TOURING
BOGOR – PALEMBANG – BOGOR
DI PALEMBANG
(BAG. II)
Adzan subuh
yang membangunkanku
selalu
mengingatkan pada sosok perempuan tua
yang kini
tengah menempuh perjalanan yang sangat jauh
………. sangat jauh
Merindukanmu,
selalu membuat aku kehilangan kata-kata
Alarm jam setengah
lima pagi yang
berbunyi dari HPku berdering keras,
bersamaan dengan alunan adzan yang keluar dari speaker masjid di kampung
sebelah. Aku menggeliat, badan ini rasanya masih berat untuk diajak berdiri,
mataku juga masih ingin diistirahatkan lebih lama. Tidur selama lima jam kurasakan
masih kurang setelah menempuh perjalanan yang lumayan menguras tenaga saat
melewati jalan-jalan yang tidak mulus sejak dari Bogor sampai Palembang.
Di sebelah, istriku juga sudah membuka matanya dan menggeliat
meregangkan otot-otot tubuhnya yang mungkin pada pegal. Seharian duduk di belakang
jok motor pastilah hal yang membosankan. Istriku bangun lebih dahulu dan menuju
ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, kemudian sholat. Saat istriku selesai
sholat, aku masih malas untuk bangun. Mataku masih berada antara setengah
terbuka dan terpejam. “Kang, cepat sholat. Setelah sholat nanti bisa nyambung
tidur lagi.” Katanya sambil mengguncang tubuhku.
Akupun berdiri bangun, menuju kamar mandi dan mengambil
wudhu, setelah itu sholat subuh. Selesai sholat aku kembali menggulingkan badan
dan mencoba untuk tidur sebentar, sekedar mencoba menghilangkan kantuk yang
masih tersisa.
Lebih kurang jam enam aku kembali
bangun dan teringat akan celana jeans, kaos kaki dan sepatu yang aku rendam
tadi malam sesaat setelah sampai di rumah orang tuaku. Aku bergegas menuju
teras kecil di samping belakang rumah yang digunakan ibuku sebagai tempat untuk
mencuci pakaian. Celana jeans aku angkat dari ember, air yang mengalir turun
dari celana itu berwarna sangat keruh, kotor sekali.
Jeans, kaos kaki dan sepatu kini
telah selesai aku cuci. Ada sedikit kuatir kalau sepatu tidak bisa kering hari
ini megingat bahannya yang cukup tebal. Selain akan dipakai pulang subuh besok,
sepatu ini juga akan aku pakai petang nanti untukberphoto di pelataran
depan Benteng Kuto Besak dan ke rumah mertuaku di Jakabaring. Kalau celana dan
kaos kaki aku tidak begitu kuatir karena bisa aku tinggalkan saja.
Di ruang tamu aku mendengar suara bapak, ibu dan istriku
yang tengah mengobrol. Aku bergegas keluar dari kamar dan bergabung bersama
mereka. Tidak terasa begitu cepat waktu berlalu, terakhir kali aku ke sini
adalah saat hari Raya Idul Fitri tahun yang lalu bersama dengan anak-anak.
Setiap hari Raya Idul Fitri sejak kami pindah dari Palembang ke Bogor lima
tahun yang lalu, kami selalu mudik. Anak-anak begitu bersemangat untuk dapat
berlebaran di Palembang, di sini mereka dapat berkumpul dan bermain dengan
sepupu-sepupunya.
Dea anakku yang
nomor dua, lebih memilih untuk menginap di rumahku yang kini ditempati adik
perempuanku. Adikku sangat jago memasak makanan dan kue, mungkin karena itulah
yang membuat Dea senang tinggal di situ. Anin anak sulungku lebih netral.
Terkadang dia menginap bersama adikku, terkadang dia menginap di rumah orang
tuaku bersama kami, kadang juga dia menginap di rumah mertuaku di daerah
Jakabaring, atau menginap di rumah adik iparku. Sedangkan sibungsu Rafif,
selalu menginap di mana istriku menginap. Bungsuku ini walaupun telah berumur
delapan tahun namun masih sulit untuk berpisah dengan ibunya. Namun bila kami
pergi touring, herannya dia tenang-tenang saja dan tidak merasa kehilangan.
