Saturday, January 29, 2011

GORENG TERIGU

Sejak dini hari kemarin hujan turun di Kurau, daerah kecil di Pulau Padang Kabupaten Meranti yang terletak di Propinsi Riau, tempatku mencari penghidupan untuk keluargaku. Lokasi yang terletak dibibir pantai ini semakin dingin kala angin laut berhembus kearah “camp” dan kantor kami, membuatku malas untuk segera mandi setelah pulang dari masjid untuk sholat subuh. Aku menarik selimut kembali setelah membaringkan badan di ranjang sambil menonton TV, mencari berita supaya tidak ketinggalan informasi diluar sana.

Diluar hujan masih juga belum berhenti sementara waktu sudah menunjukkan pukul 5.45 pagi, padahal jam 6.00 aku sudah harus berada di kantor. Jarak kamarku dengan kantor hanya sekitar 150 meter, 5 menit bila kutempuh dengan berjalan kaki atau hanya 2 menit bila aku bersepeda. Aku segera bangkit dari ranjang dan menuju kamar mandi, menghidupkan air panas dan sweerrrr…..berharap rasa malas karena dingin segera hilang setelah tersiram hangatnya air yang mengalir melalui shower.

Seperti biasa tugas pertamaku dikantor setiap hari adalah mengirimkan laporan produksi minyak kepada para boss di Jakarta. Produksi yang semakin hari semakin menurun karena berkurangnya cadangan minyak dalam reservoar di perut bumi. Aku masih ingat saat 2 tahun yang lalu aku masuk ke perusahaan ini produksi kami masih mencapai 10.000 barrel perhari, namun saat ini untuk mencapai produksi 7500 barrel perhari saja susahnya bukan main, padahal sudah dilakukan penambahan sumur-sumur baru dan juga mengoptimasikan sumur-sumur yang lama.

Saat laporan selesai aku kirimkan, hujan bukannya malah sudah berhenti namun semakin lebat mengguyur bumi Kurau. Tanah dan pohon menjadi semakin basah, bahkan ranting-ranting pohon besar tertunduk kebawah karena beratnya menahan air hujan. Monyet-monyet dan burung yang biasanya ramai disekitar camp dan kantor kami tidak ada yang tampak satupun juga, para pekerja yang biasanya mondar-mandirpun tidak ada yang beraktifitas, semua berlindung dari derasnya air hujan yang turun.

Dalam balutan udara yang dingin (walaupun AC dalam kantor sudah aku matikan) entah kenapa aku teringat dengan goreng terigu buatan ibuku, goreng terigu yang hampir setiap hari menjadi menu bekalku saat aku masih duduk di Taman Kanak-kanak. Ya, memang hampir setiap hari aku dibekali goreng terigu dengan pilihan rasa yang hanya dua saja, goreng terigu manis atau gurih.

Walaupun masih diTaman Kanak-kanak, terus terang aku terkadang malu juga dengan teman-temanku karena selalu membawa bekal yang itu-itu juga sementara kawanku selalu berganti-ganti. Aku lihat terkadang mereka membawa kue lapis, terkadang dadar gulung, donut, wafer, bolu, bolu kukus, kroket dan kue-kue yang lain. Sehingga tak jarang goreng terigu bekalku tidak aku makan dan aku bawa pulang kembali ke rumah.

Bukannya aku tidak pernah protes dengan ibuku mengenai bekalku yang tidak pernah diganti, tetapi jawaban yang diberikan oleh ibuku tidak pernah berubah, sama seperti bekalku. ”Kamu taukan kalau ibu sudah harus pergi untuk mengajar pada jam lima pagi dari rumah? Jadi pasti tau jugakan kalau ibu tidak sempat buat kue sebelum jam lima? Jam empat pagi ibu sudah harus bangun dan memasak untuk kalian sarapan serta menyiapkan lauk untuk makan siang juga. Kita tidak bisa punya pembantu karena tidak punya cukup uang untuk membayar gajinya. Ibu harus punya banyak tabungan untuk membiaya kalian sekolah, bukan asal sekolah saja...tetapi menjadi sarjana yang punya kedudukan yang baik supaya tidak harus banting tulang seperti ibu dan ayah.”

