan dilanjutkan, semoga semua akan berjalan dengan lancar.