Setelah ngobrol
dan sarapan, aku segera mengeluarkan motor dari teras samping rumah ke halaman
depan untuk dicuci. Tanah becek yang melekat telah mengering dan mengeras. Aku
menarik selang dan menghidupkan pompa air, kemudian mulai menyiram tubuh si
Kuning. Tanah-tanah yang lengket tidak sulit untuk dilepaskan, semprotan air
yang dipompakan mengalir cukup deras dan merontokkan tanah-tanah tersebut. Seluruh
bagiannya aku sabuni, bagian bawah mesin dan tabung knalpot aku sikat, setelah
itu kembali aku menyemprotnya dengan air supaya sabunnya terbilas bersih.
Setelah motor
bersih dan aku keringkan, aku memeriksa baut-bautnya. Jalan yang jelek dan
tidak rata membuat banyak getaran pada motor dan pasti akan mengakibatkan ada
baut yang kendur. Ternyata dugaanku tidak salah. Tiga baut L pengikat sepatbor
tambahan di roda belakang
kendur semua, pantas saat melalui jalan jelek semalam terdengar bunyi “klek-klek” dari bagian belakang motor.
Baut-baut yang
lainpun aku periksa. Ada yang menggunakan kunci L dan ada yang menggunakan
kunci ring ataupun kunci shocket. Baut yang berukuran besar semua aman-aman
saja, tapi baut berukuran kecil ada beberapa yang harus aku kencangkan kembali.
Jam dinding di
ruang tamu telah menunjukkan pukul 10 lewat. Matahari sudah meninggi dan
sinarnya mulai menyengat panas. Sudah beberapa hari ini di Palembang tidak
hujan, mungkin karena sudah mulai memasuki musim kemarau. Cuaca di Palembang
memang lebih panas daripada
di
Bogor, apalagi bila
dibandingkan dengan perumahan
tempat aku tinggal sekarang yang
berada persis di bawah kaki gunung Salak yang
suasananya sangat sejuk.
Aku kembali
mengantuk dan malas untuk keluar rumah. Di ruang tamu, istriku tengah mengobrol
seru dengan kakak ipar perempuanku dan tiga anaknya. Ibu dan bapakku juga ikut
bergabung bersama mereka.
Tak
lama akupun nimbrung bersama mereka
sambil menikmati
kemplang panggang kesukaan istriku yang dibawa oleh kakak iparku. Kemplang
panggang adalah salah satu makanan khas dari Palembang sejenis kerupuk, namun
ukurannya dibuat lebih besar dengan diameter sekitar 8 sampai dengan 20 sentimeter.
Kalau kerupuk Palembang umumnya dimatangkan dengan cara digoreng, kemplang panggang ini dimatangkan dengan cara
memanggangnya di atas bara api dari arang. Selain diberi topping sambal, memakan kemplang panggang ini akan terasa enak juga
dilakukan dengan cara mencelupkannya ke dalam cuka pempek.
Tidak terasa waktu
terus bergeser, kini jam telah menunjukkan pukul 12 kurang sepuluh menit.
Perutku mulai keroncongan. Aku segera menuju meja makan. Hari ini ibuku memasak
ikan kembung bumbu kuning. Ikan kembung yang berukuran cukup besar itu dibelah
menjadi dua bagian. Aku makan dengan lahap, dua potong ikan kembung itu telah
pindah ke piring makanku. Dagingnya yang tebal dan empuk terasa sangat gurih.
Ibu memasak ikan kembung bumbu kuning ini dengan tidak menggoreng ikannya
terlebih dahulu karena ingin mengurangi
penggunaan minyak goreng yang dapat menyebabkan peningkatan kadar kolesterol.
Dalam usianya yang sudah lewat enam puluh enam
tahun, kedua orang tuaku menerapkan pola makanan sehat supaya terhindar dari
penyakit.
Setelah makan,
mataku kembali memberat untuk dibuka. Tiupan kipas angin di ruang tengah membuatku
kembali mengantuk. Ingin sekali rasanya segera menuju tempat tidur, namun
aku kuatir tidak bisa bangun saat masuk waktu dzuhur nanti sehingga aku memilih
untuk kembali ngobrol dengan bapakku.
Jam
tiga sore kurang sepuluh menit aku terbangun. Tidak terasa ternyata tidur
siangku sudah lebih dari dua setengah jam. Aku membangunkan istriku yang juga
ikut tidur siang. Kami segera mandi karena sore ini akan ke Benteng Kuto Besak
untuk berphoto dengan dengan latar jembatan Ampera dan ke rumah mertuaku. Saat
aku masih tinggal di Palembang 5 tahun yang lalu, belum pernah aku berphoto
seperti ini. Namun setelah tinggal di Bogor, kalau tidak salah hitung sudah 3
kali aku melakukannya. Yang pertama aku berphoto dengan kawan-kawan semasa SMP,
yang kedua saat aku touring ke Palembang untuk pertama kalinya pada tahun 2011
dan yang ketiga saat liburan sekolah tahun 2013 yang lalu ketika adikku yang
bertugas di Kediri bisa liburan di Palembang bersama keluarganya.
