BERANGKAT
Rindu pada
jalan hitam yang berdebu
Rindu pada
angin yang selalu membelai wajah dan tubuhku
Rindu pada
bunyi mesin yang menderu
Rindu pada
sawah, gunung, sungai dan gedung yang berbaris rapi
di sepanjang
jalan yang kulalui, dan pada orang-orang yang bergerak
menantang
waktu…..
Setelah pulang dari touring ke Jogja
untuk mengikuti acara “Jogja Bike Rendezvous (JBR)” bulan Mei yang lalu, aku
masih memikirkan rencana touring bulan berikutnya untuk kembali menjajal sejauh
mana Kawasaki Versys 650 bisa diandalkan pada kondisi jalan-jalan yang menjadi
tujuan touring selanjutnya. Istriku yang kemarin tidak ikut ke Jogja karena
harus mengikuti training di Jakarta begitu semangat menyodorkan alternative
tujuan touring. Pantai Sentolo dan Pamengpeuk di Garut, Kawah Putih di Ciwidey,
Gunung Semeru atau Purwokerto.
Kawah Putih Ciwidey aku sisihkan dulu
dengan pertimbangan jaraknya terlalu dekat dan kurang menantang, kecuali kalau
melewati route waduk Saguling. Pantai Sentolo dan Pamengpeuk di Garut dan
Purwokerto mejadi pilihan yang cukup menarik karena jaraknya yang tidak terlalu
dekat. Gunung Semeru aku sisihkan dulu karena membutuhkan waktu libur yang
cukup lama untuk bisa mengeksplore kawasan wisata disekitar situ lebih banyak.
Namun menjelang hari keberangkatan,
entah kenapa aku memutuskan untuk memilih touring ke Palembang. Perjalanan ke
Palembang aku anggap cukup menantang. Pertama karena jaraknya lumayan jauh
sekitar 650 kilometer dari Bogor plus menyeberangi Selat Sunda. Kedua, bila
memilih jalur pantai timur, ada beberapa bagian pada jalan tersebut yang
kondisinya tidak mulus. Pengalamanku pada tahun 2011 saat solo riding dengan
menggunakan Goldwing 1500, jalan yang tidak mulus tersebut cukup menyusahkan
karena berupa batu-batu besar yang menonjol. Handling motor benar-benar sulit,
setiap menggerakan setang, selalu ada perlawanan. Untuk motor kecil dengan roda
yang kecil, kondisi ini tidak terlalu merepotkan. Namun untuk motor besar berbobot
kosong 404 kg plus muatan dan boncenger yang totalnya sekitar 80 kg, ditambah
dengan ban yang lebar, tentu bukan perkara yang mudah. Namun Alhamdulillah, aku
bisa melewati kondisi jalan ini dengan aman.
Alasan lain keputusanku untuk memilih
tujuan ke Palembang ini karena pada touring ke Palembang pada tahun 2011 yang
lalu istriku tidak ikut, karena aku mengajak rekan yang berprofesi sebagai
montir motor besar, untuk jaga-jaga kalau ada masalah dengan motor di jalan. Di
samping alasan lainnya bahwa touring dengan tujuan kota di pulau Jawa memang
jauh lebih mudah untuk dilaksanakan di banding touring ke pulau Sumatera.
STNK |
Hari Selasa tanggal 3 Juni akhirnya
STNK motorku selesai juga. Selesai? sepertinya hanya 50% saja karena STNKnya
masih berupa surat keterangan dari kepolisian dan tanpa plat nomor. Yang
tercetak dengan blanko resmi hanya surat pembayaran pajaknya saja. Tahun lalu
saat aku membeli SYM 250 GTSi juga mengalami hal yang sama, STNK asli baru aku
dapatkan 6 bulan kemudian, sedangkan plat nomor aku dapatkan sebulan setelah
aku menerima STNK sementara. Entah kenapa hal-hal sepele seperti ini tidak bisa
diselesaikan dengan baik oleh kepolisian. Sehingga pada tanggal 5 Juni, aku
meminta istriku untuk membuat plat nomor di pinggir jalan sebagai salah satu persiapan
untuk berangkat ke Palembang.
Side Box Pannier 7Gear |
Kalau pada saat ke Jogja side box
pannier buatan 7Gear belum selesai sehingga aku terpaksa menggunakan side bag,
untuk perjalanan ke Palembang kali ini side box tersebut sudah terpasang dengan
cukup baik, cukup untuk menempatkan pakaian dan toolbox. Walaupun dari segi
kerapihan dan segi kepraktisan belum bisa disamakan dengan produknya Givi, SW
Motech atau Touratech, namun masih sebandinglah dengan harga yang harus
dibayarkan yang hanya 4,8 juta rupiah untuk sepasang box dan bracketnya. Box
dengan kapasitas 35 liter ini ternyata menyediakan ruang yang cukup banyak
untuk membawa perbekalan.
Hari Jumat tanggal 6 Juni jam 05.00,
aku dan istri telah siap untuk berangkat. GPS telah aku set dengan tujuan dari
Bogor ke Cilegon karena di GPS yang terpasang di motorku belum ada Pelabuhan
Merak. Maklum sejak beli 2 tahun yang lalu peta dalam GPS ini belum pernah aku
update. Sebelum berangkat aku kembali melihat check list persiapan
kebarangkatan untuk meyakinkan bahwa tidak ada lagi yang terlupa untuk dibawa. Dua
stell jas hujan, payung, kompas, charger, HP, tool box, obeng set, kunci L set,
pisau, kotak obat, kanebo, sandal, tripod, pakaian, sajadah, sarung, mukena dan
pernak-pernik kecil lainnya sudah berada di dalam side box tersebut.
