Monday, July 18, 2011

RUMAH MAKAN BARU

Pada tanggal 9 Juli yang lalu, saya dan keluarga merayakan hari ulang tahun Rafif – anak bungsu saya, Dea – anak yang nomor dua, dan Istri saya. Kebetulan hari kelahiran mereka berurutan 7,8 dan 9. Cukup unik dan perayaannya selalu dilakukan bersamaan, tiup kue yang sama setelah lilin angka umurnya diganti, kemudian kami lanjutkan dengan makan malam diluar. Selalu kami rayakan dengan sangat sederhana.

Dea yang lahir pada tanggal 8 Juli 2002, sebenarnya baru akan lahir pada tanggal 9 dini hari. Namun karena mertua laki-lakiku yang orang Jawa masih punya kepercayaan bahwa anak yang dilahirkan bersamaan tanggal lahir dengan ibunya akan membawa hal yang kurang baik, maka pada malam tanggal 8 itu beliau meminta kepada dokter agar bayi dalam kandungan istriku bisa dikeluarkan sebelum tanggal 9. Dan entah karena dokternya mau mengerti keinginan mertuaku atau memang sudah waktunya Dea harus keluar, pada jam 23.58, terdengarlahlah tangis pertamanya setelah istriku menjalani operasi bedah caesar.

Setelah berunding dengan istri dan anak-anak, tempat makan malam perayaan uang tahun kali ini disepakati disebuah rumah makan yang baru di buka didekat cluster rumahku. Selain dekat, rumah makan ini juga memiliki tempat makan dilantai 2 yang terbuka dan bisa melihat pemandangan yang asri disekitar komplek perumahan dan gunung salak. Udara sejuk dan semilir angin yang berhembus sungguh membuat suasana terasa begitu nyaman.

Setelah memilih tempat duduk, pramusaji segera menghampiri dan menyodorkan buku menu. Aku, anak-anak, istriku, mertua perempuanku dan kedua pekerja rumah tangga kami melihat menu-menu yang tertulis di dalam buku tersebut untuk dipilih sebagai santapan kami malam ini. Bayanganku akan banyaknya variasi menu harus pupus karena ternyata tidak banyak menu makanan yang dihidangkan di rumah makan ini, padahal didekat pintu masuk tadi aku sempat membaca poster yang dipasang bahwa mereka menyediakan Western, Chinese dan Indonesian food.

Untuk hidangan western mereka hanya menyediakan tenderloin steak, sirloin steak, beberapa jenis spaghety serta beberapa menu yang aku lupa. Untuk Chinese food ternyata hanya ada sapo tahu, sedangkan menu Indonesian sedikit lebih banyak seperti nasi goreng, sop buntut, nasi timbel, bihun goreng, kepiting asam manis dan lain-lain.

Aku dan istriku akhirnya memilih tenderloin steak – well done dengan black paper sauge, Anin anakku yang sulung memilih fettuccini, Dea memilih zupa-zupa soup, Rafif memilih lasagna, mertuaku memesan nasi goreng dan sop buntut dan kedua pekerja rumah tangga kami memilih menu bihun goreng serta nasi timbel komplit.

Setelah menunggu lebih kurang setengah jam satu persatu menu-menu yang kami pesan tersebut berdatangan. Namun yang agak mengejutkan ternyata porsinya hanya lebih kurang setengah dari porsi makanan yang sama yang dijual dirumah makan lain dengan harga yang hampir 2 kali lebih mahal. Rafif yang terbiasa makan dengan porsi besar spontan komplain kepadaku “Pak, kok spaghetynya sedikit amat ? nanti tambah ya.”

Ternyata bukan hanya lasagna Rafif saya yang porsinya “kecil”, tenderloin steak pesanan saya dan istripun mengalami hal yang sama. Besar steaknya tidak lebih lebar dari diameter gelang tangan istriku, tebalnyapun kurang dari 1 centimeter. Kentang yang disajikan hanya beberapa buah saja, mungkin 7 atau 8 potong. Tidak ada sayuran yang menemani steak dan kentang dalam piring tersebut kecuali hanya sedikit black paper sauge yang disiramkan di atas potongan daging yang kelihatan gosong.

Gosong? Ya ternyata steak yang kami pesan well done malah sedikit berarang yang menandakan bahwa itu gosong, mirip potongan daging sate. Seumur-umur makan steak baru kali ini mendapatkan sajian seperti ini. Steak yang seharusnya ”juice”pun terasa kering menandakan ini bukan dari daging yang kualitasnya masih baik, seratnya juga terlihat sedikit lebih kasar. Australian beef ? entahlah, tebakanku mungkin daging ini berasal dari sapi madura yang kalah karapan.

Menu lain? Seperti biasa Rafif selalu mengatakan bahwa makanan yang dimakannya sangat enak dan aku juga tidak mencoba apa rasa lasagna pesanannya. Anin mengatakan bahwa fettuccini buatan Mama lebih enak. Dea mengatakan bahwa zupa-zupa soupnya tidak seenak yang dijual di aneka soup di Jalan Sukasari. Nasi gorengnya menurut mertuaku rasanya sangat biasa untuk harga seperti itu, sedangkan sop buntutnya terasa hambar. Tidak ada opini dari pekerja rumah tanggaku mengenai rasa nasi timbel komplit dan bihun goreng yang mereka makan, kemungkinan mereka bingung mau dibandingkan dengan masakan dari rumah makan mana.

Tissue yang seharusnya ada di meja makan ternyata baru disediakan saat aku meminta, terasa aneh bahwa rumah makan dengan kelas yang termasuk tidak murah tidak memeriksa kelengkapan yang harus ada di meja makan. Lebih parahnya lagi pesanan juice melon Anin tidak juga datang sampai kami selesai bersantap malam, padahal sudah dua kali aku mengingatkan pramusaji.

Pengunjung di meja sebelah aku lihat sempat complain 2 kali dan berniat untuk membatalkan pesanan karena terlalu lama menunggu. Dua kali juga manajer rumah makan datang untuk meminta maaf dan meminta pengunjung tersebut bersabar sambil menjelaskan bahwa makanan pesanannya sedang disiapkan. Tidak ada kompensasi yang diberikan oleh manajer tersebut saat meminta tambahan waktu menunggu si pengunjung. Terasa berbeda dengan pelayanan di rumah makan dalam film ”silent army” yang baru aku tonton tadi pagi. Difilm tersebut manajer rumah makan meminta anak buahnya segera menyediakan ”the best wine that we have” sebagai kompensasi untuk pengunjung yang complain dengan pelayanan yang dia dapatkan.