Setelah
sholat ashar aku dan istri segera melaju diatas si Kuning. Panas matahari sore
masih terasa menyengat. Jalan Mayor Zen tidak begitu ramai, begitu juga jalan
RE Martadinata yang kami lalui. Dari depan PT. Pusri sampai dengan pasar
Lemabang tidak banyak yang berubah sejak belasan tahun yang lalu. Pembangunan
di daerah ini tidak sepesat di daerah Kenten, tempat aku tinggal sebelum pindah
ke Bogor.
Sebelum
menuju Benteng Kuto Besak, istriku meminta untuk mampir ditoko aksesories motor
dan helm yang mungkin menjual balaklava, masker ninja untuk menahan muka dari
sinar matahari dan debu. Di persimpangan tiga Boom Baru aku membelokkan motor
ke kiri menuju pasar Kuto karena seingatku di sekitar kawasan pasar ini
terdapat beberapa toko penjual aksesoris motor dan helm. Namun sayang sekali
dari beberapa toko yang kami hampiri, tidak ada satupun yang menjual balaklava
tersebut.
Kami
berdua segera menuju Benteng Kuto Besak. Dari jalan Segaran aku membelokkan
motor ke jalan TP Rustam Effendi, kemudian belok kiri lagi untuk masuk ke jalan
Jendral Sudirman. Di belokan air mancur, kami mengambil arah kanan untuk masuk
ke jalan Merdeka. Sekitar 500 meter dari awal jalan Merdeka aku membelokkan
motor kearah kiri ke jalan yang menuju pinggiran sungai Musi dan kemudian belok
lagi ke kanan menyusuri jalan yang dilapis conblock yang sudah berada di
kawasan Benteng Kuto Besak.
Kolam Pemancingan Anak |
Suasana Sabtu
sore di sekitar area pinggiran sungai Musi ternyata cukup ramai. Area lapang di
sekitar bibir sungai yang semua sudah dilapis conblock banyak ditempati oleh
penjual makanan atau orang yang menyewakan berbagai mainan untuk anak-anak. Ada
becak mini, mobil-mobilan dan mainan kolam pemancingan untuk anak. Di Palembang
memang tidak banyak tempat wisata, sehingga pinggir sungai Musi menjadi pusat
keramaian yang banyak diminati oleh masyarakat di kota ini, disamping tentunya mungkin
karena untuk masuk kawasan ini tidak dikenakan karcis tanda masuk kecuali biaya
parkir kendaraan saja.
Penyewaan Mobil-Mobilan |
Lebih
dari sepuluh tahun yang lalu daerah yang sekarang menjadi tempat wisata ini
adalah daerah yang kumuh dan semrawut karena merupakan terminal mobil dalam dan
antar kota. Dulu daerah ini juga termasuk daerah yang rawan kejahatan karena
banyaknya preman yang ada. Namun sejak terpilihnya walikota yang baru saat itu,
sedikit demi sedikit kawasan ini bisa dibenahi sehingga menjadi tempat wisata
yang cukup menarik. Daerah yang dulunya terkenal rawan inipun menjadi tempat
yang cukup aman tanpa perlu lagi kuatir adanya penodongan atau pencopetan.
Aku
mencari tempat parkir yang agak lapang supaya bisa mengambil poto dengan latar
belakang jembatan Ampera dengan komposisi yang bagus. Setelah parkir aku segera
mengeluarkan tripod, meletakkan kamera diatasnya dan segera mencari sudut
potret yang tepat. Tidak mudah memang karena banyaknya orang yang lalu lalang
serta pedagang yang memenuhi area ini. Beberapa orang memperhatikan kami,
kemudian mengamati motor yang kami gunakan. Seorang ibu pedagang yang melihat
plat nomor dengan huruf “F” spontan bertanya apakah kami dari Bogor. Saat
istriku menjawab iya, dia langsung menunjukkan tempat-tempat wisata yang bisa
kami kunjung.
