Monday, June 16, 2014

Toring Bogor - Palembang - Bogor (Bag. I)



BERANGKAT
Rindu pada jalan hitam yang berdebu
Rindu pada angin yang selalu membelai wajah dan tubuhku
Rindu pada bunyi mesin yang menderu
Rindu pada sawah, gunung, sungai dan gedung yang berbaris rapi
di sepanjang jalan yang kulalui, dan pada orang-orang yang bergerak
menantang waktu…..

Setelah pulang dari touring ke Jogja untuk mengikuti acara “Jogja Bike Rendezvous (JBR)” bulan Mei yang lalu, aku masih memikirkan rencana touring bulan berikutnya untuk kembali menjajal sejauh mana Kawasaki Versys 650 bisa diandalkan pada kondisi jalan-jalan yang menjadi tujuan touring selanjutnya. Istriku yang kemarin tidak ikut ke Jogja karena harus mengikuti training di Jakarta begitu semangat menyodorkan alternative tujuan touring. Pantai Sentolo dan Pamengpeuk di Garut, Kawah Putih di Ciwidey, Gunung Semeru atau Purwokerto.

Kawah Putih Ciwidey aku sisihkan dulu dengan pertimbangan jaraknya terlalu dekat dan kurang menantang, kecuali kalau melewati route waduk Saguling. Pantai Sentolo dan Pamengpeuk di Garut dan Purwokerto mejadi pilihan yang cukup menarik karena jaraknya yang tidak terlalu dekat. Gunung Semeru aku sisihkan dulu karena membutuhkan waktu libur yang cukup lama untuk bisa mengeksplore kawasan wisata disekitar situ lebih banyak.

Namun menjelang hari keberangkatan, entah kenapa aku memutuskan untuk memilih touring ke Palembang. Perjalanan ke Palembang aku anggap cukup menantang. Pertama karena jaraknya lumayan jauh sekitar 650 kilometer dari Bogor plus menyeberangi Selat Sunda. Kedua, bila memilih jalur pantai timur, ada beberapa bagian pada jalan tersebut yang kondisinya tidak mulus. Pengalamanku pada tahun 2011 saat solo riding dengan menggunakan Goldwing 1500, jalan yang tidak mulus tersebut cukup menyusahkan karena berupa batu-batu besar yang menonjol. Handling motor benar-benar sulit, setiap menggerakan setang, selalu ada perlawanan. Untuk motor kecil dengan roda yang kecil, kondisi ini tidak terlalu merepotkan. Namun untuk motor besar berbobot kosong 404 kg plus muatan dan boncenger yang totalnya sekitar 80 kg, ditambah dengan ban yang lebar, tentu bukan perkara yang mudah. Namun Alhamdulillah, aku bisa melewati kondisi jalan ini dengan aman.

Alasan lain keputusanku untuk memilih tujuan ke Palembang ini karena pada touring ke Palembang pada tahun 2011 yang lalu istriku tidak ikut, karena aku mengajak rekan yang berprofesi sebagai montir motor besar, untuk jaga-jaga kalau ada masalah dengan motor di jalan. Di samping alasan lainnya bahwa touring dengan tujuan kota di pulau Jawa memang jauh lebih mudah untuk dilaksanakan di banding touring ke pulau Sumatera.

STNK
 Hari Selasa tanggal 3 Juni akhirnya STNK motorku selesai juga. Selesai? sepertinya hanya 50% saja karena STNKnya masih berupa surat keterangan dari kepolisian dan tanpa plat nomor. Yang tercetak dengan blanko resmi hanya surat pembayaran pajaknya saja. Tahun lalu saat aku membeli SYM 250 GTSi juga mengalami hal yang sama, STNK asli baru aku dapatkan 6 bulan kemudian, sedangkan plat nomor aku dapatkan sebulan setelah aku menerima STNK sementara. Entah kenapa hal-hal sepele seperti ini tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh kepolisian. Sehingga pada tanggal 5 Juni, aku meminta istriku untuk membuat plat nomor di pinggir jalan sebagai salah satu persiapan untuk berangkat ke Palembang.
            
Side Box Pannier 7Gear
Kalau pada saat ke Jogja side box pannier buatan 7Gear belum selesai sehingga aku terpaksa menggunakan side bag, untuk perjalanan ke Palembang kali ini side box tersebut sudah terpasang dengan cukup baik, cukup untuk menempatkan pakaian dan toolbox. Walaupun dari segi kerapihan dan segi kepraktisan belum bisa disamakan dengan produknya Givi, SW Motech atau Touratech, namun masih sebandinglah dengan harga yang harus dibayarkan yang hanya 4,8 juta rupiah untuk sepasang box dan bracketnya. Box dengan kapasitas 35 liter ini ternyata menyediakan ruang yang cukup banyak untuk membawa perbekalan.

Hari Jumat tanggal 6 Juni jam 05.00, aku dan istri telah siap untuk berangkat. GPS telah aku set dengan tujuan dari Bogor ke Cilegon karena di GPS yang terpasang di motorku belum ada Pelabuhan Merak. Maklum sejak beli 2 tahun yang lalu peta dalam GPS ini belum pernah aku update. Sebelum berangkat aku kembali melihat check list persiapan kebarangkatan untuk meyakinkan bahwa tidak ada lagi yang terlupa untuk dibawa. Dua stell jas hujan, payung, kompas, charger, HP, tool box, obeng set, kunci L set, pisau, kotak obat, kanebo, sandal, tripod, pakaian, sajadah, sarung, mukena dan pernak-pernik kecil lainnya sudah berada di dalam side box tersebut.

