Tuesday, June 17, 2014

Touring Bogor - Palembang - Bogor (Bag. II) : Di Palembang



TOURING BOGOR – PALEMBANG – BOGOR
DI PALEMBANG (BAG. II)


Adzan subuh yang membangunkanku
selalu mengingatkan pada sosok perempuan tua
yang kini tengah menempuh perjalanan yang sangat jauh
………. sangat jauh
Merindukanmu, selalu membuat aku kehilangan kata-kata


  Alarm jam setengah lima pagi yang berbunyi dari HPku berdering keras, bersamaan dengan alunan adzan yang keluar dari speaker masjid di kampung sebelah. Aku menggeliat, badan ini rasanya masih berat untuk diajak berdiri, mataku juga masih ingin diistirahatkan lebih lama. Tidur selama lima jam kurasakan masih kurang setelah menempuh perjalanan yang lumayan menguras tenaga saat melewati jalan-jalan yang tidak mulus sejak dari Bogor sampai Palembang.
        Di sebelah, istriku juga sudah membuka matanya dan menggeliat meregangkan otot-otot tubuhnya yang mungkin pada pegal. Seharian duduk di belakang jok motor pastilah hal yang membosankan. Istriku bangun lebih dahulu dan menuju ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, kemudian sholat. Saat istriku selesai sholat, aku masih malas untuk bangun. Mataku masih berada antara setengah terbuka dan terpejam. “Kang, cepat sholat. Setelah sholat nanti bisa nyambung tidur lagi.” Katanya sambil mengguncang tubuhku.
           Akupun berdiri bangun, menuju kamar mandi dan mengambil wudhu, setelah itu sholat subuh. Selesai sholat aku kembali menggulingkan badan dan mencoba untuk tidur sebentar, sekedar mencoba menghilangkan kantuk yang masih tersisa.
            Lebih kurang jam enam aku kembali bangun dan teringat akan celana jeans, kaos kaki dan sepatu yang aku rendam tadi malam sesaat setelah sampai di rumah orang tuaku. Aku bergegas menuju teras kecil di samping belakang rumah yang digunakan ibuku sebagai tempat untuk mencuci pakaian. Celana jeans aku angkat dari ember, air yang mengalir turun dari celana itu berwarna sangat keruh, kotor sekali.
          Jeans, kaos kaki dan sepatu kini telah selesai aku cuci. Ada sedikit kuatir kalau sepatu tidak bisa kering hari ini megingat bahannya yang cukup tebal. Selain akan dipakai pulang subuh besok, sepatu ini juga akan aku pakai petang nanti untukberphoto di pelataran depan Benteng Kuto Besak dan ke rumah mertuaku di Jakabaring. Kalau celana dan kaos kaki aku tidak begitu kuatir karena bisa aku tinggalkan saja.
            Di ruang tamu aku mendengar suara bapak, ibu dan istriku yang tengah mengobrol. Aku bergegas keluar dari kamar dan bergabung bersama mereka. Tidak terasa begitu cepat waktu berlalu, terakhir kali aku ke sini adalah saat hari Raya Idul Fitri tahun yang lalu bersama dengan anak-anak. Setiap hari Raya Idul Fitri sejak kami pindah dari Palembang ke Bogor lima tahun yang lalu, kami selalu mudik. Anak-anak begitu bersemangat untuk dapat berlebaran di Palembang, di sini mereka dapat berkumpul dan bermain dengan sepupu-sepupunya.
Dea anakku yang nomor dua, lebih memilih untuk menginap di rumahku yang kini ditempati adik perempuanku. Adikku sangat jago memasak makanan dan kue, mungkin karena itulah yang membuat Dea senang tinggal di situ. Anin anak sulungku lebih netral. Terkadang dia menginap bersama adikku, terkadang dia menginap di rumah orang tuaku bersama kami, kadang juga dia menginap di rumah mertuaku di daerah Jakabaring, atau menginap di rumah adik iparku. Sedangkan sibungsu Rafif, selalu menginap di mana istriku menginap. Bungsuku ini walaupun telah berumur delapan tahun namun masih sulit untuk berpisah dengan ibunya. Namun bila kami pergi touring, herannya dia tenang-tenang saja dan tidak merasa kehilangan.
Setelah ngobrol dan sarapan, aku segera mengeluarkan motor dari teras samping rumah ke halaman depan untuk dicuci. Tanah becek yang melekat telah mengering dan mengeras. Aku menarik selang dan menghidupkan pompa air, kemudian mulai menyiram tubuh si Kuning. Tanah-tanah yang lengket tidak sulit untuk dilepaskan, semprotan air yang dipompakan mengalir cukup deras dan merontokkan tanah-tanah tersebut. Seluruh bagiannya aku sabuni, bagian bawah mesin dan tabung knalpot aku sikat, setelah itu kembali aku menyemprotnya dengan air supaya sabunnya terbilas bersih.
Setelah motor bersih dan aku keringkan, aku memeriksa baut-bautnya. Jalan yang jelek dan tidak rata membuat banyak getaran pada motor dan pasti akan mengakibatkan ada baut yang kendur. Ternyata dugaanku tidak salah. Tiga baut L pengikat sepatbor tambahan di roda belakang kendur semua, pantas saat melalui jalan jelek semalam terdengar bunyi  “klek-klek” dari bagian belakang motor.
Baut-baut yang lainpun aku periksa. Ada yang menggunakan kunci L dan ada yang menggunakan kunci ring ataupun kunci shocket. Baut yang berukuran besar semua aman-aman saja, tapi baut berukuran kecil ada beberapa yang harus aku kencangkan kembali.
Jam dinding di ruang tamu telah menunjukkan pukul 10 lewat. Matahari sudah meninggi dan sinarnya mulai menyengat panas. Sudah beberapa hari ini di Palembang tidak hujan, mungkin karena sudah mulai memasuki musim kemarau. Cuaca di Palembang memang lebih panas daripada di Bogor, apalagi bila dibandingkan dengan perumahan tempat aku tinggal sekarang yang berada persis di bawah kaki gunung Salak yang suasananya sangat sejuk.
Aku kembali mengantuk dan malas untuk keluar rumah. Di ruang tamu, istriku tengah mengobrol seru dengan kakak ipar perempuanku dan tiga anaknya. Ibu dan bapakku juga ikut bergabung bersama mereka.
Tak lama akupun nimbrung bersama mereka sambil menikmati kemplang panggang kesukaan istriku yang dibawa oleh kakak iparku. Kemplang panggang adalah salah satu makanan khas dari Palembang sejenis kerupuk, namun ukurannya dibuat lebih besar dengan diameter sekitar 8 sampai dengan 20 sentimeter. Kalau kerupuk Palembang umumnya dimatangkan dengan cara digoreng, kemplang panggang ini dimatangkan dengan cara memanggangnya di atas bara api dari arang. Selain diberi topping sambal, memakan kemplang panggang ini akan terasa enak juga dilakukan dengan cara mencelupkannya ke dalam cuka pempek.
Tidak terasa waktu terus bergeser, kini jam telah menunjukkan pukul 12 kurang sepuluh menit. Perutku mulai keroncongan. Aku segera menuju meja makan. Hari ini ibuku memasak ikan kembung bumbu kuning. Ikan kembung yang berukuran cukup besar itu dibelah menjadi dua bagian. Aku makan dengan lahap, dua potong ikan kembung itu telah pindah ke piring makanku. Dagingnya yang tebal dan empuk terasa sangat gurih. Ibu memasak ikan kembung bumbu kuning ini dengan tidak menggoreng ikannya terlebih dahulu karena ingin mengurangi penggunaan minyak goreng yang dapat menyebabkan peningkatan kadar kolesterol. Dalam usianya yang sudah lewat enam puluh enam tahun, kedua orang tuaku menerapkan pola makanan sehat supaya terhindar dari penyakit.
Setelah makan, mataku kembali memberat untuk dibuka. Tiupan kipas angin di ruang tengah membuatku kembali mengantuk. Ingin sekali rasanya segera menuju tempat tidur, namun aku kuatir tidak bisa bangun saat masuk waktu dzuhur nanti sehingga aku memilih untuk kembali ngobrol dengan bapakku.
Jam tiga sore kurang sepuluh menit aku terbangun. Tidak terasa ternyata tidur siangku sudah lebih dari dua setengah jam. Aku membangunkan istriku yang juga ikut tidur siang. Kami segera mandi karena sore ini akan ke Benteng Kuto Besak untuk berphoto dengan dengan latar jembatan Ampera dan ke rumah mertuaku. Saat aku masih tinggal di Palembang 5 tahun yang lalu, belum pernah aku berphoto seperti ini. Namun setelah tinggal di Bogor, kalau tidak salah hitung sudah 3 kali aku melakukannya. Yang pertama aku berphoto dengan kawan-kawan semasa SMP, yang kedua saat aku touring ke Palembang untuk pertama kalinya pada tahun 2011 dan yang ketiga saat liburan sekolah tahun 2013 yang lalu ketika adikku yang bertugas di Kediri bisa liburan di Palembang bersama keluarganya.
Setelah sholat ashar aku dan istri segera melaju diatas si Kuning. Panas matahari sore masih terasa menyengat. Jalan Mayor Zen tidak begitu ramai, begitu juga jalan RE Martadinata yang kami lalui. Dari depan PT. Pusri sampai dengan pasar Lemabang tidak banyak yang berubah sejak belasan tahun yang lalu. Pembangunan di daerah ini tidak sepesat di daerah Kenten, tempat aku tinggal sebelum pindah ke Bogor.
Sebelum menuju Benteng Kuto Besak, istriku meminta untuk mampir ditoko aksesories motor dan helm yang mungkin menjual balaklava, masker ninja untuk menahan muka dari sinar matahari dan debu. Di persimpangan tiga Boom Baru aku membelokkan motor ke kiri menuju pasar Kuto karena seingatku di sekitar kawasan pasar ini terdapat beberapa toko penjual aksesoris motor dan helm. Namun sayang sekali dari beberapa toko yang kami hampiri, tidak ada satupun yang menjual balaklava tersebut.
Kami berdua segera menuju Benteng Kuto Besak. Dari jalan Segaran aku membelokkan motor ke jalan TP Rustam Effendi, kemudian belok kiri lagi untuk masuk ke jalan Jendral Sudirman. Di belokan air mancur, kami mengambil arah kanan untuk masuk ke jalan Merdeka. Sekitar 500 meter dari awal jalan Merdeka aku membelokkan motor kearah kiri ke jalan yang menuju pinggiran sungai Musi dan kemudian belok lagi ke kanan menyusuri jalan yang dilapis conblock yang sudah berada di kawasan Benteng Kuto Besak.

Kolam Pemancingan Anak
             Suasana Sabtu sore di sekitar area pinggiran sungai Musi ternyata cukup ramai. Area lapang di sekitar bibir sungai yang semua sudah dilapis conblock banyak ditempati oleh penjual makanan atau orang yang menyewakan berbagai mainan untuk anak-anak. Ada becak mini, mobil-mobilan dan mainan kolam pemancingan untuk anak. Di Palembang memang tidak banyak tempat wisata, sehingga pinggir sungai Musi menjadi pusat keramaian yang banyak diminati oleh masyarakat di kota ini, disamping tentunya mungkin karena untuk masuk kawasan ini tidak dikenakan karcis tanda masuk kecuali biaya parkir kendaraan saja.

 

Penyewaan Mobil-Mobilan
Lebih dari sepuluh tahun yang lalu daerah yang sekarang menjadi tempat wisata ini adalah daerah yang kumuh dan semrawut karena merupakan terminal mobil dalam dan antar kota. Dulu daerah ini juga termasuk daerah yang rawan kejahatan karena banyaknya preman yang ada. Namun sejak terpilihnya walikota yang baru saat itu, sedikit demi sedikit kawasan ini bisa dibenahi sehingga menjadi tempat wisata yang cukup menarik. Daerah yang dulunya terkenal rawan inipun menjadi tempat yang cukup aman tanpa perlu lagi kuatir adanya penodongan atau pencopetan.
Aku mencari tempat parkir yang agak lapang supaya bisa mengambil poto dengan latar belakang jembatan Ampera dengan komposisi yang bagus. Setelah parkir aku segera mengeluarkan tripod, meletakkan kamera diatasnya dan segera mencari sudut potret yang tepat. Tidak mudah memang karena banyaknya orang yang lalu lalang serta pedagang yang memenuhi area ini. Beberapa orang memperhatikan kami, kemudian mengamati motor yang kami gunakan. Seorang ibu pedagang yang melihat plat nomor dengan huruf “F” spontan bertanya apakah kami dari Bogor. Saat istriku menjawab iya, dia langsung menunjukkan tempat-tempat wisata yang bisa kami kunjung.
Aku tersenyum, ibu ini tidak tau kalau aku sebenarnya dilahirkan dan besar di Palembang, bahkan meninggalkan kota Palembang untuk pindah ke Bogorpun baru lima tahun yang lalu. Dalam waku lima tahun, aku juga sudah belasan kali berkunjung ke Palembang. Istrikupun yang walau dilahirkan di Bandung dan pernah tinggal di Lampung, namun juga lebih banyak tinggal di Palembang. Kalau tidak salah sejak kelas 4 SD di tahun 1983 sampai dengan tahun 2008.
Dengan Latar Belakang Jembatan Ampera
Saat Touring tahun 2011
Di lokasi parkir ini kami tidak bisa mendapat sudut pemoretan yang bagus. Disamping jembatan Amperanya terlihat kecil dan jauh, pemandangan berupa keramaian yang ada membuat photo menjadi tidak bagus. Kami kembali naik ke motor untuk mencoba mencari tempat yang lebih dekat dengan jembatan Ampera.
Beruntung akhirnya tempat itu bisa kami temukan. Ada area yang cukup kosong untuk memarkirkan motor sekedar untuk mendapatkan latar belakang jembatan Ampera lebih dekat lagi. Area tersebut sebenarnya bukan untuk parkir, namun untuk pedagang berjualan. Karena itu aku tidak memarkirkan si Kuning disitu terlalu lama, hanya untuk mengambil photo saja.
Dengan Latar Belakang Yang Lebih Dekat
Seperti biasa disaat harus berphoto berdua, aku harus mengatur timer kamera supaya punya cukup waktu untuk “klik” setelah aku menekan tombil shutternya. Inilah selfie ala kami, bukan dengan menggunakan tongsis.
Penyewaan Perahu
Setelah selesai berphoto, aku memindahan motor ke tempat parkir dan berjalan mengelilingi pinggiran sungai, berharap bisa menemukan objek photo yang bagus. Beberapa pemilik dan calo kapal ketek menghampiri dan menawarkan jasa untuk menyelusuri sungai Musi atau mengunjungi pulau Kemaro. Aku menolaknya. Disamping waktunya yang sempit, sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Palembang sudah belasan kali merasakan naik kapal menyusuri sungai Musi ini.
Selain penjual minuman dan makanan ringan, di kawasan ini juga banyak pedagang yang menjual mie goreng. Aku heran, kenapa mereka bukan memilih menjual mie celor khas Palembang, atau celimpungan atau mungkin berjualan telok ukan yang keberadaannya sudah sangat langka. Menurutku, semestinya Pemerintah Daerah ikut mengarahkan penjual makanan ini supaya kawasan ini bisa juga menjadi kawasan wisata kuliner daerah.
Tidak lama menelusuri pinggir sungai, aku melihat ada dermaga kecil yang kalau berdiri diatasnya jembatan Ampera terlihat tanpa ada yang menutupi. Aku segera mencari jalan untuk menuju ke dermaga itu, melalui bangunan besar berwarna merah yang belum selesai dibangun. Di belakang bangunan merah besar ini ternyata ada beberapa orang yang sedang memancing, artinya aku dan istripun dapat masuk kesitu.
 
Dengan Latar Belakang Yang Lebih Baik
Aku memanggil istriku dan segera menuju ke dermaga kecil tadi. Langit yang cukup bersih dan cerah pada sekitar jam setengah lima sore ini terlihat sangat membiru, terlihat kontras dengan warna jembatan ampere yang merah. Tripodpun aku berdirikan, timer kamera kembali aku aktifkan, dan …klik …klik… beberapa jepretanpun selesai sudah. Walaupun sulit untuk mendapatkan sudut pemotretan yang diinginkan, namun hasil photonya tidaklah begitu mengecewakan. Paling tidak photo-photo ini menjadi bukti bahwa kami berdua pernah melakukan solo riding ke Palembang.
 
Jembatan Kebanggaan Warga Palembang
       
Pada Naik ke Pedestarian
Setelah merasa cukup mengambil photo di kawasan Benteng Kuto Besak dan di pinggiran Sungai Musi, kami menuju rumah mertuaku di kawasan Jakabaring. Dari lokasi parkir kami menuju jalan yang berada dibawah kaki jembatan Ampera untuk memudahkan memutar arah balik menuju seberang ulu. Lalu lintas di kaki jembatan dari arah air mancur sangat ramai dan agak tersendat. Beberapa pengemudi motor yang tidak sabar dan kurang mengerti etika membawa kendaraan naik ke sisi jembatan yang merupakan pedestarian, mengambil hak pejalan kaki. Beberapa motor berusaha saling memotong lajur pengemudi lain. Tampak sekali kesemrawutan di jembatan ini.
Kawasan Seberang Ulu
Di ujung jembatan sebelah ulu kemacetan bertambah parah karena adanya pekerjaan pembangunan fly over yang belum selesai. Jalan menuju arah Kertapati, Plaju dan Jakabaring tampak menyempit. Kendaraan dari arah kiri dan kanan berebut saling mendahului. Bunyi klason terkadang terdengar berbalas-balasan.
 Seratus meter sebelum rumah mertuaku, istriku meminta untuk berhenti sebentar untuk berphoto dengan latar belakang masjid Muhammad Cheng Hoo. Masjid yang didirikan oleh komunitas muslim Tionghoa Palembang ini berdiri dengan megah dengan catnya yang berwarna merah dan berarsitektur khas bangunan Tionghoa.
Masjid Cheng Hoo
Di rumah mertuaku kami disuguhkan model ikan. Semestinya model ini lembut dan enak, namun kali ini terasa sedikit keras. Di Bogor istriku sering membuat model ikan seperti ini bila ada acara pertemuan yang di adakan di rumahku. Model ikan buatan istriku lembut dan sangat enak, bukan hanya menurutku tetapi menurut teman-teman yang sudah pernah mencicipinya. Bila setelah selesai acara masih ada model yang lebih, tidak jarang teman-temannya suka meminta untuk dibungkuskan.
Di Palembang ada dua varian model, yakni model ikan dan model gandum. Model gandum terbuat dari tepung gandum yang dibentuk bulat menyerupai roti goreng. Bila akan dihidangkan, roti goreng tersebut akan dipotong-potong kecil lebih dahulu baru kemudian disiram dengan kuah model yang salah satu bahan utamanya adalah gilingan kepala udang. Sedangkan model ikan sebelum dihidangkan sudah direndam dalam kuah model yang panas supaya tetap lembut. Jika akan dihidangkan, model ikan ini akan dikeluarkan dari air kuah tersebut kemudian dipotong kecil-kecil diatas piring, baru kemudian beri kuah. Bahan tambahan lain untuk menghidangkan model ini adalah soun dan irisan kecil timun serta irisan daun sop dan daun bawang, tidak ketinggalan juga bawang goreng, kecap manis dan sambal.
Tepat jam tujuh malam kami meninggalkan rumah mertuaku dan bermaksud menuju Kenten untuk menemui adikku. Sepanjang jalan Sudirman dan jalan Veteran lalu lintas terlihat mulai tidak begitu ramai. Motor kupacu dengan kecepatan sedang saja untuk menikmati suasana malam di Palembang.  Penjual makanan di pinggir jalan mulai banyak, ada yang menjajakan gorengan, martabak serta mie dan nasi goreng. Kehidupan malam mulai bergerak.
Dari jalan Veteran aku terus ke arah Boom Baru, pasar Lemabang dan memilih untuk melewati daerah Sekojo kemudian tembus ke jalan Patal – Pusri lalu belok kanan menuju jalan H Hasan Kasim di daerah Celentang untuk sampai ke Kenten. Namun ketika melihat ada toko yang menjual helm, istriku meminta untuk berhenti dan kembali bermaksud untuk membeli balaklava. Tapi apa mau dikata, dari beberapa toko yang ditanya tidak satupun yang menjual barang dimaksud, mereka hanya menjual masker saja. Dan dengan terpaksa istrikupun membeli satu buah masker untuk mengurangi potensi terhisap debu saat perjalanan pulang nanti.
Karena jam telah menunjukkan pukul delapan lebih sedikit, aku membatalkan rencana untuk menemui adikku dan memilih untuk mampir di penjual pempek yang terletak di deretan ruko daerah Celentang dekat simpang tiga perumnas Sako Kenten. Toko pempek ini kelihatannya belum satu tahun dibuka, karena tempat duduknya masih terlihat baru dan bersih. Kami memesan satu piring pempek kecil campur dan teh botol. Bisanya satu piring pempek hanya cukup untukku saja, namun karena tadi sudah makan model di rumah mertua, maka cukuplah kali ini satu piring pempek yang isinya 10 buah untuk kami berdua. Satu piring pempek campur ini terdiri dari tiga buah pempek adaan, tiga buah pempek lenjer kecil, tiga buah pempek telor kecil dan satu buah pempek kulit.
Pempek Kecil
Karena rasanya yang enak, aku meminta istriku untuk menambah lagi dan membungkusnya untuk orang tuaku. Kemudian kami bergegas pulang untuk mempersiapkan segala keperluan pulang ke Bogor besok pagi. Di dekat perumahan PHDM kami berhenti di Indomart untuk membeli air minum dan roti untuk persiapan bekal sarapan besok di perjalanan. Seandainya kami berangkat dari rumah orang tuaku besok sekitar jam lima lewat lima belas menit, kemungkinan besar pada saat waktunya sarapan nanti kami telah melewati kota Kayu Agung sehingga kecil kemungkinan bisa menemui rumah makan.
Si Kuning masih kujalankan dengan perlahan menuju rumah orang tuaku yang jaraknya sekitar satu kilometer lagi. Angin malam bertiup membungkuskan semilirnya ke tubuh kami. Di langit malam yang terlihat jernih, bintang yang bertaburan berkelap-kelip. Dari belakang motor istriku memeluk pinggangku dengan erat. Selalu ada rasa yang tidak bisa diungkapkan setiap kami melakukan touring berdua.
(bersambung)