Aku tersenyum,
ibu ini tidak tau kalau aku sebenarnya dilahirkan dan besar di Palembang,
bahkan meninggalkan kota Palembang untuk pindah ke Bogorpun baru lima tahun
yang lalu. Dalam waku lima tahun, aku juga sudah belasan kali berkunjung ke
Palembang. Istrikupun yang walau dilahirkan di Bandung dan pernah tinggal di
Lampung, namun juga lebih banyak tinggal di Palembang. Kalau tidak salah sejak
kelas 4 SD di tahun 1983 sampai dengan tahun 2008.
Dengan Latar Belakang Jembatan Ampera |
Saat Touring tahun 2011 |
Di
lokasi parkir ini kami tidak bisa mendapat sudut pemoretan yang bagus.
Disamping jembatan Amperanya terlihat kecil dan jauh, pemandangan berupa
keramaian yang ada membuat photo menjadi tidak bagus. Kami kembali naik ke
motor untuk mencoba mencari tempat yang lebih dekat dengan jembatan Ampera.
Beruntung
akhirnya tempat itu bisa kami temukan. Ada area yang cukup kosong untuk
memarkirkan motor sekedar untuk mendapatkan latar belakang jembatan Ampera
lebih dekat lagi. Area tersebut sebenarnya bukan untuk parkir, namun untuk
pedagang berjualan. Karena itu aku tidak memarkirkan si Kuning disitu terlalu
lama, hanya untuk mengambil photo saja.
Dengan Latar Belakang Yang Lebih Dekat |
Seperti biasa
disaat harus berphoto berdua, aku harus mengatur timer kamera supaya punya
cukup waktu untuk “klik” setelah aku menekan tombil shutternya. Inilah selfie
ala kami, bukan dengan menggunakan tongsis.
Penyewaan Perahu |
Setelah
selesai berphoto, aku memindahan motor ke tempat parkir dan berjalan mengelilingi
pinggiran sungai, berharap bisa menemukan objek photo yang bagus. Beberapa
pemilik dan calo kapal ketek menghampiri dan menawarkan jasa untuk menyelusuri
sungai Musi atau mengunjungi pulau Kemaro. Aku menolaknya. Disamping waktunya
yang sempit, sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Palembang sudah belasan
kali merasakan naik kapal menyusuri sungai Musi ini.
Selain
penjual minuman dan makanan ringan, di kawasan ini juga banyak pedagang yang
menjual mie goreng. Aku heran, kenapa mereka bukan memilih menjual mie celor
khas Palembang, atau celimpungan atau mungkin berjualan telok ukan yang keberadaannya sudah sangat langka. Menurutku,
semestinya Pemerintah Daerah ikut mengarahkan penjual makanan ini supaya
kawasan ini bisa juga menjadi kawasan wisata kuliner daerah.
Tidak
lama menelusuri pinggir sungai, aku melihat ada dermaga kecil yang kalau
berdiri diatasnya jembatan Ampera terlihat tanpa ada yang menutupi. Aku segera
mencari jalan untuk menuju ke dermaga itu, melalui bangunan besar berwarna
merah yang belum selesai dibangun. Di belakang bangunan merah besar ini
ternyata ada beberapa orang yang sedang memancing, artinya aku dan istripun
dapat masuk kesitu.
Dengan Latar Belakang Yang Lebih Baik |
Jembatan Kebanggaan Warga Palembang |
Pada Naik ke Pedestarian |
Kawasan Seberang Ulu |
Di ujung
jembatan sebelah ulu kemacetan bertambah parah karena adanya pekerjaan
pembangunan fly over yang belum selesai. Jalan menuju arah Kertapati, Plaju dan
Jakabaring tampak menyempit. Kendaraan dari arah kiri dan kanan berebut saling mendahului.
Bunyi klason terkadang terdengar berbalas-balasan.
Seratus
meter sebelum rumah mertuaku, istriku meminta untuk berhenti sebentar untuk
berphoto dengan latar belakang masjid Muhammad Cheng Hoo. Masjid yang didirikan
oleh komunitas muslim Tionghoa Palembang ini berdiri dengan megah dengan catnya
yang berwarna merah dan berarsitektur khas bangunan Tionghoa.
Masjid Cheng Hoo |
Di
rumah mertuaku kami disuguhkan model ikan. Semestinya model ini lembut dan
enak, namun kali ini terasa sedikit keras. Di Bogor istriku sering membuat
model ikan seperti ini bila ada acara pertemuan yang di adakan di rumahku.