Ya, ibuku adalah seorang guru sekolah dasar ditempat yang jauh, lebih dari 60 km dari rumahku. Untuk kondisi sekarang mungkin jarak tersebut bukan jarak yang terlalu jauh karena banyaknya sarana transportasi, tetapi pada tahun 75 itu bukan jarak yang pendek karena untuk sampai di SD tempatnya mengajar ibuku harus 3 kali berganti kendaraan dengan waktu tempuh lebih dari 2 jam.

Ibuku baru sampai rumah pada jam 4 sore. Di rumah ibuku hanya sedikit beristirahat, paling 30 menit. Setelah itu beliau segera masak untuk kami makan malam, mencuci baju, menyetrika dan menyiapkan bahan untuk mengajar besok. Sungguh aktifitas yang berat. Ibuku terpaksa bekerja karena untuk membantu ayahku membiaya kehidupan kami sehingga kami bisa sekolah yang tinggi, bisa menjadi sarjana dan bisa mendapatkan pekerjaan yang baik. Ayahku adalah seorang pekerja biasa pada sebuah perusahaan BUMN, gajinya menurut ibuku tidak akan cukup untuk persiapan biaya kuliah kami nanti, biaya kuliah untuk keempat anak-anaknya.

Diluar masih juga hujan, padahal saat ini sudah jam setengah sebelas. Aku terpaksa membatalkan rencana untuk melihat lokasi-lokasi baru untuk pengeboran sumur-sumur minyak baru. Aku masih duduk dikantor, melanjutkan ingatanku tentang goreng terigu buatan ibuku. Masih bisa kurasakan rasa manis dan gurihnya goreng terigu tersebut, masih bisa juga aku ingat bentuknya yang tidak beraturan karena tidak digoreng dengan cetakan.

Ibuku seorang planner yang handal walaupun aku yakin beliau tidak pernah mengerti apa itu arti planing dalam kamus kata teknik. Mempersiapkan biaya pendidikan untuk anak-anaknya saat mereka masih kecil dan baru mulai sekolah. Membuat estimasi perhitungan biaya sekolah untuk beberapa tahun kedepan serta strategi menabung supaya nilai tabungannya tidak merosot tergerus inflasi. Dan berkomitment untuk menomor sekiankan hal-hal yang dianggapnya tidak penting atau tidak masuk dalam skala prioritas.

Masih ingat juga saat aku mulai menginjak remaja dan meminta sesuatu yang menurutnya bukan hal yang penting, jawabannya masih juga sama dengan jawaban saat aku masih di Taman Kanak-kanak “Biaya sekolah dan kuliah kalian adalah hal yang paling penting. Tugas Ibu dan Ayah adalah menyiapkan kalian menjadi sarjana yang punya pekerjaan baik, bisa menghidupi keluarga kalian dengan baik dan menyekolahkan anak-anak kalian lebih tinggi dari sekolah kalian.” Hmmm..., disamping seorang Planner yang ulung, ibuku ternyata seorang yang berkomitment tinggi.

Bayangan goreng terigu masih menari-nari dalam pikiranku, rasanya yang kenyal tetapi tidak alot, warnanya yang kecoklatan dan juga bentuknya yang pasti tidak menarik. Terbayang juga bagaimana ibuku yang harus bangun pagi untuk menggorengnya dengan susah payah karena penglihatan beliau yang sudah kurang karena gangguan pada matanya sejak masih kecil.

Aku tersenyum, dari jendela kantor kulihat hujan belum juga berhenti. Aku mengangkat telepon dan berkata pada seseorang di ruangan lain “Selamat pagi, dengan saya Area Manager....bisa minta buatkan goreng terigu? Terima kasih, resepnya tolong diambil diruangan saya 10 menit lagi, saya mau tanyakan pada ibu saya dulu...”. Aku menutup telepon dan segera menelpon ibuku untuk menanyakan resep goreng terigu tersebut sambil ingin berterima kasih untuk goreng terigunya yang telah membawaku menjadi seorang Area Manager, posisi tertinggi untuk pekerja di lapangan pada explorasi minyak dan gas bumi.

No comments:

Post a Comment