Jam 05.20 kami berangkat dari rumah,
kemudian mampir sebentar untuk mengisi bahan bakar di pom bensin di Jalan
Pahlawan. Rute yang aku pilih kali ini adalah Bogor – Dramaga – Ciampea –
Rangkas Bitung – Pandeglang – Serang – Cilegon – Merak. Bila tidak ada masalah
atau hambatan di jalan, aku perkirakan bisa sampai di Merak sekitar jam 10.00
pagi. Lama perjalanan sekitar empat setengah jam termasuk istirahat dan
sarapan.
Sampai di Ciampea perjalanan sangat
lancar, udara yang sejuk dan jalan yang relatif masih sepi membuatku memacu
kecepatan motor hanya di sekitar 50-60 kilometer perjam saja. Sayang rasanya
bila harus melewatkan udara yang segar dan pemandangan orang-orang yang tengah
melakukan aktifitas paginya. Kesibukan orang-orang disekitar pasar dan terminal
Laladon saat pagi sebenarnya sangat menarik untuk diphoto, namun bila berhenti
aku kuatir akan kehilangan banyak waktu karena bisanya untuk hunting photo
tidak pernah bisa dilakukan dengan waktu yang hanya sebentar.
Dudukan Peninggi Stang |
Jalan-jalan yang aku lalui sampai
dengan pertigaan jalan Leuwiliang – Kampung Sawah relatif mulus. Banyak jalan
yang baru selesai dicor dan diasphalt, perjalanan benar-benar menyenangkan. Di
jalan yang lurus dan rata, Versys terasa nyaman. Tarikannya tetap terasa enteng
walaupun aku membonceng istriku dan membawa perlengkapan di dalam side box. Di
tikunganpun handlingnya tetap terasa enak, apalagi aku sudah menambah peninggi dudukan
stang supaya posisi tubuh tetap nyaman dan tidak terlalu menunduk. Untuk
mendahului kendaraan lainpun terasa sangat percaya diri karena akselerasinya
yang cukup mantap. Seringkali aku memotong kendaraan di depan dengan hanya
memindahkan persneling dari gigi 5 ke 4 pada posisi kendaraan yang cukup
dekat.
Sawah dengan latar belakang pembuatan batu bata |
Sampai dipersimpangan jalan Leuwiliang
dan Kampung Sawah aku memilih belok ke kanan, melalui jalan pedesaan yang lebih
kecil dengan harapan bisa mendapatkan pemandangan yang indah untuk diphoto.
Pengalamanku touring berdua dengan istri saat ke Kuningan – Jawa Barat,
jalan-jalan pedesaan yang tidak umum dilalui ternyata menyuguhkan pemandangan
yang sangat indah. Sawah-sawah yang hijau dan menguning terhampar luas dengan
naungan langit yang biru. Petani-petani disawah yang sibuk menyiangi padi dan
mengairi sawah menciptakan kehidupan yang terlihat dinamis. Di tempat yang
lain, kami disuguhkan pula pemandangan tempat pembuatan genteng dan batu bata
yang terletak di pinggiran sawah yang masih menghijau. Pemandangan yang
benar-benar menyejukan mata.
Namun untuk berani mengambil keputusan
melalui jalan pedesaan atau jalan yang tidak umum dilalui kendaraan, aku harus
memastikan bahwa motor yang digunakan akan bisa melalui jalan-jalan yang cukup
jelek, tidak rata, jalan tanah, becek, berbatu dan lain sebagainya. Bisa
dibayangkan apa yang akan terjadi bila telah jauh memasuki jalur alternatif
ternyata motor tidak bisa melalui jalan yang ada di depan, masih bersyukur
kalau mudah memutar balik walaupun telah kehilangan waktu, namun kalau untuk
memutar balikpun sukar bisa-bisa rencana perjalanan jadi kacau semua.
Sekitar 2 kilometer pertama jalan yang
kami lalui cukup mulus, namun setelah itu mulai menunjukan tanda-tanda jalan
jelek. Asphalt yang telah mengelupas dan batu yang menonjol keluar serta jalan
yang menyempit membuatku sedikit was-was. Beberapa kilometer kemudian ternyata
kondisi jalan semakin jelek, banyak lubang dan genangan air. Motor-motor kecil
tidak begitu kesulitan untuk melaluinya walaupun dengan perlahan, namun untuk
motor yang berbobot 206 kg lebih ditambah dengan berat boncenger dan
perlengkapan yang dibawa sudah pasti harus ekstra hati-hati, apalagi ban yang
kugunakan masih standard keluaran pabrik, bukan ban dual purpose.
Tetapi justru disinilah kemampuan Versys
harus diuji, termasuk kemampuan drivernya tentu saja. Sejauh mana Versys bisa melalui
kondisi jalan yang cukup rusak, licin dan bergelombang cukup dalam. Aku meminta
istriku untuk mengikuti irama pergerakan motor supaya keseimbangan tetap bisa dijaga,
namun aku juga memintanya untuk sebisa mungkin dapat mengabadikan kondisi jalan
yang jelek tersebut. Dengan ban standard, bila salah gerakan dan perhitungan
besar kemungkinan motor akan slip dan terjatuh.
Kondisi Jalan di Cisoka Tangerang |
Alhamdulillah, jalan licin, tergenang,
berbatu dan bergelombang bisa kami lalui dengan mulus. Suspensi depan dan
belakang Versys terasa cukup nyaman, getaran setang ditanganpun tidak terasa
dan tidak membuatku kesemutan walapun saat melalui jalan berbatu yang tonjolan
batunya cukup besar (bukan jalan gravel). Di jalan licin, mungkin karena total
bobot yang berat, aku tidak merasakan ada gejala slip atau ngesot. Versys
kelihatan cukup stabil dan nyaman melewatinya.
Sampai di daerah Cisoka – Tangerang,
kondisi jalan masih juga jelek. Masih banyak jalan berlubang, berbatu dan
tergenang yang kami lalui. Namun sejauh ini tidak ada kendala berarti yang kami
alami, semua kondisi jalan tersebut dapat kami lalui dengan selamat. Tidak jauh
dari pertigaan jalan yang masih terletak di daerah Cisoka, aku melihat jalan
yang tergenang cukup dalam. Tanpa memperhatikan satu-dua motor kecil yang
melintasi jalan tergenang tersebut, aku memilih untuk melalui bagian pinggir
kanan jalan dengan harapan tanah tersebut lebih keras. Ternyata perkiraanku
salah, tanah tersebut malah bonyok karena tidak ada batunya, dan Versysku harus
merasakan diam ditempat seperti kerbau yang sedang berkubang.
Terporosok |
Melihat bahwa setengah ban telah masuk
ke dalam jalan yang bonyok, aku meminta istriku untuk turun dan segera menjauh.
Aku berusaha memainkan kopling dan gas dengan harapan bisa keluar dari kubangan
tersebut mengingat putaran bawah mesin Versys cukup besar. Namun dengan kondisi
memakai ban standard yang permukaannya cukup rata, sulit untuk bisa terbebas,
malahan ban semakin masuk ke dalam. Saat aku menarik gas lebih besar, semakin
besar pula air yang nyiprat dan naik ke atas. Side box, bawah jok dan bahkan
kaki dan paha bagian belakangku menjadi basah akibat cipratan air tersebut. Aku
turun dari motor dan mencoba mendorong sendiri dengan mesin yang telah
dimatikan. Alamak, berat sekali…apalagi dalam posisi motor terjepit tanah yang
sudah menyerupai lumpur seperti ini.
Dibantu Orang |
Saat melihat beberapa motor kecil yang
lewat, aku segera meminta tolong untuk ikut mendorong sambil memegangi motor
supaya tidak terguling. Alhamdulillah, dua pengemudi motor kecil yang aku minta
pertolongan tidak ada yang menolak, bahkan beberapa pengemudi lainnya ikut
menawarkan diri. Satu..dua..tiga…setelah dua-tiga kali berusaha, si Kuning bisa
juga keluar dari jalan bonyok tersebut. Aku mengucapkan terima kasih kepada
mereka, dan semakin terharu saat berada di kapal dan melihat photo-photo yang
diambil oleh istriku saat kami mencoba membebaskan si Kuning tadi, ternyata ada
pengemudi yang mengenakan sepatu putih bersih tetapi tidak ragu untuk
memberikan bantuan.
Setelah Terbebas |
Setelah terbebas, aku mencoba untuk
membersihkan roda motor dari tanah yang melekat di ban dan mesin supaya tidak
mengganggu perjalanan atau bahkan bisa membuat spatbor (eng = fender) menjadi
pecah karena terdesak tanah tersebut. Tak kusangka, saat sedang melakukan
bersih-bersih tersebut, hampir semua kendaraan yang lewat pada bertanya dan
menawarkan bantuan. Inilah Indonesia yang sesungguhnya, ramah tamah dan saling
membantu. Salah satu pengemudi motor menunjukkan kepadaku letak kolam kecil
untuk mencuci motor dan kaki serta sepatuku. Namun mengingat perjalanan masih
panjang dan kemungkinan jalan yang rusak juga masih panjang, aku memutuskan
hanya mencuci kaki dan sepatu saja, biarlah nanti motor kucuci saat tiba di
Lampung atau Palembang.
Perjalanan kami lanjutkan kembali.
Lebih dari 60 kilometer jalan yang kami lalui sampai ke kota Tangerang dalam
kondisi yang rusak parah. Bahkan disatu persimpangan yang aku lupa untuk
menanyakan daerah apa, aku melihat jalan yang sudah menyerupai kolam kosong.
Kalau diukur kedalaman lubangnya, mungkin sudah mencapai hampir satu meter
dengan lebar yang hanya menyisakan sekitar 50 centimeter dibagian kiri
kanannya, sedangkan panjang jalan yang rusak tersebut sekitar 20 meter. Kembali
aku meminta istriku untuk turun dari motor, dan perlahan aku berjalan di sisi
kanan jalan yang cukup licin. Motor sengaja aku miringkan sedikit ke arah kanan
untuk menghindari terpeleset ke dalam lubang besar tersebut, memindahkan titik
beban motor ke arah yang lebih aman.
Alhamdulillah, jalan inipun berhasil
dilalui dengan selamat. Membayangkan bila tergelincir dan masuk kedalam lubang
besar di tengah jalan tersebut cukup menakutkan. Kondisi jalan yang licin dan
tidak rata pasti sangat menyulitkan untuk mendorong motor yang tidak ringan,
belum lagi kalau tidak ada orang yang mau membantu. Wualaaah…
Dari jam 6:15 pagi sampai sekitar jam
07:30 belum ada tanda-tanda kami akan menemui jalan yang cukup mulus. Walaupun
Versys bisa diandalkan untuk jalan yang jelek, namun tangan dan kaki sudah
mulai merasa pegal juga karena hanya bisa memacu dengan kecepatan 20-40 kilometer
perjam saja. Pantat dan pinggangpun sudah minta untuk diluruskan, apalagi perut
yang mulai keroncongan karena pas mau berangkat tadi hanya diisi dengan segelas
air hangat yang dicampur madu saja.
Sekitar jam 07.40 akhirnya kami
bertemu juga dengan jalan yang cukup mulus dan motorpun bisa dipacu sampai
kecepatan 90 kilometer perjam. Jam 07.51 kami sampai di gapura besar yang
bertuliskan “SELAMAT JALAN – KABUPATEN TANGERANG”. Ow..ow..Kalau tidak salah
bupati Tangerang ini adalah Airin yang suaminya tengah mendekam di KPK, apakah
itu juga salah satu yang membuat jalan di Tangerang sebagaian besar rusak
parah?
Jam telah menunjukkan sekitar pukul 8
pagi ketika aku dan istri memutuskan untuk beristirahat dan sarapan di depan
pertokoan yang berhadapan dengan polsek Cikande yang terletak di jalan raya
Serang – Jakarta km.2. Sepanjang jalan utama Tangerang – Serang yang kami
lalui, tidak terlihat penjual bubur ayam atau lontong. Jalan ini termasuk sepi
walapun masih pagi. Di Bogor, sejak jam 5 pagi kesibukan sudah mulai terasa
sekali. Jalan-jalan sudah ramai oleh kendaraan orang-orang yang mau berangkat
kerja, terutama ke Jakarta. Penjual sayur yang memakai mobil dan motorpun sudah
berlalu lalang menawarkan dagangannya. Di sepanjang pinggir jalan Dredet,
Pahlawan, Sukasari dan Padjajaran yang biasa kulalui menuju pintu tol Bogor
sudah berderet para penjual makanan. Dari bubur ayam, lontong sayur, mie ayam
dan soto kuning siap melayani sarapan para pembeli.
Polsek Cikande |
Istriku masuk ke dalam Alfamart untuk
membeli minuman; air putih dan minuman isotonic untuk menjaga supaya ion tubuh
tidak terlalu banyak yang hilang, sekalian mengambil uang di ATM untuk tambahan
bekal diperjalanan. Saat touring dan menggunakan jaket yang lumayan tebal untuk
menahan terpaan angin, sebenarnya tubuh banyak mengeluarkan keringat untuk
mempertahankan suhu tubuh supaya tetap stabil. Karena itu setiap touring aku
selalu mengusahakan untuk banyak meminum
air putih, air kelapa atau air isotonic dan berpantang minum soda. Untuk
perjalanan dengan jarak tempuh lebih dari 10 jam seperti ini, istirahat setiap
minimal 3 jam sekali dan minum dengan jumlah yang cukup sangat membantu menjaga
stamina.
Sambil menunggu istriku selesai
berbelanja, aku membuka side box pannier dan mengeluarkan roti gandum yang
sudah kusiapkan untuk jaga-jaga saat berhenti di daerah yang tidak banyak
menjual makanan. Selai coklat nutella milik Dea anakku yang nomor dua aku bawa
karena semalam lupa membeli untuk persiapan berangkat hari ini. Pagi ini saat
akan sarapan pasti Dea akan ribut mencari-cari selai coklatnya.
Istriku sudah keluar dari Alfamart, 2
botol minuman isotonic berukuran 600ml dan 2 botol air mineral ukuran 500ml
berada dalam tas kresek putih yang dibawanya. “Belum ambil uang karena ATMnya
rusak.” Istriku sedikit menggerutu.
Matahari semakin meninggi, namun udara
belum terasa panas. Setelah sarapan dan beristirahat lebih kurang tiga puluh menit,
aku dan istri kembali melanjutkan perjalanan menuju Serang, Cilegon dan Merak.
Menurut info dari orang yang aku tanya saat istirahat tadi, jarak ke Cilegon
masih sekitar satu setengah jam lagi. Artinya lebih kurang jam 10 nanti kami
sudah akan berada di Pelabuhan Merak. Mudah-mudahan perjalanan bisa lancar
sampai Merak, aku berdoa dalam hati.
Kantor Gubernur Banten |
Di Serang jalan utamanya relatif mulus
dan lebar, pengendara kendaraanpun tidak banyak. Sesekali aku memacu motor
sampai melebihi 100 kilometer perjam. Mungkin sekitar empat puluh menit
kemudian kami sudah memasuki kota Cilegon. Dipertigaan Jalan Raya Serang –
Cilegon, istriku sempat memotret kantor Gubernur Banten. Aku tersenyum,
membayangkan gubernurnya yang sekarang tengah meringkuk sebagai tahanan KPK.
Jam 09. 18 kami sampai di gerbang “Selamat
Datang” di Cilegon, lalulintas cukup ramai, namun tidak semacet saat berada di
Tangerang. Ramai yang normal untuk ukuran lalu lintas jalan raya. Aku
menjalankan motor dengan kecepatan sedang-sedang saja, sekitar 40-50 kilometer
perjam. Dari Cilegon ke Merak tidak lama, sekitar 20 menit juga sudah sampai.
Dan ternyata benar, tepat jam 09.38
kami sudah sampai di Merak. Di sepanjang jalan yang kami lalui, laut dan kapal
yang sedang berhenti sudah kelihatan. Aku bersyukur, separoh perjuangan berat
menuju Palembang sudah terlewati. Untuk jalur Sumatera aku tidak begitu kuatir
karena sudah hapal dengan rute dan kondisi jalannya. Selintas terbayang wajah
ibuku yang sedang ngomel kepadaku karena kembali pergi ke Palembang dengan
menggunakan motor, padahal beliau sudah mewanti-wanti dan meminta aku untuk
tidak melakukannya lagi saat aku ke sana dengan menggunakan Goldwing di tahun
2011 yang lalu. Hmm…Orang tua dengan anaknya selalu begitu, selalu kuatir
walaupun aku sudah bukan anak-anak lagi, walaupun aku sudah menjadi seorang
bapak dengan tiga anak yang menjelang remaja. Anak dimata orang tua tetaplah
anak-anak yang tetap harus dilindungi dan dijaga.
Di Merak |
Setelah mengambil beberapa poto di
sekitar pelabuhan Merak, kami menuju dermaga penyeberangan Merak – Bakauheuni.
Saat melihat motorku dari kejauhan, petugas meminta agar aku masuk jalur motor,
aku heran karena saat memakai Goldwing aku diperbolehkan masuk ke dalam jalur
pembelian karcis untuk mobil. Dan apa mau dikata, jalur motor kecil sudah tentu
tidak cukup untuk dilewati oleh Versys yang dilengkapi dengan dua side box
disamping kiri dan kanan, sehingga mau tidak mau aku harus mundur untuk kembali
masuk memalui jalur mobil. Untuk memperpendek jarak masuk kedalam gate karcis
mobil, aku meminta supaya besi penghalang jalur dibuka. Merasa bersalah,
petugas segera membuka dan membantuku mendorong motor.
Harga tiket penyebrangan untuk motor
dengan cc diatas 250 dikenakan biaya sebesar 93 ribu rupiah, sedangkan untuk
motor dengan cc 250 ke bawah dikenakan biaya sekitar 46 ribu rupiah. Setelah
selesai membayar, kami diarahkan untuk menuju dermaga satu. Di dermaga satu,
motor bisa ditempatkan diatas dek kapal dan tidak ditempatkan di dalam lambung.
Diatas dek motor akan lebih aman karena lebih mudah untuk diawasi, juga bisa
dimbil photonya dengan latar belakang yang bagus kalau beruntung mendapat
tempat parkir yang tepat.
Di Kapal Ferry |
Setelah menunggu lebih kurang 30
menit, akhirnya kapal mulai melepas tali dari dermaga sambil memperdengarkan
suara khasnya…tooooottt.., tanda kapal mulai berangkat. Setelah memastikan
motor dalam kondisi yang aman, aku dan istri mencari ruang eksekutif yang
biasanya tersedia di kapal untuk istirahat. Untuk dapat masuk ke ruang
eksekutif ini, biasanya penumpang dikenakan biaya lagi perorangnya sebesar
lebih kurang 8-10 ribu rupiah. Tidak masalah, yang penting bisa beristirahat
dengan nyaman untuk memulihkan stamina setelah melalui rute yang jelek dan
macet selama lebih kurang hampir 3 jam.
Ternyata penyeberangan dari Merak ke
Bakauheuni yang biasanya paling lama 2,5 – 3 jam saja, kali ini memakan waktu
lebih lama, 4 jam lebih beberapa menit, karena menunggu antrian kapal untuk
dapat berlabuh. Pelabuhan Bakauheuni sudah terlihat sangat jelas, mungkin
jaraknya tinggal 1 kilometer lagi, namun kapal ferry ini malah berhenti untuk
menunggu antrian. Aku sedikit dongkol karena itu berarti aku harus menambah
waktu ekstra. Kalau saat kapal berangkat aku memperkirakan akan tiba di
Palembang sekitar jam 10 malam, dengan kondisi saat ini kemungkinan besar aku
akan tiba sekitar jam 11 malam di rumah orang tuaku nanti. Yang perlu diantisipasi
adalah kami tidak berada di daerah Mesuji dalam keadaan hari sudah mulai
terlalu malam atau kendaraan sudah mulai jarang karena daerah ini cukup rawan.
Namun kalau jam 8 nanti sudah bisa berada di daerah Teluk Gelam, aku tidak
terlalu kuatir.
Turun dari Kapal |
Jam 13.22 aku sudah mulai turun dari
kapal. Istriku tidak ikut dimotor, dia turun dengan berjalan kaki melalui
jembatan kendaraan dermaga – kapal agar bisa mengambil photoku. Lega rasanya
sudah berada di Pulau Sumatera. Walaupun jarak Bauheuni ke Palembang sekitar
460 kilometer, namun melalui jalur lintas Sumatera ini jauh lebih asyik
daripada melalui jalan-jalan di Pulau Jawa karena hampir tidak ada kemacetan.
Namun bila membandingkan pemandangan kiri-kanan pada jalan di Pulau Sumatera,
terutama Lampung – Palembang, memang kalah jauh dengan pemandangan yang ada di pulau
Jawa, terutama bila dibandingkan dengan pemandangan jalur Selatannya.
Kira-kira 3 kilometer dari pelabuhan
Bakauheuni aku mampir di pom bensin untuk mengisi kembali bahan bakar dan
sholat dzuhur jama’ taqdim sholat ashar. Hari ini aku terpaksa tidak sholat
Jum’at karena di kapal tidak menyediakan sarana untuk melakukannya. Walaupun di
kapal ada mushola, namun tidak
menyelenggarakan sholat Jum’at.
Di pom bensin ini ternyata tidak
menyediakan pertamax walaupun di bagian depan pom bensin menuliskan kata
pertamax, dengan sedikit kuatir terpaksa aku isi si Kuning dengan premium. Di
pom bensin sepanjang jalur lintas timur Sumatera, pertamax memang sangat
jarang, mungkin hanya satu-dua saja yang menyediakannya. Hal ini jelas
kontradiktif dengan keinginan pemerintah untuk menghapus biaya subsidi bahan
bakar kendaraan. Seharusnya di semua pom bensin lebih banyak menyediakan
pertamax dibanding premium. Belum lagi tidak jarang pom bensin yang berada di
jalur lintas Sumatera kehabisan stok bahan bakar. Untuk rekan-rekan yang
touring melalui jalur lintas Sumatera dengan menggunakan motor yang bertanki
kecil, saya sarankan untuk lebih sering mengisinya saat bahan bakar sudah tinggal
setengah tanki.
Setelah mengisi bahan bakar, aku
tepikan motor di depan Mushola. Melepas sepatu dan kaos kaki yang masih
menyisakan tanah becek oleh-oleh dari Cisoka yang telah mengering. Mengganti
celana jeans biru yang bagian belakangnya telah berubah menjadi abu-abu karena
cipratan tanah becek dari roda belakang saat motor kejeblos di Cisoka pagi tadi
dengan sarung, lalu mengambil air wudhu. Di mushola pom bensin ini aku dan
istri sholat berjamaah, berdoa dan mengucap syukur atas segala nikmat yang
telah Allah berikan kepada kami selama ini, juga memohon agar perjalanan kami
ke Palembang diberi kelancaran, kemudahan dan dijauhkan dari segala bala’ dan
bahaya.
Setelah sholat, kami segera naik motor
melanjutkan perjalanan untuk mencari rumah makan. Jam sudah menunjukkan angka
14.10, waktu yang terlambat untuk melakukan santap siang. Tidak mudah mencari
rumah makan yang cukup layak di sepanjang jalur lintas Pantai Timur ini,
kebanyakan hanyalah rumah makan yang kecil yang kebersihannya diragukan. Jangan
bandingkan dengan rumah makan di sepanjang jalur Selatan atau jalur Utara di
pulau Jawa yang begitu banyaknya dengan jenis makanan yang ditawarkan juga
sangat beragam. Terbayang nikmatnya makan di Asep Stroberi dan di Mak Ecot.
Rumah Makan Tiga Saudara |
Setelah hampir 20 menit melajukan si
Kuning, akhirnya kami mampir di rumah makan Tiga Saudara di daerah Ketapang.
Rumah makan ini memiliki halaman parkir yang sangat luas, bisa puluhan truk
yang parkir disini. Aku memarkirkan motor di depan dekat pintu masuk dan
memilih tempat duduk yang menghadap motor dengan jelas untuk sekedar jaga-jaga.
Di daerah yang tidak begtu kita kenal, apalagi daerah yang cukup sepi, lebih
baik meningkatkan kewaspadaan dari pada menyesal kemudian.
Hidangan di Rumah Makan Tiga Saudara |
Tidak perlu menunggu lama, makananpun
dihidangkan. Kami yang memang sudah kelaparan segera menyantap hidangan
tersebut. Dalam sekejap, setengah piring nasi dengan lauk sepotong ayam dan
rendang sudah berada dalam perutku. Istrikupun memakan lauk yang sama, sepotong
ayam dan sepotong rendang. Untuk menjaga supaya jangan ngantuk, aku memesan dua
gelas white coffe, satu untukku dan satu untuk istriku. Lega sekali rasanya
setelah perut kembali berisi, walaupun kali ini kami makan karena kebutuhan,
bukan karena ingin sekalian menikmati wisata kuliner seperti touring yang kami
lakukan di pulau Jawa.
Setelah makan, perjalanan kami
lanjutkan, pemandangan dikiri-kanan jalan tidak ada yang menarik, namun cukup
sepi sehingga kadang-kadang aku bisa melajukan motor hingga kecepatan 100
kilometer perjam. Dengan bobot motor ditambah beban pengendara, boncenger dan
barang-barang dalam side box sehinga totalnya lebih dari 350 kilogram,
akselerasi Versys masih tetap enteng seperti bila dikendari seorang diri dan
tanpa membawa muatan apa-apa. Untuk mencapai kecepatan 100 kilometer perjam,
aku hanya membutukan waktu sekitar 6-7 detik saja. Dengan akselerasi yang
lumayan cepat seperti ini, aku sangat pede untuk menyalip (overtake) kendaraan di depan walaupun dari arah berlawanan kita
melihat ada kendaraan lain. Apalagi versys yang aku gunakan sudah dilengkapi
dengan system pengereman ABS. Saat harus melakukan pengereman pada kecepatan
lumayan tinggi, motor dapat berhenti dengan sempurna tanpa harus lari ke kanan
dan kiri, terasa sangat halus dan nyaman.
Jalan Licin Menjelang Sukadana |
Menjelang memasuki daerah Sukadana,
kembali kami dihadapkan dengan kondisi jalan yang jelek. Batu gravel berukuran
cukup besar menyembul dari permukaan jalan yang bergelombang, ditambah lagi
tanah becek akibat hujan semalam nampaknya. Namun dibandingkan saat melalui
jalan di dearah Tangerang, kondisi ini masih belum seberapa. Dengan santai aku
meliuk-liukan si Kuning untuk memilih bagian jalan yang lebih baik. Suspensi showa
yang tertanam di Versys memang lebih nyaman bila dibandingkan suspensi kayaba
yang tertanam di Er6n, apalagi bila dipakai melalui jalan seperti ini.
Pentingnya long travel suspension sangat terasa. Bagian jok belakang yang lebih tebal membuat
istriku tidak terlalu merasakan sakit pada bagian pantat dan tulang belakang
saat melalui jalan berbatu seperti ini.
Jalan Rusak Parah |
Kondisi jalan yang kadang mulus dan
kadang jelek membuatku harus lebih berkonsentrasi, jangan sampai disaat
menambah kecepatan tiba-tiba tidak bisa menghindar lubang di depan. Saat
melalui jalan yang kondisinya lumayan parah, akupun harus bersabar untuk
menjaga jarak dengan kendaraan di depan ataupun memberi kesempatan kendaraan
dari arah berlawanan yang akan menggunakan bagian jalan yang sama. Dalam
kondisi seperti ini rasa toleransi harus tinggi, tidak bisa lagi saling serobot
dan dengan alasan ini itu.
Menjelang Kota Sukadana |
Memasuki kota Sukadana – Lampung Timur, jalan
masih mulus seperti saat pertama kali aku melalui jalan ini pada tahun 2005
yang lalu, hanya satu-dua lubang saja yang ada dan tidak dalam. Aku coba
melarikan si Kuning sampai 120 kilometer perjam, sangat nyaman dan tidak terasa
ada getaran. Handlingnya stabil, juga saat melibas tikungan lebar dengan
kecepatan 100 kilometer perjam, walaupun dengan posisi badan yang cenderung
tegak, ciri khas motor touring. Suara yang halus yang keluar dari knalpot
standard sangat nyaman kurasakan karena tidak mengganggu konsentrasi untuk
menikmati perjalanan, juga tidak mengganggu saat ingin berbicara dengan istri.
Beberapa kawan menyarankan untuk menggantinya dengan knalpot lain supaya lebih
bertenaga dan lubang knalpot posisinya menjadi lebih tinggi supaya aman bila
melintasi jalan yang tergenang air. Namun untuk saat ini aku lebih suka knalpot
standard ini yang menurutku desainnya kelihtan futuristic dan cantik, juga
tentu karena tidak bising.
Dari
Sukadana menuju daerah Menggala jalan masih relatif mulus dengan beberapa
lubang di beberapa titik. Di jalan ini si Kuning bisa dipacu sampai 125 kilometer
perjam tanpa harus kuatir. Seandainya aku sendirian, ingin rasanya memacu motor
sampai batas maksimal yang bisa dicapai mengingat kontur jalan yang lurus dan
pandangan yang cukup luas. Rasa penasaran saat touring ke Jogja bulan Mei
kemarin masih belum tertuntaskan karena maksimum speed yang saat itu bisa aku
capai hanya disekitar 140 kilometer perjam. Trek yang pendek dan ramai sangat
tidak memungkinkan untuk terus memacu motorku. Namun bersama istri kali ini,
tidak mungkin aku bisa memacu motor dengan leluasa. Tapi cukuplah, toh ini touring
berdua, saat dimana perjalanan harus dinikmati bersama karena bukan tempat
tujuan yang menjadi target, namun justru perjalanan menuju tempat tujuan itulah
tujuan touring sebenarnya. Touring is a
journey not destination.
Dipertigaan Menggala motor kuarahkan
ke kanan untuk menuju jalan lintas timur Lampung – Palembang. Jalan dari
persimpangan Menggala ini menuju Tulang Bawangpun tidak begitu mulus. Jalan
yang tidak rata dan bergelombang serta asphalt yang telah terkelupas mewarnai
perjalanan. Namun kondisi jalan seperti ini bukan masalah yang berarti untuk
motor enduro kelas pemula seperti versys. Kok kelas pemula? Ya, bagiku Versys
650 cc adalah kelas pemula seperti Suzuki V-Storm 650, BMW 650 atau Honda NC700x.
Di kelas menengah menurutku adalah kelas 800-1000 cc, seperti BMW GS800,
Triumph Tiger 800XC atau Versys 1000cc. Nah, untuk kelas berat masih menurutku
adalah BMW GS1200, Ducati Multristrada 1200, Yamaha Super Tenere 1200, Honda Crosstourer
1200 ataupun motor adventure lain dengan cc di atas 1000 .
Namun Versys 650 aku nilai sangat
cocok untuk jalan di Indonesia yang kusut bin semrawut. Masih mudah untuk
melakukan selap-selip atau lewat dari bahu jalan seperti yang kulakukan saat
terjadi kemacetan parah di Raja Polah, di Nagreg dan di Cimahi saat pulang dari
Jogja. Seorang rekan yang menggunakan Goldwing 1800 sampai tertinggal 3 jam
lebih. Namun dengan catatan, side box pannier harus dilepas dan digantikan
dengan side bag yang lebih lentur untuk menghindari terjadinya benturan yang
membuat motor tidak bisa lewat saat selap-selip.
Lewat dari Tulang Bawang gelap mulai
merambat turun. Jam 17.50 Aku memutuskan untuk berhenti di pom bensin untuk
mengisi bahan bakar dan sholat magrib. Di pom bensin yang terletak di Indraloka
- Tulang Bawang ini ternyata menyediakan pertamax, sehingga tanki si Kuning aku
isi sampai penuh supaya tidak perlu lagi mengisi sebelum sampai ke Palembang.
Kapasitas tanki yang bervolume 18 liter memang sangat membantu, sehingga kita
tidak perlu sering-sering mengisi bensin. Apalagi dalam catatanku, jarak
rata-rata yang bisa ditempuh perliternya dalam perjalanan ini sekitar 20
kilometeran.
Jam 19.00 kami meninggalkan pom bensin
dan melanjutkan kembali perjalanan. Dari Tulang Bawang masih akan melewati Mesuji
Lampung, Mesuji SumSel, Lempuing, Pematang Panggang, Teluk Gelam, Kayu Agung,
Tanjung Raja dan Indralaya untuk sampai ke Palembang. Hari yang sudah gelap
sangat tidak menguntungkan untuk memacu kendaraan dengan cepat mengingat
terkadang terdapat lubang dan jalan yang tidak mulus. Kecepatan 50-70 kilometer
perjam aku rasa sudah cukup demi keselamatan, apalagi bila membayangkan 3 anak
di rumah yang masih sangat membutuhkan kedua orangtuanya.
Kondisi perjalanan malam dari Tulang
Bawang sampai Tanjung Raja hampir sama, melintasi jalan yang terkadang mulus
dan terkadang tidak mulus. Lalu lintas tidak ramai, hanya sesekali kami harus
mendahului iring-iringan truk supaya laju motor tidak terlalu lambat. Di jalan
yang cukup gelap, aku menyalakan fog lamp
cree 12 watt yang kupasang di engine guard untuk membantu lampu utama. Bila
berpapasan dengan kendaraan dari arah depan, aku segera mematikan fog lamp
tersebut karena kuatir membuat mata mereka menjadi silau.
Jam 20:35 kami beristirahat di Tanjung
Raja untuk membeli minuman di Alfamart, sambil menelpon adikku di Palembang
agar bisa menyediakan kamar untuk kami. Rencana awal, kami akan menginap di
rumah orang tuaku yang terletak di depan PT. Pusri, namun karena kuatir sampai
di Palembang sudah terlalu malam dan akan mengganggu istirahat mereka maka aku
putuskan untuk menginap di rumahku yang sekarang ditempati oleh adik
perempuanku satu-satunya itu. Namun ternyata adikku mengatakan bahwa sepupuku
yang tinggal di Bojong sedang menginap di rumahku karena tengah mengantar
anaknya untuk mendaftar di Universitas Sriwijaya. Akhirnya dengan terpaksa aku
menelpon ke rumah orang tuaku dan memberi tahu bahwa aku dan istri sudah berada
di Tanjung Raja dan akan menginap di rumahnya.
Memasuki jalan raya Palembang –
Indralaya yang kilometernya aku lupa, terjadi kemacetan yang cukup parah,
padahal jarak dari titik kemacetan ke Palembang hanya sekitar 15 kilometer
lagi. Sebisa mungkin aku berusaha untuk mengambil jalur kanan saat terlihat ada
celah yang memungkinkan, dan segera menepi bila ada mobil dari arah berlawanan
yang lewat. Sedikit demi sedikit usaha ini berhasil, dengan total lebar sekitar
1 meteran saat box terpasang ternyata tidak begitu menyulitkan untuk bisa
keluar dari antrian kendaraan ini.
Jam 22.45 kami sudah memasuki kota
Palembang, dari jalan Polygon aku belokkan motor menuju jalan Parameswara dan
terus menuju jalan Demang Lebar Daun. Trafic light di persimpangan Polda
berwarna hijau saat kami tiba di sana sehingga kami bisa terus melanjutkan ke
jalan Basuki Rahmad tanpa harus berhenti.
Di persimpangan Jalan R Sukamto Sekip, traffic light berwarna merah, aku
berhenti, beberapa pengemudi motor dan mobil terlihat memperhatikan kami.
Di persimpangan empat Kenten, istriku
meminta untuk membeli martabak telor terlebih dahulu sebelum menuju rumah orang
tuaku. Saat istirahat di pom bensin Tulang Bawang kami sepakat untuk tidak
makan malam diperjalanan, namun akan makan malam di Palembang dengan menu
martabak telor. Martabak telor di Palembang sedikit berbeda dengan martabak
telor di daerah lain karena disajikan dengan kuah kentang kari yang diberi
potongan daging sapi atau kambing. Makanan ini lebih terkenal dengan sebutan
martabak HAR, singkatan dari nama orang yang pertama membuka usaha jualan makanan
tersebut. Kuah karinya yang hangat dengan rasa yang cukup kuat memang membuat
makanan ini menjadi salah satu makanan favorit bagi masyarakat Palembang selain
pempek, tekwan, model, climpungan atau mie celor. Di rumah, seringkali aku dan
istri gotong royong dalam membuat martabak telur ini. Aku yang bertugas membuat
martabaknya dan istriku yang menyiapkan kuah karinya.
Tepat jam 23.05, kami sampai di rumah
orang tuaku. Segala letih dan penat rasanya terbayar sudah. Aku melepas side
box sebelah kiri agar motor bisa di parkir diteras samping rumah karena pintu
masuk teras samping ini lebarnya hanya sekitar 80 centimeter saja. Mau diparkir
diteras depan aku kuatir ada bagian yang dijarah orang karena daerah tempat
tinggal orang tuaku termasuk kurang aman, sementara di garasi hanya cukup untuk
satu buah mobil yang sudah terparkir di dalamnya.
Setelah mengeluarkan pakaian dari
dalam box, kami menuju kamar untuk beristirahat. Di dalam kamar, orang tuaku
sudah menyiapkan handuk dan perlengkapan mandi untuk kami. Kamar ini memang disediakan
untukku atau adikku yang juga tinggal diluar kota bila sedang liburan di
Palembang. Anak-anak disediakan kamar lain yang berdekatan dengan kamar orang
tuaku. Sejuknya udara yang dikeluarkan oleh AC yang terpasang mengalahkan
panasnya udara kota Palembang. Aku melamun, membayangkan rencana yang akan kami
lakukan besok. Selain berphoto di Benteng Kuto Besak dengan latar belakang
jembatan Ampera dan ke rumah mertuaku sudah pasti kami akan menikmati model dan
pempek. Hhmmm….a really nice day. Tidak beberapa lama kemudian kamipun tertidur
dengan pulas.
(Bersambung…)
Seru ya! dari motor dari bersih,dekil, berlumpur, sampe bersih lagi. Tapi terbayar semua keletihan. Keren! :)
ReplyDelete