Model ikan buatan istriku lembut dan sangat enak, bukan hanya menurutku tetapi
menurut teman-teman yang sudah pernah mencicipinya. Bila setelah selesai acara
masih ada model yang lebih, tidak jarang teman-temannya suka meminta untuk
dibungkuskan.
Di
Palembang ada dua varian model, yakni model ikan dan model gandum. Model gandum
terbuat dari tepung gandum yang dibentuk bulat menyerupai roti goreng. Bila
akan dihidangkan, roti goreng tersebut akan dipotong-potong kecil lebih dahulu
baru kemudian disiram dengan kuah model yang salah satu bahan utamanya adalah
gilingan kepala udang. Sedangkan model ikan sebelum dihidangkan sudah direndam
dalam kuah model yang panas supaya tetap lembut. Jika akan dihidangkan, model
ikan ini akan dikeluarkan dari air kuah tersebut kemudian dipotong kecil-kecil
diatas piring, baru kemudian beri kuah. Bahan tambahan lain untuk menghidangkan
model ini adalah soun dan irisan kecil timun serta irisan daun sop dan daun
bawang, tidak ketinggalan juga bawang goreng, kecap manis dan sambal.
Tepat
jam tujuh malam kami meninggalkan rumah mertuaku dan bermaksud menuju Kenten
untuk menemui adikku. Sepanjang jalan Sudirman dan jalan Veteran lalu lintas terlihat
mulai tidak begitu ramai. Motor kupacu dengan kecepatan sedang saja untuk
menikmati suasana malam di Palembang.
Penjual makanan di pinggir jalan mulai banyak, ada yang menjajakan
gorengan, martabak serta mie dan nasi goreng. Kehidupan malam mulai bergerak.
Dari
jalan Veteran aku terus ke arah Boom Baru, pasar Lemabang dan memilih untuk melewati
daerah Sekojo kemudian tembus ke jalan Patal – Pusri lalu belok kanan menuju
jalan H Hasan Kasim di daerah Celentang untuk sampai ke Kenten. Namun ketika
melihat ada toko yang menjual helm, istriku meminta untuk berhenti dan kembali
bermaksud untuk membeli balaklava. Tapi apa mau dikata, dari beberapa toko yang
ditanya tidak satupun yang menjual barang dimaksud, mereka hanya menjual masker
saja. Dan dengan terpaksa istrikupun membeli satu buah masker untuk mengurangi
potensi terhisap debu saat perjalanan pulang nanti.
Karena jam
telah menunjukkan pukul delapan lebih sedikit, aku membatalkan rencana untuk
menemui adikku dan memilih untuk mampir di penjual pempek yang terletak di
deretan ruko daerah Celentang dekat simpang tiga perumnas Sako Kenten. Toko
pempek ini kelihatannya belum satu tahun dibuka, karena tempat duduknya masih
terlihat baru dan bersih. Kami memesan satu piring pempek kecil campur dan teh
botol. Bisanya satu piring pempek hanya cukup untukku saja, namun karena tadi
sudah makan model di rumah mertua, maka cukuplah kali ini satu piring pempek
yang isinya 10 buah untuk kami berdua. Satu piring pempek campur ini terdiri
dari tiga buah pempek adaan, tiga buah pempek lenjer kecil, tiga buah pempek
telor kecil dan satu buah pempek kulit.
Pempek Kecil |
Karena
rasanya yang enak, aku meminta istriku untuk menambah lagi dan membungkusnya
untuk orang tuaku. Kemudian kami bergegas pulang untuk mempersiapkan segala
keperluan pulang ke Bogor besok pagi. Di dekat perumahan PHDM kami berhenti di
Indomart untuk membeli air minum dan roti untuk persiapan bekal sarapan besok
di perjalanan. Seandainya kami berangkat dari rumah orang tuaku besok sekitar
jam lima lewat lima belas menit, kemungkinan besar pada saat waktunya sarapan
nanti kami telah melewati kota Kayu Agung sehingga kecil kemungkinan bisa
menemui rumah makan.
Si
Kuning masih kujalankan dengan perlahan menuju rumah orang tuaku yang jaraknya
sekitar satu kilometer lagi. Angin malam bertiup membungkuskan semilirnya ke
tubuh kami. Di langit malam yang terlihat jernih, bintang yang bertaburan
berkelap-kelip. Dari belakang motor istriku memeluk pinggangku dengan erat. Selalu
ada rasa yang tidak bisa diungkapkan setiap kami melakukan touring berdua.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment