Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan kiriman artikel dari kawan sekerja mengenai “lucky” atau keberuntungan. Artikelnya sangat menarik dan menggugah, menjelaskan bahwa keberuntungan itu bukan semata-mata kebetulan belaka, namun lebih kepada merupakan suatu upaya yang bisa dilakukan oleh siapa saja namun dengan catatan harus memulai sesuatu dengan pikiran yang positif.
Saya jadi teringat dengan ucapan beberapa kawan SMA saya yang melihat saya sebagai sosok “the lucky man”, hampir dalam segala hal menurut mereka. Banyak kawan yang menduga bahwa apa yang telah saya dapatkan saat ini lebih karena merupakan bahwa saya selalu dinaungi oleh faktor keberuntungan saja, tidak lebih. Mereka tidak menganggap bahwa apa yang saya dapatkan saat ini merupakan suatu usaha yang keras yang telah saya lakukan, karena menurut mereka masih banyak kawan lain yang jauh lebih pintar daripada saya yang seharusnya lebih sukses daripada saya, baik dari sisi karir pekerjaan, financial maupun kehidupan.
Mungkin pendapat kawan SMA saya tersebut ada benarnya, tapi mungkin juga ada yang kurang benar. Saya yakin setiap orang memang diberikan keberuntungan oleh sang Maha Pencipta sejak masa penciptaan. Misalnya keberuntungan karena dipilihkan untuk diletakkan dalam rahim seorang ibu yang tepat, keberuntungan karena dihasilkan dari sperma seorang ayah yang tepat, keberuntungan karena pilihan agama orang tua yang tepat sehingga sebelum kita bisa mengerti apa itu agamapun, namun di surat keterangan lahir kita telah tertulis agama yang sama seperti agama orang tua kita. Dan masih banyak lagi keberuntungan yang telah diberikan sebelum kita sendiri mengerti dan bisa merasakan makna keberuntungan tersebut.
Namun yang menurut saya perlu disayangkan, masih banyak kawan SMA saya yang menganggap bahwa keberuntungan itu merupakan faktor bawaan, bukan sesuatu yang bisa diciptakan atau diusahakan. Inilah mungkin persepsi yang perlu diluruskan, perlu dibenahi sehingga setidak-tidaknya kawan yang merasa belum beruntung bisa segera mendapatkan keberuntungan tersebut seperti kawan-kawan lain yang telah beruntung.
Menurut artikel kiriman kawan kerja saya tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa orang yang beruntung melakukan memang bertindak berbeda dengan mereka yang sial atau halusnya kurang beruntung. Misalnya disebutkan, dalam salah satu penelitian the Luck Project ini, Prof. Wiseman sebagai peneliti memberikan tugas untuk menghitung berapa jumlah foto dalam koran yang dibagikan kepada dua kelompok tadi. Orang-orang dari kelompok yang kurang beruntung memerlukan waktu rata-rata 2 menit untuk menyelesaikan tugas ini. Sementara mereka dari kelompok yang beruntung hanya perlu beberapa detik saja! Lho kok bisa?
Ya, karena sebelumnya di halaman ke dua Wiseman telah meletakkan tulisan yang tidak kecil berbunyi “Berhenti menghitung sekarang! ada 43 gambar di koran ini”. Kelompol kurang beruntung melewatkan tulisan ini ketika asyik menghitung gambar. Bahkan, lebih iseng lagi, di tengah-tengah koran, Wiseman menaruh pesan lain yang bunyinya: “Berhenti menghitung sekarang dan bilang ke peneliti, Anda menemukan ini, dan menangkan US$250!” Lagi-lagi kelompok sial melewatkan pesan tadi! Memang benar-benar sial atau kurang beruntung.
Singkatnya, dari penelitian yang diklaimnya “scientific” ini, Wiseman menemukan 4 faktor yang membedakan mereka yang beruntung dari yang yang kurang beruntung:
1. Sikap terhadap peluang.
Orang beruntung ternyata memang lebih terbuka terhadap peluang. Mereka lebih peka terhadap adanya peluang, pandai menciptakan peluang, dan bertindak ketika peluang datang. Bagaimana hal ini dimungkinkan?
Ternyata orang-orang yang beruntung memiliki sikap yang lebih rileks dan terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru. Mereka lebih terbuka terhadap interaksi dengan orang-orang yang baru dikenal, dan menciptakan jaringan-jaringan sosial baru. Orang yang kurang beruntung lebih tegang sehingga tertutup terhadap kemungkinan- kemungkinan baru.
Sebagai contoh, ketika Barnett Helzberg seorang pemilik toko permata di New York hendak menjual toko permatanya, tanpa disengaja sewaktu berjalan di depan Plaza Hotel, dia mendengar seorang wanita memanggil pria di sebelahnya: “Mr. Buffet!” Hanya kejadian sekilas yang mungkin akan dilewatkan kebanyakan orang yang kurang beruntung. Tapi Helzber berpikir lain. Ia berpikir jika pria di sebelahnya ternyata adalah Warren Buffet, salah seorang investor terbesar di Amerika, maka dia berpeluang menawarkan jaringan toko permatanya. Maka Helzberg segera menyapa pria di sebelahnya, dan betul ternyata dia adalah Warren Buffet. Perkenalan pun terjadi dan Helzberg yang sebelumnya sama sekali tidak mengenal Warren Buffet, berhasil menawarkan bisnisnya secara langsung kepada Buffet, face to face. Setahun kemudian Buffet setuju membeli jaringan toko permata milik Helzberg. Betul-betul beruntung.
2. Menggunakan intuisi dalam membuat keputusan.
Orang yang beruntung ternyata lebih mengandalkan intuisi daripada logika. Keputusan-keputusan penting yang dilakukan oleh orang beruntung ternyata sebagian besar dilakukan atas dasar bisikan “hati nurani” (intuisi) daripada hasil otak-atik angka yang canggih. Angka-angka akan sangat membantu, tapi final decision umumnya dari “gut feeling”.
Yang barangkali sulit bagi orang yang sial adalah, bisikan hati nurani tadi akan sulit kita dengar jika otak kita pusing dengan penalaran yang tak berkesudahan. Makanya orang beruntung umumnya memiliki metoda untuk mempertajam intuisi mereka, misalnya melalui meditasi yang teratur.
Pada kondisi mental yang tenang, dan pikiran yang jernih, intuisi akan lebih mudah diakses. Dan makin sering digunakan, intuisi kita juga akan semakin tajam.
Banyak teman saya yang bertanya, “mendengarkan intuisi” itu bagaimana? Apakah tiba-tiba ada suara yang terdengar menyuruh kita melakukan sesuatu? Wah, kalau pengalaman saya tidak seperti itu. Malah kalau tiba-tiba mendengar suara yg tidak ketahuan sumbernya, bisa-bisa saya jatuh pingsan. Karena ini subyektif, mungkin saja ada orang yang beneran denger suara.
Tapi kalau pengalaman saya, sesungguhnya intuisi itu sering muncul dalam berbagai bentuk, misalnya:
- Isyarat dari badan. Anda pasti sering mengalami. “Saya kok tiba-tiba deg-degan ya, mau dapet rejeki kali”, semacam itu. Badan kita sesungguhnya sering memberi isyarat tertentu yang harus Anda maknakan. Misalnya Anda kok tiba-tiba meriang kalau mau dapet deal gede, ya diwaspadai saja kalau tiba-tiba meriang lagi.
- Isyarat dari perasaan. Tiba-tiba saja Anda merasakan sesuatu yang lain ketika sedang melihat atau melakukan sesuatu. Ini yang pernah saya alami. Contohnya, waktu saya masih kuliah, saya suka merasa tiba-tiba excited setiap kali melintasi kantor perusahaan tertentu. Beberapa tahun kemudian saya ternyata bekerja di kantor tersebut. Ini masih terjadi untuk beberapa hal lain.
3. Selalu berharap kebaikan akan datang.
Orang yang beruntung ternyata selalu ge-er terhadap kehidupan. Selalu berprasangka baik bahwa kebaikan akan datang kepadanya. Dengan sikap mental yang demikian, mereka lebih tahan terhadap ujian yang menimpa mereka, dan akan lebih positif dalam berinteraksi dengan orang lain. Coba saja Anda lakukan tes sendiri secara sederhana, tanya orang sukses yang Anda kenal, bagaimana prospek bisnis kedepan. Pasti mereka akan menceritakan optimisme dan harapan.
4. Mengubah hal yang buruk menjadi baik.
Orang-orang beruntung sangat pandai menghadapi situasi buruk dan merubahnya menjadi kebaikan. Bagi mereka setiap situasi selalu ada sisi baiknya. Dalam salah satu tes nya Prof Wiseman meminta peserta untuk membayangkan sedang pergi ke bank dan tiba-tiba bank tersebut diserbu kawanan perampok bersenjata. Dan peserta diminta mengutarakan reaksi mereka. Reaksi orang dari kelompok kurang beruntung umumnya adalah: “Wah sial bener ada di tengah-tengah perampokan begitu”. Sementara reaksi orang beruntung, misalnya adalah: “Untung saya ada disana, saya bisa menuliskan pengalaman saya untuk media dan dapat uang”. Apapun situasinya orang yang beruntung pokoknya untung terus. Mereka dengan cepat mampu beradaptasi dengan situasi buruk dan merubahnya menjadi keberuntungan
Dari penjelesan diatas menurut saya cukup jelas bahwa keberuntungan itu ternyata bukan faktor “bawa-an” saja, tetapi lebih kepada sesuatu yang bisa diusahakan. Belum yakin? Sebenarnya dengan membaca artikel inipun anda sudah termasuk orang yang beruntung karena ternyata Prof Wiseman bahkan sudah membuka “Luck School”. Latihan yang diberikan Wiseman untuk orang-orang semacam itu adalah dengan membuat “Lucky Diary”, buku harian keberuntungan. Setiap hari, peserta harus mencatat hal-hal positif atau keberuntungan yang terjadi. Mereka dilarang keras menuliskan kesialan mereka. Awalnya mungkin sulit, tapi begitu mereka bisa menuliskan satu keberuntungan, besok-besoknya akan semakin mudah dan semakin banyak keberuntungan yg mereka tuliskan.
Ketika mereka melihat beberapa hari ke belakang Lucky Diary mereka, mereka semakin sadar betapa beruntungnya mereka, dan sesuai prinsip “law of attraction”, semakin mereka memikirkan betapa mereka beruntung, maka semakin banyak lagi lucky events yang datang pada hidup mereka.
Jadi, ternyata sesederhana itu rahasia orang yang beruntung dan ternyata semua orang juga bisa beruntung. Termasuk kita semua.
Nah, apakah kawan-kawan sudah siap untuk memulai menjadi orang yang beruntung? (by SUTEDJA)
Yes, I'm so lucky to be yours. Keep up good job!
ReplyDelete