Jam 05.20 kami berangkat dari rumah, kemudian mampir sebentar untuk mengisi bahan bakar di pom bensin di Jalan Pahlawan. Rute yang aku pilih kali ini adalah Bogor – Dramaga – Ciampea – Rangkas Bitung – Pandeglang – Serang – Cilegon – Merak. Bila tidak ada masalah atau hambatan di jalan, aku perkirakan bisa sampai di Merak sekitar jam 10.00 pagi. Lama perjalanan sekitar empat setengah jam termasuk istirahat dan sarapan.

Sampai di Ciampea perjalanan sangat lancar, udara yang sejuk dan jalan yang relatif masih sepi membuatku memacu kecepatan motor hanya di sekitar 50-60 kilometer perjam saja. Sayang rasanya bila harus melewatkan udara yang segar dan pemandangan orang-orang yang tengah melakukan aktifitas paginya. Kesibukan orang-orang disekitar pasar dan terminal Laladon saat pagi sebenarnya sangat menarik untuk diphoto, namun bila berhenti aku kuatir akan kehilangan banyak waktu karena bisanya untuk hunting photo tidak pernah bisa dilakukan dengan waktu yang hanya sebentar.
 
Dudukan Peninggi Stang
Jalan-jalan yang aku lalui sampai dengan pertigaan jalan Leuwiliang – Kampung Sawah relatif mulus. Banyak jalan yang baru selesai dicor dan diasphalt, perjalanan benar-benar menyenangkan. Di jalan yang lurus dan rata, Versys terasa nyaman. Tarikannya tetap terasa enteng walaupun aku membonceng istriku dan membawa perlengkapan di dalam side box. Di tikunganpun handlingnya tetap terasa enak, apalagi aku sudah menambah peninggi dudukan stang supaya posisi tubuh tetap nyaman dan tidak terlalu menunduk. Untuk mendahului kendaraan lainpun terasa sangat percaya diri karena akselerasinya yang cukup mantap. Seringkali aku memotong kendaraan di depan dengan hanya memindahkan persneling dari gigi 5 ke 4 pada posisi kendaraan yang cukup dekat.

Sawah dengan latar belakang pembuatan batu bata
Sampai dipersimpangan jalan Leuwiliang dan Kampung Sawah aku memilih belok ke kanan, melalui jalan pedesaan yang lebih kecil dengan harapan bisa mendapatkan pemandangan yang indah untuk diphoto. Pengalamanku touring berdua dengan istri saat ke Kuningan – Jawa Barat, jalan-jalan pedesaan yang tidak umum dilalui ternyata menyuguhkan pemandangan yang sangat indah. Sawah-sawah yang hijau dan menguning terhampar luas dengan naungan langit yang biru. Petani-petani disawah yang sibuk menyiangi padi dan mengairi sawah menciptakan kehidupan yang terlihat dinamis. Di tempat yang lain, kami disuguhkan pula pemandangan tempat pembuatan genteng dan batu bata yang terletak di pinggiran sawah yang masih menghijau. Pemandangan yang benar-benar menyejukan mata.                       

Namun untuk berani mengambil keputusan melalui jalan pedesaan atau jalan yang tidak umum dilalui kendaraan, aku harus memastikan bahwa motor yang digunakan akan bisa melalui jalan-jalan yang cukup jelek, tidak rata, jalan tanah, becek, berbatu dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila telah jauh memasuki jalur alternatif ternyata motor tidak bisa melalui jalan yang ada di depan, masih bersyukur kalau mudah memutar balik walaupun telah kehilangan waktu, namun kalau untuk memutar balikpun sukar bisa-bisa rencana perjalanan jadi kacau semua.

Sekitar 2 kilometer pertama jalan yang kami lalui cukup mulus, namun setelah itu mulai menunjukan tanda-tanda jalan jelek. Asphalt yang telah mengelupas dan batu yang menonjol keluar serta jalan yang menyempit membuatku sedikit was-was. Beberapa kilometer kemudian ternyata kondisi jalan semakin jelek, banyak lubang dan genangan air. Motor-motor kecil tidak begitu kesulitan untuk melaluinya walaupun dengan perlahan, namun untuk motor yang berbobot 206 kg lebih ditambah dengan berat boncenger dan perlengkapan yang dibawa sudah pasti harus ekstra hati-hati, apalagi ban yang kugunakan masih standard keluaran pabrik, bukan ban dual purpose.

Tetapi justru disinilah kemampuan Versys harus diuji, termasuk kemampuan drivernya tentu saja. Sejauh mana Versys bisa melalui kondisi jalan yang cukup rusak, licin dan bergelombang cukup dalam. Aku meminta istriku untuk mengikuti irama pergerakan motor supaya keseimbangan tetap bisa dijaga, namun aku juga memintanya untuk sebisa mungkin dapat mengabadikan kondisi jalan yang jelek tersebut. Dengan ban standard, bila salah gerakan dan perhitungan besar kemungkinan motor akan slip dan terjatuh.

Kondisi Jalan di Cisoka Tangerang
Alhamdulillah, jalan licin, tergenang, berbatu dan bergelombang bisa kami lalui dengan mulus. Suspensi depan dan belakang Versys terasa cukup nyaman, getaran setang ditanganpun tidak terasa dan tidak membuatku kesemutan walapun saat melalui jalan berbatu yang tonjolan batunya cukup besar (bukan jalan gravel). Di jalan licin, mungkin karena total bobot yang berat, aku tidak merasakan ada gejala slip atau ngesot. Versys kelihatan cukup stabil dan nyaman melewatinya.

Sampai di daerah Cisoka – Tangerang, kondisi jalan masih juga jelek. Masih banyak jalan berlubang, berbatu dan tergenang yang kami lalui. Namun sejauh ini tidak ada kendala berarti yang kami alami, semua kondisi jalan tersebut dapat kami lalui dengan selamat. Tidak jauh dari pertigaan jalan yang masih terletak di daerah Cisoka, aku melihat jalan yang tergenang cukup dalam. Tanpa memperhatikan satu-dua motor kecil yang melintasi jalan tergenang tersebut, aku memilih untuk melalui bagian pinggir kanan jalan dengan harapan tanah tersebut lebih keras. Ternyata perkiraanku salah, tanah tersebut malah bonyok karena tidak ada batunya, dan Versysku harus merasakan diam ditempat seperti kerbau yang sedang berkubang.

Terporosok
Melihat bahwa setengah ban telah masuk ke dalam jalan yang bonyok, aku meminta istriku untuk turun dan segera menjauh. Aku berusaha memainkan kopling dan gas dengan harapan bisa keluar dari kubangan tersebut mengingat putaran bawah mesin Versys cukup besar. Namun dengan kondisi memakai ban standard yang permukaannya cukup rata, sulit untuk bisa terbebas, malahan ban semakin masuk ke dalam. Saat aku menarik gas lebih besar, semakin besar pula air yang nyiprat dan naik ke atas. Side box, bawah jok dan bahkan kaki dan paha bagian belakangku menjadi basah akibat cipratan air tersebut. Aku turun dari motor dan mencoba mendorong sendiri dengan mesin yang telah dimatikan. Alamak, berat sekali…apalagi dalam posisi motor terjepit tanah yang sudah menyerupai lumpur seperti ini.

Dibantu Orang
Saat melihat beberapa motor kecil yang lewat, aku segera meminta tolong untuk ikut mendorong sambil memegangi motor supaya tidak terguling. Alhamdulillah, dua pengemudi motor kecil yang aku minta pertolongan tidak ada yang menolak, bahkan beberapa pengemudi lainnya ikut menawarkan diri. Satu..dua..tiga…setelah dua-tiga kali berusaha, si Kuning bisa juga keluar dari jalan bonyok tersebut. Aku mengucapkan terima kasih kepada mereka, dan semakin terharu saat berada di kapal dan melihat photo-photo yang diambil oleh istriku saat kami mencoba membebaskan si Kuning tadi, ternyata ada pengemudi yang mengenakan sepatu putih bersih tetapi tidak ragu untuk memberikan bantuan.


Setelah Terbebas
Setelah terbebas, aku mencoba untuk membersihkan roda motor dari tanah yang melekat di ban dan mesin supaya tidak mengganggu perjalanan atau bahkan bisa membuat spatbor (eng = fender) menjadi pecah karena terdesak tanah tersebut. Tak kusangka, saat sedang melakukan bersih-bersih tersebut, hampir semua kendaraan yang lewat pada bertanya dan menawarkan bantuan. Inilah Indonesia yang sesungguhnya, ramah tamah dan saling membantu. Salah satu pengemudi motor menunjukkan kepadaku letak kolam kecil untuk mencuci motor dan kaki serta sepatuku. Namun mengingat perjalanan masih panjang dan kemungkinan jalan yang rusak juga masih panjang, aku memutuskan hanya mencuci kaki dan sepatu saja, biarlah nanti motor kucuci saat tiba di Lampung atau Palembang.

Perjalanan kami lanjutkan kembali. Lebih dari 60 kilometer jalan yang kami lalui sampai ke kota Tangerang dalam kondisi yang rusak parah. Bahkan disatu persimpangan yang aku lupa untuk menanyakan daerah apa, aku melihat jalan yang sudah menyerupai kolam kosong. Kalau diukur kedalaman lubangnya, mungkin sudah mencapai hampir satu meter dengan lebar yang hanya menyisakan sekitar 50 centimeter dibagian kiri kanannya, sedangkan panjang jalan yang rusak tersebut sekitar 20 meter. Kembali aku meminta istriku untuk turun dari motor, dan perlahan aku berjalan di sisi kanan jalan yang cukup licin. Motor sengaja aku miringkan sedikit ke arah kanan untuk menghindari terpeleset ke dalam lubang besar tersebut, memindahkan titik beban motor ke arah yang lebih aman.

Alhamdulillah, jalan inipun berhasil dilalui dengan selamat. Membayangkan bila tergelincir dan masuk kedalam lubang besar di tengah jalan tersebut cukup menakutkan. Kondisi jalan yang licin dan tidak rata pasti sangat menyulitkan untuk mendorong motor yang tidak ringan, belum lagi kalau tidak ada orang yang mau membantu. Wualaaah…

Dari jam 6:15 pagi sampai sekitar jam 07:30 belum ada tanda-tanda kami akan menemui jalan yang cukup mulus. Walaupun Versys bisa diandalkan untuk jalan yang jelek, namun tangan dan kaki sudah mulai merasa pegal juga karena hanya bisa memacu dengan kecepatan 20-40 kilometer perjam saja. Pantat dan pinggangpun sudah minta untuk diluruskan, apalagi perut yang mulai keroncongan karena pas mau berangkat tadi hanya diisi dengan segelas air hangat yang dicampur madu saja.

Sekitar jam 07.40 akhirnya kami bertemu juga dengan jalan yang cukup mulus dan motorpun bisa dipacu sampai kecepatan 90 kilometer perjam. Jam 07.51 kami sampai di gapura besar yang bertuliskan “SELAMAT JALAN – KABUPATEN TANGERANG”. Ow..ow..Kalau tidak salah bupati Tangerang ini adalah Airin yang suaminya tengah mendekam di KPK, apakah itu juga salah satu yang membuat jalan di Tangerang sebagaian besar rusak parah?

Jam telah menunjukkan sekitar pukul 8 pagi ketika aku dan istri memutuskan untuk beristirahat dan sarapan di depan pertokoan yang berhadapan dengan polsek Cikande yang terletak di jalan raya Serang – Jakarta km.2. Sepanjang jalan utama Tangerang – Serang yang kami lalui, tidak terlihat penjual bubur ayam atau lontong. Jalan ini termasuk sepi walapun masih pagi. Di Bogor, sejak jam 5 pagi kesibukan sudah mulai terasa sekali. Jalan-jalan sudah ramai oleh kendaraan orang-orang yang mau berangkat kerja, terutama ke Jakarta. Penjual sayur yang memakai mobil dan motorpun sudah berlalu lalang menawarkan dagangannya. Di sepanjang pinggir jalan Dredet, Pahlawan, Sukasari dan Padjajaran yang biasa kulalui menuju pintu tol Bogor sudah berderet para penjual makanan. Dari bubur ayam, lontong sayur, mie ayam dan soto kuning siap melayani sarapan para pembeli.


Polsek Cikande
 Istriku masuk ke dalam Alfamart untuk membeli minuman; air putih dan minuman isotonic untuk menjaga supaya ion tubuh tidak terlalu banyak yang hilang, sekalian mengambil uang di ATM untuk tambahan bekal diperjalanan. Saat touring dan menggunakan jaket yang lumayan tebal untuk menahan terpaan angin, sebenarnya tubuh banyak mengeluarkan keringat untuk mempertahankan suhu tubuh supaya tetap stabil. Karena itu setiap touring aku selalu  mengusahakan untuk banyak meminum air putih, air kelapa atau air isotonic dan berpantang minum soda. Untuk perjalanan dengan jarak tempuh lebih dari 10 jam seperti ini, istirahat setiap minimal 3 jam sekali dan minum dengan jumlah yang cukup sangat membantu menjaga stamina.

Sambil menunggu istriku selesai berbelanja, aku membuka side box pannier dan mengeluarkan roti gandum yang sudah kusiapkan untuk jaga-jaga saat berhenti di daerah yang tidak banyak menjual makanan. Selai coklat nutella milik Dea anakku yang nomor dua aku bawa karena semalam lupa membeli untuk persiapan berangkat hari ini. Pagi ini saat akan sarapan pasti Dea akan ribut mencari-cari selai coklatnya.

Istriku sudah keluar dari Alfamart, 2 botol minuman isotonic berukuran 600ml dan 2 botol air mineral ukuran 500ml berada dalam tas kresek putih yang dibawanya. “Belum ambil uang karena ATMnya rusak.” Istriku sedikit menggerutu.

Matahari semakin meninggi, namun udara belum terasa panas. Setelah sarapan dan beristirahat lebih kurang tiga puluh menit, aku dan istri kembali melanjutkan perjalanan menuju Serang, Cilegon dan Merak. Menurut info dari orang yang aku tanya saat istirahat tadi, jarak ke Cilegon masih sekitar satu setengah jam lagi. Artinya lebih kurang jam 10 nanti kami sudah akan berada di Pelabuhan Merak. Mudah-mudahan perjalanan bisa lancar sampai Merak, aku berdoa dalam hati.

Kantor Gubernur Banten
Di Serang jalan utamanya relatif mulus dan lebar, pengendara kendaraanpun tidak banyak. Sesekali aku memacu motor sampai melebihi 100 kilometer perjam. Mungkin sekitar empat puluh menit kemudian kami sudah memasuki kota Cilegon. Dipertigaan Jalan Raya Serang – Cilegon, istriku sempat memotret kantor Gubernur Banten. Aku tersenyum, membayangkan gubernurnya yang sekarang tengah meringkuk sebagai tahanan KPK.


Jam 09. 18 kami sampai di gerbang “Selamat Datang” di Cilegon, lalulintas cukup ramai, namun tidak semacet saat berada di Tangerang. Ramai yang normal untuk ukuran lalu lintas jalan raya. Aku menjalankan motor dengan kecepatan sedang-sedang saja, sekitar 40-50 kilometer perjam. Dari Cilegon ke Merak tidak lama, sekitar 20 menit juga sudah sampai.

Dan ternyata benar, tepat jam 09.38 kami sudah sampai di Merak. Di sepanjang jalan yang kami lalui, laut dan kapal yang sedang berhenti sudah kelihatan. Aku bersyukur, separoh perjuangan berat menuju Palembang sudah terlewati. Untuk jalur Sumatera aku tidak begitu kuatir karena sudah hapal dengan rute dan kondisi jalannya. Selintas terbayang wajah ibuku yang sedang ngomel kepadaku karena kembali pergi ke Palembang dengan menggunakan motor, padahal beliau sudah mewanti-wanti dan meminta aku untuk tidak melakukannya lagi saat aku ke sana dengan menggunakan Goldwing di tahun 2011 yang lalu. Hmm…Orang tua dengan anaknya selalu begitu, selalu kuatir walaupun aku sudah bukan anak-anak lagi, walaupun aku sudah menjadi seorang bapak dengan tiga anak yang menjelang remaja. Anak dimata orang tua tetaplah anak-anak yang tetap harus dilindungi dan dijaga.


 
Di Merak
Setelah mengambil beberapa poto di sekitar pelabuhan Merak, kami menuju dermaga penyeberangan Merak – Bakauheuni. Saat melihat motorku dari kejauhan, petugas meminta agar aku masuk jalur motor, aku heran karena saat memakai Goldwing aku diperbolehkan masuk ke dalam jalur pembelian karcis untuk mobil. Dan apa mau dikata, jalur motor kecil sudah tentu tidak cukup untuk dilewati oleh Versys yang dilengkapi dengan dua side box disamping kiri dan kanan, sehingga mau tidak mau aku harus mundur untuk kembali masuk memalui jalur mobil. Untuk memperpendek jarak masuk kedalam gate karcis mobil, aku meminta supaya besi penghalang jalur dibuka. Merasa bersalah, petugas segera membuka dan membantuku mendorong motor.                                                                                                                                                                                                                                                       
Harga tiket penyebrangan untuk motor dengan cc diatas 250 dikenakan biaya sebesar 93 ribu rupiah, sedangkan untuk motor dengan cc 250 ke bawah dikenakan biaya sekitar 46 ribu rupiah. Setelah selesai membayar, kami diarahkan untuk menuju dermaga satu. Di dermaga satu, motor bisa ditempatkan diatas dek kapal dan tidak ditempatkan di dalam lambung. Diatas dek motor akan lebih aman karena lebih mudah untuk diawasi, juga bisa dimbil photonya dengan latar belakang yang bagus kalau beruntung mendapat tempat parkir yang tepat.
                                                                                                              
Di Kapal Ferry
Setelah menunggu lebih kurang 30 menit, akhirnya kapal mulai melepas tali dari dermaga sambil memperdengarkan suara khasnya…tooooottt.., tanda kapal mulai berangkat. Setelah memastikan motor dalam kondisi yang aman, aku dan istri mencari ruang eksekutif yang biasanya tersedia di kapal untuk istirahat. Untuk dapat masuk ke ruang eksekutif ini, biasanya penumpang dikenakan biaya lagi perorangnya sebesar lebih kurang 8-10 ribu rupiah. Tidak masalah, yang penting bisa beristirahat dengan nyaman untuk memulihkan stamina setelah melalui rute yang jelek dan macet selama lebih kurang hampir 3 jam.

Ternyata penyeberangan dari Merak ke Bakauheuni yang biasanya paling lama 2,5 – 3 jam saja, kali ini memakan waktu lebih lama, 4 jam lebih beberapa menit, karena menunggu antrian kapal untuk dapat berlabuh. Pelabuhan Bakauheuni sudah terlihat sangat jelas, mungkin jaraknya tinggal 1 kilometer lagi, namun kapal ferry ini malah berhenti untuk menunggu antrian. Aku sedikit dongkol karena itu berarti aku harus menambah waktu ekstra. Kalau saat kapal berangkat aku memperkirakan akan tiba di Palembang sekitar jam 10 malam, dengan kondisi saat ini kemungkinan besar aku akan tiba sekitar jam 11 malam di rumah orang tuaku nanti. Yang perlu diantisipasi adalah kami tidak berada di daerah Mesuji dalam keadaan hari sudah mulai terlalu malam atau kendaraan sudah mulai jarang karena daerah ini cukup rawan. Namun kalau jam 8 nanti sudah bisa berada di daerah Teluk Gelam, aku tidak terlalu kuatir.


  
Turun dari Kapal
Jam 13.22 aku sudah mulai turun dari kapal. Istriku tidak ikut dimotor, dia turun dengan berjalan kaki melalui jembatan kendaraan dermaga – kapal agar bisa mengambil photoku. Lega rasanya sudah berada di Pulau Sumatera. Walaupun jarak Bauheuni ke Palembang sekitar 460 kilometer, namun melalui jalur lintas Sumatera ini jauh lebih asyik daripada melalui jalan-jalan di Pulau Jawa karena hampir tidak ada kemacetan. Namun bila membandingkan pemandangan kiri-kanan pada jalan di Pulau Sumatera, terutama Lampung – Palembang, memang kalah jauh dengan pemandangan yang ada di pulau Jawa, terutama bila dibandingkan dengan pemandangan jalur Selatannya.

Kira-kira 3 kilometer dari pelabuhan Bakauheuni aku mampir di pom bensin untuk mengisi kembali bahan bakar dan sholat dzuhur jama’ taqdim sholat ashar. Hari ini aku terpaksa tidak sholat Jum’at karena di kapal tidak menyediakan sarana untuk melakukannya. Walaupun di kapal  ada mushola, namun tidak menyelenggarakan sholat Jum’at.

Di pom bensin ini ternyata tidak menyediakan pertamax walaupun di bagian depan pom bensin menuliskan kata pertamax, dengan sedikit kuatir terpaksa aku isi si Kuning dengan premium. Di pom bensin sepanjang jalur lintas timur Sumatera, pertamax memang sangat jarang, mungkin hanya satu-dua saja yang menyediakannya. Hal ini jelas kontradiktif dengan keinginan pemerintah untuk menghapus biaya subsidi bahan bakar kendaraan. Seharusnya di semua pom bensin lebih banyak menyediakan pertamax dibanding premium. Belum lagi tidak jarang pom bensin yang berada di jalur lintas Sumatera kehabisan stok bahan bakar. Untuk rekan-rekan yang touring melalui jalur lintas Sumatera dengan menggunakan motor yang bertanki kecil, saya sarankan untuk lebih sering mengisinya saat bahan bakar sudah tinggal setengah tanki.

Setelah mengisi bahan bakar, aku tepikan motor di depan Mushola. Melepas sepatu dan kaos kaki yang masih menyisakan tanah becek oleh-oleh dari Cisoka yang telah mengering. Mengganti celana jeans biru yang bagian belakangnya telah berubah menjadi abu-abu karena cipratan tanah becek dari roda belakang saat motor kejeblos di Cisoka pagi tadi dengan sarung, lalu mengambil air wudhu. Di mushola pom bensin ini aku dan istri sholat berjamaah, berdoa dan mengucap syukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada kami selama ini, juga memohon agar perjalanan kami ke Palembang diberi kelancaran, kemudahan dan dijauhkan dari segala bala’ dan bahaya.

Setelah sholat, kami segera naik motor melanjutkan perjalanan untuk mencari rumah makan. Jam sudah menunjukkan angka 14.10, waktu yang terlambat untuk melakukan santap siang. Tidak mudah mencari rumah makan yang cukup layak di sepanjang jalur lintas Pantai Timur ini, kebanyakan hanyalah rumah makan yang kecil yang kebersihannya diragukan. Jangan bandingkan dengan rumah makan di sepanjang jalur Selatan atau jalur Utara di pulau Jawa yang begitu banyaknya dengan jenis makanan yang ditawarkan juga sangat beragam. Terbayang nikmatnya makan di Asep Stroberi dan di Mak Ecot.

Rumah Makan Tiga Saudara
Setelah hampir 20 menit melajukan si Kuning, akhirnya kami mampir di rumah makan Tiga Saudara di daerah Ketapang. Rumah makan ini memiliki halaman parkir yang sangat luas, bisa puluhan truk yang parkir disini. Aku memarkirkan motor di depan dekat pintu masuk dan memilih tempat duduk yang menghadap motor dengan jelas untuk sekedar jaga-jaga. Di daerah yang tidak begtu kita kenal, apalagi daerah yang cukup sepi, lebih baik meningkatkan kewaspadaan dari pada menyesal kemudian.

Hidangan di Rumah Makan Tiga Saudara
Tidak perlu menunggu lama, makananpun dihidangkan. Kami yang memang sudah kelaparan segera menyantap hidangan tersebut. Dalam sekejap, setengah piring nasi dengan lauk sepotong ayam dan rendang sudah berada dalam perutku. Istrikupun memakan lauk yang sama, sepotong ayam dan sepotong rendang. Untuk menjaga supaya jangan ngantuk, aku memesan dua gelas white coffe, satu untukku dan satu untuk istriku. Lega sekali rasanya setelah perut kembali berisi, walaupun kali ini kami makan karena kebutuhan, bukan karena ingin sekalian menikmati wisata kuliner seperti touring yang kami lakukan di pulau Jawa.
   
Setelah makan, perjalanan kami lanjutkan, pemandangan dikiri-kanan jalan tidak ada yang menarik, namun cukup sepi sehingga kadang-kadang aku bisa melajukan motor hingga kecepatan 100 kilometer perjam. Dengan bobot motor ditambah beban pengendara, boncenger dan barang-barang dalam side box sehinga totalnya lebih dari 350 kilogram, akselerasi Versys masih tetap enteng seperti bila dikendari seorang diri dan tanpa membawa muatan apa-apa. Untuk mencapai kecepatan 100 kilometer perjam, aku hanya membutukan waktu sekitar 6-7 detik saja. Dengan akselerasi yang lumayan cepat seperti ini, aku sangat pede untuk menyalip (overtake) kendaraan di depan walaupun dari arah berlawanan kita melihat ada kendaraan lain. Apalagi versys yang aku gunakan sudah dilengkapi dengan system pengereman ABS. Saat harus melakukan pengereman pada kecepatan lumayan tinggi, motor dapat berhenti dengan sempurna tanpa harus lari ke kanan dan kiri, terasa sangat halus dan nyaman.

Jalan Licin Menjelang Sukadana
Menjelang memasuki daerah Sukadana, kembali kami dihadapkan dengan kondisi jalan yang jelek. Batu gravel berukuran cukup besar menyembul dari permukaan jalan yang bergelombang, ditambah lagi tanah becek akibat hujan semalam nampaknya. Namun dibandingkan saat melalui jalan di dearah Tangerang, kondisi ini masih belum seberapa. Dengan santai aku meliuk-liukan si Kuning untuk memilih bagian jalan yang lebih baik. Suspensi showa yang tertanam di Versys memang lebih nyaman bila dibandingkan suspensi kayaba yang tertanam di Er6n, apalagi bila dipakai melalui jalan seperti ini. Pentingnya long travel suspension sangat terasa.  Bagian jok belakang yang lebih tebal membuat istriku tidak terlalu merasakan sakit pada bagian pantat dan tulang belakang saat melalui jalan berbatu seperti ini.

Jalan Rusak Parah
Kondisi jalan yang kadang mulus dan kadang jelek membuatku harus lebih berkonsentrasi, jangan sampai disaat menambah kecepatan tiba-tiba tidak bisa menghindar lubang di depan. Saat melalui jalan yang kondisinya lumayan parah, akupun harus bersabar untuk menjaga jarak dengan kendaraan di depan ataupun memberi kesempatan kendaraan dari arah berlawanan yang akan menggunakan bagian jalan yang sama. Dalam kondisi seperti ini rasa toleransi harus tinggi, tidak bisa lagi saling serobot dan dengan alasan ini itu.
 
Menjelang Kota Sukadana
Memasuki kota Sukadana – Lampung Timur, jalan masih mulus seperti saat pertama kali aku melalui jalan ini pada tahun 2005 yang lalu, hanya satu-dua lubang saja yang ada dan tidak dalam. Aku coba melarikan si Kuning sampai 120 kilometer perjam, sangat nyaman dan tidak terasa ada getaran. Handlingnya stabil, juga saat melibas tikungan lebar dengan kecepatan 100 kilometer perjam, walaupun dengan posisi badan yang cenderung tegak, ciri khas motor touring. Suara yang halus yang keluar dari knalpot standard sangat nyaman kurasakan karena tidak mengganggu konsentrasi untuk menikmati perjalanan, juga tidak mengganggu saat ingin berbicara dengan istri. Beberapa kawan menyarankan untuk menggantinya dengan knalpot lain supaya lebih bertenaga dan lubang knalpot posisinya menjadi lebih tinggi supaya aman bila melintasi jalan yang tergenang air. Namun untuk saat ini aku lebih suka knalpot standard ini yang menurutku desainnya kelihtan futuristic dan cantik, juga tentu karena tidak bising.

Dari Sukadana menuju daerah Menggala jalan masih relatif mulus dengan beberapa lubang di beberapa titik. Di jalan ini si Kuning bisa dipacu sampai 125 kilometer perjam tanpa harus kuatir. Seandainya aku sendirian, ingin rasanya memacu motor sampai batas maksimal yang bisa dicapai mengingat kontur jalan yang lurus dan pandangan yang cukup luas. Rasa penasaran saat touring ke Jogja bulan Mei kemarin masih belum tertuntaskan karena maksimum speed yang saat itu bisa aku capai hanya disekitar 140 kilometer perjam. Trek yang pendek dan ramai sangat tidak memungkinkan untuk terus memacu motorku. Namun bersama istri kali ini, tidak mungkin aku bisa memacu motor dengan leluasa. Tapi cukuplah, toh ini touring berdua, saat dimana perjalanan harus dinikmati bersama karena bukan tempat tujuan yang menjadi target, namun justru perjalanan menuju tempat tujuan itulah tujuan touring sebenarnya. Touring is a journey not destination.

Dipertigaan Menggala motor kuarahkan ke kanan untuk menuju jalan lintas timur Lampung – Palembang. Jalan dari persimpangan Menggala ini menuju Tulang Bawangpun tidak begitu mulus. Jalan yang tidak rata dan bergelombang serta asphalt yang telah terkelupas mewarnai perjalanan. Namun kondisi jalan seperti ini bukan masalah yang berarti untuk motor enduro kelas pemula seperti versys. Kok kelas pemula? Ya, bagiku Versys 650 cc adalah kelas pemula seperti Suzuki V-Storm 650, BMW 650 atau Honda NC700x. Di kelas menengah menurutku adalah kelas 800-1000 cc, seperti BMW GS800, Triumph Tiger 800XC atau Versys 1000cc. Nah, untuk kelas berat masih menurutku adalah BMW GS1200, Ducati Multristrada 1200, Yamaha Super Tenere 1200, Honda Crosstourer 1200 ataupun motor adventure lain dengan cc di atas 1000 .

Namun Versys 650 aku nilai sangat cocok untuk jalan di Indonesia yang kusut bin semrawut. Masih mudah untuk melakukan selap-selip atau lewat dari bahu jalan seperti yang kulakukan saat terjadi kemacetan parah di Raja Polah, di Nagreg dan di Cimahi saat pulang dari Jogja. Seorang rekan yang menggunakan Goldwing 1800 sampai tertinggal 3 jam lebih. Namun dengan catatan, side box pannier harus dilepas dan digantikan dengan side bag yang lebih lentur untuk menghindari terjadinya benturan yang membuat motor tidak bisa lewat saat selap-selip.

Lewat dari Tulang Bawang gelap mulai merambat turun. Jam 17.50 Aku memutuskan untuk berhenti di pom bensin untuk mengisi bahan bakar dan sholat magrib. Di pom bensin yang terletak di Indraloka - Tulang Bawang ini ternyata menyediakan pertamax, sehingga tanki si Kuning aku isi sampai penuh supaya tidak perlu lagi mengisi sebelum sampai ke Palembang. Kapasitas tanki yang bervolume 18 liter memang sangat membantu, sehingga kita tidak perlu sering-sering mengisi bensin. Apalagi dalam catatanku, jarak rata-rata yang bisa ditempuh perliternya dalam perjalanan ini sekitar 20 kilometeran.

Jam 19.00 kami meninggalkan pom bensin dan melanjutkan kembali perjalanan. Dari Tulang Bawang masih akan melewati Mesuji Lampung, Mesuji SumSel, Lempuing, Pematang Panggang, Teluk Gelam, Kayu Agung, Tanjung Raja dan Indralaya untuk sampai ke Palembang. Hari yang sudah gelap sangat tidak menguntungkan untuk memacu kendaraan dengan cepat mengingat terkadang terdapat lubang dan jalan yang tidak mulus. Kecepatan 50-70 kilometer perjam aku rasa sudah cukup demi keselamatan, apalagi bila membayangkan 3 anak di rumah yang masih sangat membutuhkan kedua orangtuanya.

Kondisi perjalanan malam dari Tulang Bawang sampai Tanjung Raja hampir sama, melintasi jalan yang terkadang mulus dan terkadang tidak mulus. Lalu lintas tidak ramai, hanya sesekali kami harus mendahului iring-iringan truk supaya laju motor tidak terlalu lambat. Di jalan yang cukup gelap, aku menyalakan fog lamp cree 12 watt yang kupasang di engine guard untuk membantu lampu utama. Bila berpapasan dengan kendaraan dari arah depan, aku segera mematikan fog lamp tersebut karena kuatir membuat mata mereka menjadi silau.

Jam 20:35 kami beristirahat di Tanjung Raja untuk membeli minuman di Alfamart, sambil menelpon adikku di Palembang agar bisa menyediakan kamar untuk kami. Rencana awal, kami akan menginap di rumah orang tuaku yang terletak di depan PT. Pusri, namun karena kuatir sampai di Palembang sudah terlalu malam dan akan mengganggu istirahat mereka maka aku putuskan untuk menginap di rumahku yang sekarang ditempati oleh adik perempuanku satu-satunya itu. Namun ternyata adikku mengatakan bahwa sepupuku yang tinggal di Bojong sedang menginap di rumahku karena tengah mengantar anaknya untuk mendaftar di Universitas Sriwijaya. Akhirnya dengan terpaksa aku menelpon ke rumah orang tuaku dan memberi tahu bahwa aku dan istri sudah berada di Tanjung Raja dan akan menginap di rumahnya.

Memasuki jalan raya Palembang – Indralaya yang kilometernya aku lupa, terjadi kemacetan yang cukup parah, padahal jarak dari titik kemacetan ke Palembang hanya sekitar 15 kilometer lagi. Sebisa mungkin aku berusaha untuk mengambil jalur kanan saat terlihat ada celah yang memungkinkan, dan segera menepi bila ada mobil dari arah berlawanan yang lewat. Sedikit demi sedikit usaha ini berhasil, dengan total lebar sekitar 1 meteran saat box terpasang ternyata tidak begitu menyulitkan untuk bisa keluar dari antrian kendaraan ini.

Jam 22.45 kami sudah memasuki kota Palembang, dari jalan Polygon aku belokkan motor menuju jalan Parameswara dan terus menuju jalan Demang Lebar Daun. Trafic light di persimpangan Polda berwarna hijau saat kami tiba di sana sehingga kami bisa terus melanjutkan ke jalan Basuki Rahmad tanpa harus berhenti.  Di persimpangan Jalan R Sukamto Sekip, traffic light berwarna merah, aku berhenti, beberapa pengemudi motor dan mobil terlihat memperhatikan kami.

Di persimpangan empat Kenten, istriku meminta untuk membeli martabak telor terlebih dahulu sebelum menuju rumah orang tuaku. Saat istirahat di pom bensin Tulang Bawang kami sepakat untuk tidak makan malam diperjalanan, namun akan makan malam di Palembang dengan menu martabak telor. Martabak telor di Palembang sedikit berbeda dengan martabak telor di daerah lain karena disajikan dengan kuah kentang kari yang diberi potongan daging sapi atau kambing. Makanan ini lebih terkenal dengan sebutan martabak HAR, singkatan dari nama orang yang pertama membuka usaha jualan makanan tersebut. Kuah karinya yang hangat dengan rasa yang cukup kuat memang membuat makanan ini menjadi salah satu makanan favorit bagi masyarakat Palembang selain pempek, tekwan, model, climpungan atau mie celor. Di rumah, seringkali aku dan istri gotong royong dalam membuat martabak telur ini. Aku yang bertugas membuat martabaknya dan istriku yang menyiapkan kuah karinya.

Tepat jam 23.05, kami sampai di rumah orang tuaku. Segala letih dan penat rasanya terbayar sudah. Aku melepas side box sebelah kiri agar motor bisa di parkir diteras samping rumah karena pintu masuk teras samping ini lebarnya hanya sekitar 80 centimeter saja. Mau diparkir diteras depan aku kuatir ada bagian yang dijarah orang karena daerah tempat tinggal orang tuaku termasuk kurang aman, sementara di garasi hanya cukup untuk satu buah mobil yang sudah terparkir di dalamnya.

Setelah mengeluarkan pakaian dari dalam box, kami menuju kamar untuk beristirahat. Di dalam kamar, orang tuaku sudah menyiapkan handuk dan perlengkapan mandi untuk kami. Kamar ini memang disediakan untukku atau adikku yang juga tinggal diluar kota bila sedang liburan di Palembang. Anak-anak disediakan kamar lain yang berdekatan dengan kamar orang tuaku. Sejuknya udara yang dikeluarkan oleh AC yang terpasang mengalahkan panasnya udara kota Palembang. Aku melamun, membayangkan rencana yang akan kami lakukan besok. Selain berphoto di Benteng Kuto Besak dengan latar belakang jembatan Ampera dan ke rumah mertuaku sudah pasti kami akan menikmati model dan pempek. Hhmmm….a really nice day. Tidak beberapa lama kemudian kamipun tertidur dengan pulas.
(Bersambung…)

1 comment:

  1. Seru ya! dari motor dari bersih,dekil, berlumpur, sampe bersih lagi. Tapi terbayar semua keletihan. Keren! :)

    ReplyDelete