Aku jadi teringat artikel yang ditulis Hermawan Kartajaya di majalah garuda yang aku baca saat dalam perjalanan dari bandara Sultan Syarif Kasim ke bandara Soekarno-Hatta mengenai good marketing, strategy memasarkan produk dan menjalin suatu ikatan dengan pengguna produk tersebut . Disitu dituliskan antara lain bahwa untuk pihak yang menjual produk (baik barang ataupun jasa), pelayanan dengan menganalogikan pembeli adalah raja sudah harus mulai ditinggalkan dan diganti dengan pembeli adalah partner. Dengan menjadikan pembeli adalah partner, diharapkan terjadi interaksi business yang dapat membangun pengembangan jasa business yang lebih baik. Pembeli sebagai partner akan memberikan masukan-masukan atas kekurangan pelayanan yang ada, membuatnya sebagai bagian dari pelaku pengembangan business itu sendiri, dan membuat mereka menjadi pelanggan pengguna produk itu sendiri.

Pola custumer service juga sudah seharusnya diganti dengan customer care. Sudah bukan zamannya lagi hanya memberi pelayanan saat mereka meminta terlebih dahulu. Penjual produk harus proaktif menawarkan kepada pelanggan apa-apa yang mereka perlukan selama menggunakan produk atau jasa yang sedang ditawarkan, atau mengetahui dan menyiapkan terlebih dahulu keperluan mereka. Menunjukkan kepedulian jauh lebih baik daripada sekedar memberikan pelayanan. Customer care selalu mencari jalan untuk melayani pelanggan lebih dari apa yang mereka butuhkan atau mereka harapkan.

Ilusi sederhana mengenai service dan care sebagai berikut: Bila kita sedang bertamu kerumah seorang teman dan disuguhi minum tanpa menawarkan terlebih dahulu kepada kita apa yang kita ingin minum, teman ini termasuk yang sedang memberikan service, pola “customer service”. Tetapi bila sebelum menghidangkan minuman teman tersebut bertanya apakah kita punya penyakit gula atau alergi terhadap suatu minuman dan menawarkan minuman apa yang bisa dihidangkan untuk kita, inilah care, “customer care”.

Kembali ke rumah makan tersebut, sayang sekali bangunan yang indah, pelayan yang berpakaian rapi dan banyak ternyata belum terbekali dengan kemampuan yang memadai untuk menjalankan fungsi business yang baik. Bahkan ketika pemilik rumah makan menanyakan langsung kepada saya mengenai kekurangan pelayanan mereka dan saya sampaikan bahwa pesanan juice melon Anin yang sudah dua kali diingatkan tidak juga sampai, dengan entengnya kepala koki yang dipanggil sang pemilik menjawab “minuman sudah keluar dari dapur, cuma terkirim kemana saya tidak tahu.” Oawalah...

Mungkin ini satu hal yang terlupakan oleh sang pemilik rumah makan bahwa merekrut karyawan yang telah berpengalaman belum bisa menjamin bahwa mereka mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan dengan benar. Pengalaman yang mereka bawa dari tempat kerja sebelumnya belum tentu pengalaman yang bagus dan bisa diaplikasikan ke tempat yang baru. Perlu ada penyamaan persepsi business sesuai dengan yang diharapkan oleh pemilik.

Dengan menjadikan pelanggan menjadi “loyality customer”, sudah pasti akan menjadi keuntungan yang besar karena pasti akan terjadi promosi gratis yang dilakukan oleh pelanggan kepada rekan-rekannya. Umumnya promosi dari mulut ke mulut jauh lebih berhasil daripada promosi yang dilakukan oleh pelaku business sendiri. Ada personal guaranty yang secara tidak langsung diberikan oleh si pembawa berita kepada si penerima berita. Promosi mengenai kondisi dan keadaan yang sebenarnya.

Mudah-mudahan suatu hari nanti, saya dan keluarga ada keinginan untuk kembali menikmati makan bersama dirumah makan tersebut, tapi yang jelas tidak dalam waktu dekat, tetapi nanti setelah ada seorang rekan yang mempromosikan ke saya bahwa rumah makan tersebut memang sudah layak untuk dikunjungi. Semoga.

Tuesday, June 28, 2011

13th WEDDING ANNIVERSARY

Hari ini hari ulang tahun pernikahan kami. Jam enam tadi pagi saat hand phoneku sudah menyala sesaat setelah dicharge, aku melihat pesan yang dikirim istriku pada jam 00:16 melalui BeBeEm yang berbunyi ” Selamat hari ulang tahun perkawinan sayangku, belahan jiwaku.... Semoga rumah tangga kita sakinah mawaddah warrahmah, selalu penuh gelora cinta, kemesraan dan kesetiaan. Maafkan bila sebagai istri Neng masih banyak kekurangan, mudah-mudahan kedepannya kita selalu seiring sejalan, saling melengkapi, saling menjaga dan mencintai apa adanya. Neng ingin selalu di dekat Akang jiwa dan raga, mudah-mudahan Allah SWT mempersatukan kita dunia akhirat. Aamiin...

Aku jadi teringat kembali saat kami menikah 13 tahuh yang lalu, pada tanggal 28 Juni 1998. Aku yang saat itu masih berusia 27 tahun terlihat gagah dengan jas berwarna coklat, sedangkan istriku yang hampir berusia 26 tahun terlihat cantik dengan baju pengantinnya yang berwarna gading. Masa pacaran kami tidaklah lama, hanya sembilan bulan saja. Bila dihitung sejak kami berkenalan, hanya sepuluh bulan saja. Namun bagi kami cukuplah masa perkenalan yang 9 atau 10 bulan itu untuk menuju ke kehidupan yang baru dalam ikatan sebagai suami-istri.

Kami berkenalan saat masih sama-sama bekerja pada perusahaan kontraktor yang sedang mengerjakan pembangunan Corridor Block Gas Project milik perusahaan minyak Asamera di desa Grissik kecamatan Bayung Lencir – Musi Banyuasin. Aku bekerja pada perusahaan yang menjadi main contractornya sedangkan istriku bekerja pada perusahaan sub contractornya yang mengerjakan pekerjaan site development, civil dan konstruksi. Kami bisa berkenalan karena sore itu dia diajak oleh seorang temannya yang mengantarkan laporan kepadaku.

Sebenarnya istriku dan aku, sama-sama lulusan satu universitas dan dari fakultas yang sama namun berbeda jurusan saja. Aku dari teknik Mesin dan istriku dari teknik Sipil. Namun walaupun saat kuliah kami menggunakan gedung yang sama, anehnya kami tidak pernah saling mengenal. Entah karena saat itu aku masih banyak cewek yang mau dipilih atau bisa juga karena istriku tidak pernah tertarik dengan seorang lelaki yang jarang masuk kuliah, berkulit gelap, tidak menarik dan suka membuat keonaran serta tidak pernah punya Indeks Prestasi yang bagus.

Proses berkenalan sampai kami pacaran sangat singkat, hanya kurang dari satu bulan saja. Istriku terkejut juga saat aku bilang ingin mengajaknya pacaran padahal perkenalan kami belum juga memasuki usia satu bulan. Tapi aku cuek saja sambil mengatakan bahwa tidak ada waktu untuk berlama-lama, kalau mau ya syukur tetapi kalau tidak mau aku akan pergi minta bantuan dukun. Alhamdulillah ternyata aku diterima juga jadi pacarnya walau menurutnya dia harus sholat istighoroh dulu selama 7 hari. Sialan ! mau diajak hidup bahagia kok kurang percaya sih ! hehehe...

Aku masih ingat, seringkali aku membaca surat-surat cinta yang dikirimnya diatas tower yang tinggi. Terkadang diatas flare stack yang tingginya lebih kurang 60 meter, atau terkadang diatas tower amine regeneration yang tingginya sekitar 30 meter, sambil mengawasi para pekerja yang sedang bekerja di situ. Aku juga memberitahu dengan membalas suratnya bahwa surat cinta tersebut kubaca ditempat yang tinggi, kadang kala aku lengkapi dengan sketsa supaya dia bisa membayangkan disebelah mana aku saat itu. Aku berharap bahwa cinta kami memiliki cita-cita yang tinggi, melebihi tingginya tower-tower tersebut.

Persiapan menikah tidak semudah yang kami bayangkan, apalagi saat itu baru saja terjadi kerusuhan dimana-mana karena rakyat dan mahasiswa menginginkan presiden Soeharto turun. Toko-toko banyak yang dibakar, orang-orang China turunan banyak yang jadi korban dan tidak sedikit perempuan turunan China yang diperkosa. (Ini yang aneh, benci tapi kok bisa memperkosa ?). Hampir semua toko-toko tutup dan harga barang-barang menjadi mahal. Nilai tukar rupiah terhadap US dolar sempat merosot tajam menjadi US 1 dolar senilai dengan 16 ribu rupiah.

Emas sulit didapatkan saat itu, hampir semua toko emas tutup atau tidak mau menjual karena harganya yang tidak stabil. Kami bingung, padahal perkawinan kami semakin dekat saja. Alhamdulillah, selalu saja ada kemudahan yang didapatkan. Seorang teman istriku yang kebetulan berjualan emas mau menjualnya kepada kami walaupun dengan harga yang tidak murah untuk ukuran saat itu .

Malam sebelum akad nikah, aku diminta datang kerumah istriku untuk melihat cincin perkawinan tersebut, yang akan kami kenakan besok setelah selesai acara akad nikah dalam acara pemakaian cincin kawin. Aku melihat bentuknya yang tidak bagus serta warnanya yang terlalu merah karena ternyata bukan emas 22 atau 24 karat. Aku kecewa, istriku juga kecewa. Namun menurut temannya hanya inilah cincin yang saat ini dia punya, tetapi nanti akan ditukar lagi kalau emasnya sudah mulai mudah didapatkan.

Namun ternyata ada yang lebih buruk lagi daripada sekedar kadar emas cincin tersebut yaitu ukurannya yang tidak muat dijari manis kananku. Alamak ! Untuk bisa masuk, jari manisku harus diolesi dulu pakai minyak makan. Wadooh...

Urusan jas yang akan kukenakan juga mengalami masalah. Karena ingin terlihat gagah dihari pernikahan dan ditambah lagi aku punya cukup banyak uang, aku memesannya dipenjahit yang terkenal di kota Palembang. Namanya juga menikah untuk satu kali, semuanya harus bagus, harus berbeda. Jangan sampai bentuk dasarku yang sudah tidak bagus menjadi bertambah tidak bagus lagi karena mengenakan jas yang tidak bagus. Pokoknya mahal sedikit tidak masalah, yang penting istriku tidak akan malu kalau dilihat teman-temannya bersuamikan aku karena sudah bisa terlihat sedikit lebih keren dengan jas tersebut. Bila perlu aku juga akan berdoa supaya cewek-cewek yang melihat aku dengan jas tersebut pada naksir semua....hihihi...

Tapi siapa sangka ini kejadian ini bisa terjadi ! Tiga hari menjelang hari pernikahanku alias tiga hari sebelum jas tersebut dikenakan, aku baca dikoran saat masih di lokasi tempat kami bekerja bahwa pertokoan besar dikota Palembang semalam habis dilahap si jago merah. Aku panik karena toko tempat aku menjahit jas nikah tersebut ada di dalam pertokoan yang terbakar itu. Segera aku meminta izin atasanku yang orang Jepang untuk kembali ke Palembang, untuk memastikan bagaimana nasib jas pesananku tersebut. Namun oh, ternyata toko itu sudah rata dengan tanah tanpa ada barang-barang yang tersisa sedikitpun. Aku menyesal kenapa aku tidak meminta saudaraku saja untuk mengambil jas itu padahal sudah selesai sejak seminggu yang lalu.

Atas informasi kawan akrabku, akhirnya aku menjahit jas pengganti dengan penjahit pinggir jalan didaerah perintis kemerdekaan karena waktunya yang sudah semakin dekat. Kang Doel, nama penjahit tersebut menyanggupi akan menyelesaikannya dalam waktu 2 hari supaya masih ada waktu untuk dipantas-pantaskan sebelum dikenakan. Supaya kalau terasa masih ada yang kurang, masih ada waktu untuk diperbaiki.

Tepat 2 hari kemudian jas tersebut sudah selesai dan tergantung rapi. Aku perhatikan jahitannya, kantongnya, bagian dalamnya dan kerahnya sangat bagus dan rapi. Tidak ada kulihat lajur benang jahitan yang miring atau berbelok. Saat aku kenakan ternyata sangat pas dan nyaman. Sungguh sulit dipercaya bahwa kualitas pinggir jalan bisa menyamai kualitas penjahit yang sudah punya nama besar. Yang membedakan hanyalah harganya yang jauh lebih murah, hampir separuh dari jas yang kupesan di pertokoan yang terbakar.

Alhamdulillah ! Saat hari pernikahan kami berjalan lancar, tidak ada keraguan dan kesalahan yang aku ucapkan saat akad nikah. Hanya mengenai cincin kawin masih tetap kekecilan dan jari manisku harus dioleskan minyak makan oleh ibu mertuaku supaya cincin tersebut bisa masuk. Walaupun warna cincin kami tidak sama karena kadar karat emasnya berbeda, namun tetap saja hari ini kami merasa sangat gembira karena telah resmi menjadi sepasang suami istri. Memasuki kehidupan baru yang kami rencanakan sejak memasuki masa berpacaran.

Sekarang kenangan itu telah 13 tahun berlalu, namun tetap saja masih terasa seindah seperti saat kami baru selesai melakukan akad nikah. Istriku masih cantik dan bahkan semakin cantik (maklum dari tahun ke tahun biaya maintenancenya ikut naik menyesuaikan dengan kenaikan gajiku...hehehe..). Dan walaupun sekarang kami sudah memiliki 3 orang anak namun tetap saja kami masih sempat meluangkan waktu berdua supaya cinta kami masih tetap membara. Seringkali saat touring dengan motor besar aku mengajak istriku untuk ikut, atau hampir setiap hari saat aku sedang libur kami pergi ke gym bersama untuk berolahraga, atau juga seringkali kami makan diluar berdua dan bahkan menjemput anak sekolahpun berdua.

Sampai saat ini alhamdulillah belum pernah ada keributan berarti diantara kami karena istriku adalah orang yang sangat sabar dan mengerti kedudukannya sebagai seorang istri. Istriku sangat dekat dengan kedua orang tuaku, saudara-saudaraku serta keponakan-keponakanku. Aku juga bersyukur karena cintanya yang besar kepadaku telah memilihnya untuk meninggalkan pekerjaannya dan memilih menjadi seorang ibu rumah tangga yang punya waktu penuh untuk mengurusi anak-anak kami. Tiada kebahagiaanku saat ini yang bisa melebihi kebahagiaan beristrikan dia. Rasa cinta dan sayangku kini terhadapnya pun melebihi apa yang pernah kurasakan 13 tahun yang lalu.

Walau perjalanan kami mengarungi bahtera rumah tangga masih panjang, namun InsyaAllah bisa kami lalui bersama dengan segala kekurangan yang kami miliki. Semoga Allah akan mengabulkan doa kami agar kami selalu dijadikan pasangan yang saling mencintai, menyayangi dan saling melengkapi. Aamiin.

Kurau, 28 Juni 2011

Teruntuk Juliana Dewi Kartikawati, istriku tercinta.

Saturday, January 29, 2011

GORENG TERIGU

Sejak dini hari kemarin hujan turun di Kurau, daerah kecil di Pulau Padang Kabupaten Meranti yang terletak di Propinsi Riau, tempatku mencari penghidupan untuk keluargaku. Lokasi yang terletak dibibir pantai ini semakin dingin kala angin laut berhembus kearah “camp” dan kantor kami, membuatku malas untuk segera mandi setelah pulang dari masjid untuk sholat subuh. Aku menarik selimut kembali setelah membaringkan badan di ranjang sambil menonton TV, mencari berita supaya tidak ketinggalan informasi diluar sana.

Diluar hujan masih juga belum berhenti sementara waktu sudah menunjukkan pukul 5.45 pagi, padahal jam 6.00 aku sudah harus berada di kantor. Jarak kamarku dengan kantor hanya sekitar 150 meter, 5 menit bila kutempuh dengan berjalan kaki atau hanya 2 menit bila aku bersepeda. Aku segera bangkit dari ranjang dan menuju kamar mandi, menghidupkan air panas dan sweerrrr…..berharap rasa malas karena dingin segera hilang setelah tersiram hangatnya air yang mengalir melalui shower.

Seperti biasa tugas pertamaku dikantor setiap hari adalah mengirimkan laporan produksi minyak kepada para boss di Jakarta. Produksi yang semakin hari semakin menurun karena berkurangnya cadangan minyak dalam reservoar di perut bumi. Aku masih ingat saat 2 tahun yang lalu aku masuk ke perusahaan ini produksi kami masih mencapai 10.000 barrel perhari, namun saat ini untuk mencapai produksi 7500 barrel perhari saja susahnya bukan main, padahal sudah dilakukan penambahan sumur-sumur baru dan juga mengoptimasikan sumur-sumur yang lama.

Saat laporan selesai aku kirimkan, hujan bukannya malah sudah berhenti namun semakin lebat mengguyur bumi Kurau. Tanah dan pohon menjadi semakin basah, bahkan ranting-ranting pohon besar tertunduk kebawah karena beratnya menahan air hujan. Monyet-monyet dan burung yang biasanya ramai disekitar camp dan kantor kami tidak ada yang tampak satupun juga, para pekerja yang biasanya mondar-mandirpun tidak ada yang beraktifitas, semua berlindung dari derasnya air hujan yang turun.

Dalam balutan udara yang dingin (walaupun AC dalam kantor sudah aku matikan) entah kenapa aku teringat dengan goreng terigu buatan ibuku, goreng terigu yang hampir setiap hari menjadi menu bekalku saat aku masih duduk di Taman Kanak-kanak. Ya, memang hampir setiap hari aku dibekali goreng terigu dengan pilihan rasa yang hanya dua saja, goreng terigu manis atau gurih.

Walaupun masih diTaman Kanak-kanak, terus terang aku terkadang malu juga dengan teman-temanku karena selalu membawa bekal yang itu-itu juga sementara kawanku selalu berganti-ganti. Aku lihat terkadang mereka membawa kue lapis, terkadang dadar gulung, donut, wafer, bolu, bolu kukus, kroket dan kue-kue yang lain. Sehingga tak jarang goreng terigu bekalku tidak aku makan dan aku bawa pulang kembali ke rumah.

Bukannya aku tidak pernah protes dengan ibuku mengenai bekalku yang tidak pernah diganti, tetapi jawaban yang diberikan oleh ibuku tidak pernah berubah, sama seperti bekalku. ”Kamu taukan kalau ibu sudah harus pergi untuk mengajar pada jam lima pagi dari rumah? Jadi pasti tau jugakan kalau ibu tidak sempat buat kue sebelum jam lima? Jam empat pagi ibu sudah harus bangun dan memasak untuk kalian sarapan serta menyiapkan lauk untuk makan siang juga. Kita tidak bisa punya pembantu karena tidak punya cukup uang untuk membayar gajinya. Ibu harus punya banyak tabungan untuk membiaya kalian sekolah, bukan asal sekolah saja...tetapi menjadi sarjana yang punya kedudukan yang baik supaya tidak harus banting tulang seperti ibu dan ayah.”

Ya, ibuku adalah seorang guru sekolah dasar ditempat yang jauh, lebih dari 60 km dari rumahku. Untuk kondisi sekarang mungkin jarak tersebut bukan jarak yang terlalu jauh karena banyaknya sarana transportasi, tetapi pada tahun 75 itu bukan jarak yang pendek karena untuk sampai di SD tempatnya mengajar ibuku harus 3 kali berganti kendaraan dengan waktu tempuh lebih dari 2 jam.

Ibuku baru sampai rumah pada jam 4 sore. Di rumah ibuku hanya sedikit beristirahat, paling 30 menit. Setelah itu beliau segera masak untuk kami makan malam, mencuci baju, menyetrika dan menyiapkan bahan untuk mengajar besok. Sungguh aktifitas yang berat. Ibuku terpaksa bekerja karena untuk membantu ayahku membiaya kehidupan kami sehingga kami bisa sekolah yang tinggi, bisa menjadi sarjana dan bisa mendapatkan pekerjaan yang baik. Ayahku adalah seorang pekerja biasa pada sebuah perusahaan BUMN, gajinya menurut ibuku tidak akan cukup untuk persiapan biaya kuliah kami nanti, biaya kuliah untuk keempat anak-anaknya.

Diluar masih juga hujan, padahal saat ini sudah jam setengah sebelas. Aku terpaksa membatalkan rencana untuk melihat lokasi-lokasi baru untuk pengeboran sumur-sumur minyak baru. Aku masih duduk dikantor, melanjutkan ingatanku tentang goreng terigu buatan ibuku. Masih bisa kurasakan rasa manis dan gurihnya goreng terigu tersebut, masih bisa juga aku ingat bentuknya yang tidak beraturan karena tidak digoreng dengan cetakan.

Ibuku seorang planner yang handal walaupun aku yakin beliau tidak pernah mengerti apa itu arti planing dalam kamus kata teknik. Mempersiapkan biaya pendidikan untuk anak-anaknya saat mereka masih kecil dan baru mulai sekolah. Membuat estimasi perhitungan biaya sekolah untuk beberapa tahun kedepan serta strategi menabung supaya nilai tabungannya tidak merosot tergerus inflasi. Dan berkomitment untuk menomor sekiankan hal-hal yang dianggapnya tidak penting atau tidak masuk dalam skala prioritas.

Masih ingat juga saat aku mulai menginjak remaja dan meminta sesuatu yang menurutnya bukan hal yang penting, jawabannya masih juga sama dengan jawaban saat aku masih di Taman Kanak-kanak “Biaya sekolah dan kuliah kalian adalah hal yang paling penting. Tugas Ibu dan Ayah adalah menyiapkan kalian menjadi sarjana yang punya pekerjaan baik, bisa menghidupi keluarga kalian dengan baik dan menyekolahkan anak-anak kalian lebih tinggi dari sekolah kalian.” Hmmm..., disamping seorang Planner yang ulung, ibuku ternyata seorang yang berkomitment tinggi.

Bayangan goreng terigu masih menari-nari dalam pikiranku, rasanya yang kenyal tetapi tidak alot, warnanya yang kecoklatan dan juga bentuknya yang pasti tidak menarik. Terbayang juga bagaimana ibuku yang harus bangun pagi untuk menggorengnya dengan susah payah karena penglihatan beliau yang sudah kurang karena gangguan pada matanya sejak masih kecil.

Aku tersenyum, dari jendela kantor kulihat hujan belum juga berhenti. Aku mengangkat telepon dan berkata pada seseorang di ruangan lain “Selamat pagi, dengan saya Area Manager....bisa minta buatkan goreng terigu? Terima kasih, resepnya tolong diambil diruangan saya 10 menit lagi, saya mau tanyakan pada ibu saya dulu...”. Aku menutup telepon dan segera menelpon ibuku untuk menanyakan resep goreng terigu tersebut sambil ingin berterima kasih untuk goreng terigunya yang telah membawaku menjadi seorang Area Manager, posisi tertinggi untuk pekerja di lapangan pada explorasi minyak dan gas bumi.

Sunday, May 10, 2009

MEMANFAATKAN PELUANG

Saat masih sekolah dulu, seperti kebanyakan anak-anak yang baru gede atau ABG sudah pasti saya juga mengalami masa pubertas dan jatuh cinta dengan kawan sekolah. Kawan sekolah yang saya taksir adalah seorang anak perempuan berwajah manis, berkulit putih dengan tinggi badan yang melebihi tinggi badan saya. Dua yang saya sebutkan barusan adalah faktor yang membuat saya jatuh hati padanya, namun faktor yang saya sebutkan belakangan adalah faktor yang membuat saya merasa minder.

Setiap pulang sekolah saya selalu berusaha untuk bisa pulang bersamanya, walau sedikitpun saya tidak pernah tahu apakah dia menyukai saya menemaninya pulang atau lebih menginginkan saya untuk segera pergi menjauh. Dan itu terus saya lakukan sampai kami tamat sekolah.

Selama masa sekolah tersebut, sedikitpun tidak ada keberanian yang saya punyai untuk mengatakan bahwa saya menyukai dia, baik mengucapkannya secara langsung maupun melalui surat seperti yang kebanyakan dilakukan oleh kawan-kawan saya yang lain. Saya terlalu takut untuk melakukan itu. Takut kalau dia marah dan akan membenci saya, tetapi anehnya sama sekali saya tidak takut bila dia menolak cinta saya.

Setelah kami lulus dan melanjutkan sekolah disekolah yang berbeda, baru saya berani mengungkapkan perasaan saya tersebut melalui sebuah kartu dengan ungkapan yang saya tulis melalui bahasa puisi, entah dia akan mengerti atau tidak...dan saya kirim melalui seorang teman tanpa menyebutkan identitas saya, dan tanpa alamat juga tentunya. Entahlah apa yang ada dipikiran saya saat itu, tapi saya memang tidak berharap dia akan membalas apa yang saya kirim, tetapi saya hanya ingin dia tahu bahwa saya menyukainya.

Beberapa tahun kemudian akhirnya saya mendapat kabar bahwa gadis manis teman sekolah saya dulu akan menikah dalam waktu 1 minggu ke depan. Kecewa? Entahlah...tapi mungkin saja saat itu saya tidak kecewa karena toh selama ini saya menduga bahwa memang dia tidak pernah menyukai saya.

Belajar dari apa yang pernah saya alami, Alhamdulillah saya bisa mengambil pelajaran dari kejadian ini. Pelajaran untuk memanfaatkan peluang sebaik mungkin dan tidak pernah ragu untuk mengambil keputusan ! Saya memang tidak pernah tahu isi hati gadis kecil tersebut, tetapi kesalahan terbesar saya adalah tidak menggunakan peluang untuk menyatakan langsung kepadanya dan menanyakan apa yang dia rasakan. Semestinya saya gunakan peluang tersebut walaupun bisa saja saya akan ditolak, namun toh kemungkinan diterima juga tetap ada. Dari dua pilihan yang akan terjadi, bukankah probabilitasnya sama? 50-50 !

Saat saya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan saya yang pertama disebuah perusahaan konstruksi pembuatan strukture baja pada bangunan bertingkat, tug boat, barge dan lain-lain, saya menghilangkan sama sekali keraguan untuk meninggalkan pekerjaan tersebut dan membayangkan bahwa akan ada tempat lain yang lebih baik. Saya tidak terpengaruh pendapat kawan-kawan sekantor yang menyayangkan keputusan saya, termasuk juga permintaan ibu dan bapak saya untuk tetap bekerja di perusahaan tersebut. This is my final decission to discover my own world!

Setelah keluar dari perusahaan tersebut, akhirnya datang juga peluang untuk bekerja pada perusahaan asing, perusahaan yang sedang membangun gas plant di Sumatera. Dan sudah tentu saya harus memanfaatkan peluang ini dengan bekerja sebaik mungkin dan menunjukkan prestasi kerja yang bagus. Banyak yang saya belum tahu karena pekerjaan sebelumnya dan pekerjaan ini cukup berbeda, dan ini mengharuskan saya untuk belajar lebih keras. Sehingga saya datang lebih awal dan pulang paling akhir. Hampir setiap malam saya menghabiskan waktu untuk membaca dokument yang berhubungan dengan project ini, dan berusaha untuk mengerti setiap detil pekerjaan yang dilakukan termasuk operational gas plant bila sudah beroperasi nanti.

Peluang kedua datang kembali sebelum project selesai, ada tawaran untuk pindah ke project lain di Pengalengan Jawa Barat. Peluang yang menawarkan gaji hampir 3 kali lipat dari gaji yang saya terima saat ini. Secara logika dan hitung-hitungan financial, sudah seharusnya saya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Namun isyarat dari tubuh saya mengatakan sebaliknya, memberi isyarat kalau ini bukan akan menjadi keputusan yang tepat untuk saat ini. Dan karena pikiran saya sudah menjalin komunikasi yang bagus dengan isyarat tubuh, saya menuruti dan menolak mengambil kesempatan ini setelah lebih dahulu menunjukan kepada boss saya bahwa sudah ada perusahaan lain yang berminat dengan saya. Ya, saya menjadikan surat penawaran dari project di Pengalengan menjadi senjata untuk meminta kenaikan gaji ... dan Alhamdulillah sukses!

Peluang ketiga datang setelah project hampir selesai, kira-kira pertengahan tahun 1998, ada tawaran dari perusahaan Amerika yang melakukan installasi pipa untuk ikut project mereka di Kamerun. Wow, bekerja diluar negeri sudah pasti akan menjadi pengalaman yang menyenangkan walaupun lokasi yang akan menjadi tempat kerja saya nantinya sudah pasti bukan ditengah kota (mana ada installasi pipa minyak ditengah kota, paling juga ditengah hutan seperti project sekarang). Hampir tak percaya bahwa mimpi saya untuk keluar negeri tinggal selangkah lagi. Kamerun I’m coming .... dan ternyata peluang ini tidak pernah terjadi karena oraang tua saya keberatan saya bekerja di Kamerun dengan alasan terlalu jauh.

Seterusnya banyak peluang-peluang yang saya rasakan dan saya usahakan untuk bisa menjadi kenyataan, dengan berbagai cara seperti dijelaskan pada postingan “Am I the lucky man?”. Termasuk yang terakhir pada saat saya memutuskan untuk pindah ke Bogor dan membeli rumah. Saya bisa mendapatkan harga rumah yang lebih murah tetapi lebih besar dan lebih bagus pada lokasi yang sama dengan rumah yang telah ditawar dengan susah payah oleh istri saya. Rumah yang dibeli secara kebetulan karena yang punya ragu-ragu untuk memutuskan menjualnya atau tidak, sehinggga tulisan “RUMAH INI DIJUAL” dan nomor telephone yang bisa dihubungi hanya dituliskan di potongan papan yang sangat kecil dan tertutup oleh daun pohon cemara bonsainya. Saya merasa beruntung karena mata saya yang liar sempat melihat tulisan di papan tersebut dan memanfaatkan peluang dengan sebaik-baiknya, tidak ragu-ragu untuk segera menghubungi pemilik rumah, menanyakan harga dan segera melakukan penawaran.

Berdasarkan kejadian yang saya alami ini membuat saya semakin yakin bahwa orang yang bisa memanfaatkan peluang dengan baik, yang tidak ragu-ragu dalam bertindak dan mengambil keputusan serta tidak pernah menyerah dan berputus asa adalah orang yang akan mengalami keberhasilan terhadap apa yang dicita-citakannya.

Cerita lain dari Thomas Alfa Edison yang menemukan bola listrik setelah percobaannya yang melebihi seribu kali telah membuktikan bahwa tetap saja ada peluang yang berhasil dari peluang-peluang lain yang belum bisa menghasilkan. Atau renungkan juga cerita Wright bersaudara yang bisa menciptakan burung besi yang bisa terbang di udara walaupun mereka berdua hanyalah seorang mekanik sepeda di Ohio, pesawat yang bisa terbang yang dibuat hanya dengan dana US$1,000. Dan yang lebih ironisnya lagi bahwa pesawat tersebut berhasil mereka udarakan hanya berselang 9 hari dari pernyataan department pertahanan Amerika setelah usaha seorang professor ternama bernama Samuel Pierpot Langley gagal untuk membuat mesin yang bisa terbang tersebut setelah menghabiskan dana sebesar US$50.000.

Dan yang paling mudah untuk dapat kita mengerti mengenai apa peluang ini adalah pada saat kita menyaksikan pertandingan sepak bola, semua gol cantik yang tercipta didasari oleh pandainya pemain yang mencetak gol mempergunakan peluang yang hanya seper sekian detik tersebut, kepandaian untuk memanfaatkan peluang yang tidak dimiliki pemain yang lain yang mungkin telah berada pada posisi yang sama.

Seandainya saat saya masih sekolah dulu bisa memanfaatkan peluang untuk menyatakan isi hati saya pada teman sekolah saya yang manis tersebut, barangkali malahan saya tidak akan pernah belajar untuk memanfaatkan sebuah peluang. Tidak pernah belajar dari apa yang pernah saya alami. Dan yang pasti, saya tidak akan pernah memiliki istri yang cantik seperti saat ini. Percayalah, it’s not over until it’s over (by SUTEDJA).

BERITA DUKA CITA

Innalillahi wa innaillaihi roji'un.
Telah meninggal dunia ayahanda teman kita Henry Raya pada hari Rabu tanggal 22 April 2009 di rumah sakit RK Charitas Palembang.
Semoga segala dosa-dosa almarhum diampuni dan segala amal ibadah beliau diterima oleh Allah SWT. Untuk keluarga yang ditinggalkan semoga mendapatkan kekuatan atas cobaan yang diberikan. Amin.

Wednesday, March 11, 2009

AM I THE LUCKY MAN?

Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan kiriman artikel dari kawan sekerja mengenai “lucky” atau keberuntungan. Artikelnya sangat menarik dan menggugah, menjelaskan bahwa keberuntungan itu bukan semata-mata kebetulan belaka, namun lebih kepada merupakan suatu upaya yang bisa dilakukan oleh siapa saja namun dengan catatan harus memulai sesuatu dengan pikiran yang positif.

Saya jadi teringat dengan ucapan beberapa kawan SMA saya yang melihat saya sebagai sosok “the lucky man”, hampir dalam segala hal menurut mereka. Banyak kawan yang menduga bahwa apa yang telah saya dapatkan saat ini lebih karena merupakan bahwa saya selalu dinaungi oleh faktor keberuntungan saja, tidak lebih. Mereka tidak menganggap bahwa apa yang saya dapatkan saat ini merupakan suatu usaha yang keras yang telah saya lakukan, karena menurut mereka masih banyak kawan lain yang jauh lebih pintar daripada saya yang seharusnya lebih sukses daripada saya, baik dari sisi karir pekerjaan, financial maupun kehidupan.

Mungkin pendapat kawan SMA saya tersebut ada benarnya, tapi mungkin juga ada yang kurang benar. Saya yakin setiap orang memang diberikan keberuntungan oleh sang Maha Pencipta sejak masa penciptaan. Misalnya keberuntungan karena dipilihkan untuk diletakkan dalam rahim seorang ibu yang tepat, keberuntungan karena dihasilkan dari sperma seorang ayah yang tepat, keberuntungan karena pilihan agama orang tua yang tepat sehingga sebelum kita bisa mengerti apa itu agamapun, namun di surat keterangan lahir kita telah tertulis agama yang sama seperti agama orang tua kita. Dan masih banyak lagi keberuntungan yang telah diberikan sebelum kita sendiri mengerti dan bisa merasakan makna keberuntungan tersebut.

Namun yang menurut saya perlu disayangkan, masih banyak kawan SMA saya yang menganggap bahwa keberuntungan itu merupakan faktor bawaan, bukan sesuatu yang bisa diciptakan atau diusahakan. Inilah mungkin persepsi yang perlu diluruskan, perlu dibenahi sehingga setidak-tidaknya kawan yang merasa belum beruntung bisa segera mendapatkan keberuntungan tersebut seperti kawan-kawan lain yang telah beruntung.

Menurut artikel kiriman kawan kerja saya tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa orang yang beruntung melakukan memang bertindak berbeda dengan mereka yang sial atau halusnya kurang beruntung. Misalnya disebutkan, dalam salah satu penelitian the Luck Project ini, Prof. Wiseman sebagai peneliti memberikan tugas untuk menghitung berapa jumlah foto dalam koran yang dibagikan kepada dua kelompok tadi. Orang-orang dari kelompok yang kurang beruntung memerlukan waktu rata-rata 2 menit untuk menyelesaikan tugas ini. Sementara mereka dari kelompok yang beruntung hanya perlu beberapa detik saja! Lho kok bisa?

Ya, karena sebelumnya di halaman ke dua Wiseman telah meletakkan tulisan yang tidak kecil berbunyi “Berhenti menghitung sekarang! ada 43 gambar di koran ini”. Kelompol kurang beruntung melewatkan tulisan ini ketika asyik menghitung gambar. Bahkan, lebih iseng lagi, di tengah-tengah koran, Wiseman menaruh pesan lain yang bunyinya: “Berhenti menghitung sekarang dan bilang ke peneliti, Anda menemukan ini, dan menangkan US$250!” Lagi-lagi kelompok sial melewatkan pesan tadi! Memang benar-benar sial atau kurang beruntung.
Singkatnya, dari penelitian yang diklaimnya “scientific” ini, Wiseman menemukan 4 faktor yang membedakan mereka yang beruntung dari yang yang kurang beruntung:

1. Sikap terhadap peluang.
Orang beruntung ternyata memang lebih terbuka terhadap peluang. Mereka lebih peka terhadap adanya peluang, pandai menciptakan peluang, dan bertindak ketika peluang datang. Bagaimana hal ini dimungkinkan?

Ternyata orang-orang yang beruntung memiliki sikap yang lebih rileks dan terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru. Mereka lebih terbuka terhadap interaksi dengan orang-orang yang baru dikenal, dan menciptakan jaringan-jaringan sosial baru. Orang yang kurang beruntung lebih tegang sehingga tertutup terhadap kemungkinan- kemungkinan baru.

Sebagai contoh, ketika Barnett Helzberg seorang pemilik toko permata di New York hendak menjual toko permatanya, tanpa disengaja sewaktu berjalan di depan Plaza Hotel, dia mendengar seorang wanita memanggil pria di sebelahnya: “Mr. Buffet!” Hanya kejadian sekilas yang mungkin akan dilewatkan kebanyakan orang yang kurang beruntung. Tapi Helzber berpikir lain. Ia berpikir jika pria di sebelahnya ternyata adalah Warren Buffet, salah seorang investor terbesar di Amerika, maka dia berpeluang menawarkan jaringan toko permatanya. Maka Helzberg segera menyapa pria di sebelahnya, dan betul ternyata dia adalah Warren Buffet. Perkenalan pun terjadi dan Helzberg yang sebelumnya sama sekali tidak mengenal Warren Buffet, berhasil menawarkan bisnisnya secara langsung kepada Buffet, face to face. Setahun kemudian Buffet setuju membeli jaringan toko permata milik Helzberg. Betul-betul beruntung.

2. Menggunakan intuisi dalam membuat keputusan.
Orang yang beruntung ternyata lebih mengandalkan intuisi daripada logika. Keputusan-keputusan penting yang dilakukan oleh orang beruntung ternyata sebagian besar dilakukan atas dasar bisikan “hati nurani” (intuisi) daripada hasil otak-atik angka yang canggih. Angka-angka akan sangat membantu, tapi final decision umumnya dari “gut feeling”.

Yang barangkali sulit bagi orang yang sial adalah, bisikan hati nurani tadi akan sulit kita dengar jika otak kita pusing dengan penalaran yang tak berkesudahan. Makanya orang beruntung umumnya memiliki metoda untuk mempertajam intuisi mereka, misalnya melalui meditasi yang teratur.

Pada kondisi mental yang tenang, dan pikiran yang jernih, intuisi akan lebih mudah diakses. Dan makin sering digunakan, intuisi kita juga akan semakin tajam.

Banyak teman saya yang bertanya, “mendengarkan intuisi” itu bagaimana? Apakah tiba-tiba ada suara yang terdengar menyuruh kita melakukan sesuatu? Wah, kalau pengalaman saya tidak seperti itu. Malah kalau tiba-tiba mendengar suara yg tidak ketahuan sumbernya, bisa-bisa saya jatuh pingsan. Karena ini subyektif, mungkin saja ada orang yang beneran denger suara.

Tapi kalau pengalaman saya, sesungguhnya intuisi itu sering muncul dalam berbagai bentuk, misalnya:

- Isyarat dari badan. Anda pasti sering mengalami. “Saya kok tiba-tiba deg-degan ya, mau dapet rejeki kali”, semacam itu. Badan kita sesungguhnya sering memberi isyarat tertentu yang harus Anda maknakan. Misalnya Anda kok tiba-tiba meriang kalau mau dapet deal gede, ya diwaspadai saja kalau tiba-tiba meriang lagi.

- Isyarat dari perasaan. Tiba-tiba saja Anda merasakan sesuatu yang lain ketika sedang melihat atau melakukan sesuatu. Ini yang pernah saya alami. Contohnya, waktu saya masih kuliah, saya suka merasa tiba-tiba excited setiap kali melintasi kantor perusahaan tertentu. Beberapa tahun kemudian saya ternyata bekerja di kantor tersebut. Ini masih terjadi untuk beberapa hal lain.

3. Selalu berharap kebaikan akan datang.
Orang yang beruntung ternyata selalu ge-er terhadap kehidupan. Selalu berprasangka baik bahwa kebaikan akan datang kepadanya. Dengan sikap mental yang demikian, mereka lebih tahan terhadap ujian yang menimpa mereka, dan akan lebih positif dalam berinteraksi dengan orang lain. Coba saja Anda lakukan tes sendiri secara sederhana, tanya orang sukses yang Anda kenal, bagaimana prospek bisnis kedepan. Pasti mereka akan menceritakan optimisme dan harapan.

4. Mengubah hal yang buruk menjadi baik.
Orang-orang beruntung sangat pandai menghadapi situasi buruk dan merubahnya menjadi kebaikan. Bagi mereka setiap situasi selalu ada sisi baiknya. Dalam salah satu tes nya Prof Wiseman meminta peserta untuk membayangkan sedang pergi ke bank dan tiba-tiba bank tersebut diserbu kawanan perampok bersenjata. Dan peserta diminta mengutarakan reaksi mereka. Reaksi orang dari kelompok kurang beruntung umumnya adalah: “Wah sial bener ada di tengah-tengah perampokan begitu”. Sementara reaksi orang beruntung, misalnya adalah: “Untung saya ada disana, saya bisa menuliskan pengalaman saya untuk media dan dapat uang”. Apapun situasinya orang yang beruntung pokoknya untung terus. Mereka dengan cepat mampu beradaptasi dengan situasi buruk dan merubahnya menjadi keberuntungan

Dari penjelesan diatas menurut saya cukup jelas bahwa keberuntungan itu ternyata bukan faktor “bawa-an” saja, tetapi lebih kepada sesuatu yang bisa diusahakan. Belum yakin? Sebenarnya dengan membaca artikel inipun anda sudah termasuk orang yang beruntung karena ternyata Prof Wiseman bahkan sudah membuka “Luck School”. Latihan yang diberikan Wiseman untuk orang-orang semacam itu adalah dengan membuat “Lucky Diary”, buku harian keberuntungan. Setiap hari, peserta harus mencatat hal-hal positif atau keberuntungan yang terjadi. Mereka dilarang keras menuliskan kesialan mereka. Awalnya mungkin sulit, tapi begitu mereka bisa menuliskan satu keberuntungan, besok-besoknya akan semakin mudah dan semakin banyak keberuntungan yg mereka tuliskan.

Ketika mereka melihat beberapa hari ke belakang Lucky Diary mereka, mereka semakin sadar betapa beruntungnya mereka, dan sesuai prinsip “law of attraction”, semakin mereka memikirkan betapa mereka beruntung, maka semakin banyak lagi lucky events yang datang pada hidup mereka.

Jadi, ternyata sesederhana itu rahasia orang yang beruntung dan ternyata semua orang juga bisa beruntung. Termasuk kita semua.

Nah, apakah kawan-kawan sudah siap untuk memulai menjadi orang yang beruntung? (by SUTEDJA)

Saturday, March 7, 2009

UJIAN AKHIR

Hampir setiap mahasiswa yang akan menghadapi ujian sarjana pastilah akan merasakan tegang, sesiap apapun dan siapapun dia. Tegang karena membayangkan pertanyaan ujian yang mungkin sulit untuk dijawab, tegang karena mungkin skripsinya salah buat (???), tegang karena takut salah ngomong atau tegang karena hal-hal lain yang belum pernah terbayangkan dan sebentar lagi akan dialaminya sendiri.

Kawan-kawan yang akan menghadapi ujian bersamaku juga tegang, termasuk aku sendiri. Pe’i kelihatan sekali wajah tegangnya, hampir setiap saat aku lihat dia membolak-balik skripsi (yang harusnya sudah hapal diluar kepala), sambil sesekali diselingi membaca doa yang panjang (dan mungkin juga sekalian membaca mantra). Dirham wajahnya masih terlihat sedih karena baru beberapa hari ditinggal ibunya menghadap yang punya kehidupan, matanya sesekali terlihat berkaca-kaca. Romas tak jauh berbeda dengan Pe’i, mulutnya komat-kamit sambil matanya melihat skripsinya yang cukup tebal. Tapi aku yakin kalau aku lebih hapal isi skripsi tersedut dibandingkan Romas karena skripsi tersebut aku yang mengetiknya. Dengan dibayar tentunya.

Harry hanya modar-mandir saja sambil tertawa melihat kawan-kawannya pada stress. Ya, jelas saja dia tidak strees saat ini karena dia belum membuat tugas akhir. Nilainya masih banyak yang harus diperbaiki karena tidak pernah berdoa sebelum ujian, mencontoh Yuri Gagarin katanya...yang bisa keluar angkasa tanpa berdoa. Padahal sok tahu saja dia, karena sebelum Yuri Gagarin keluar angkasa sebenarnya dia pernah memintaku untuk memimpin doa supaya misi mereka keluar angkasa sukses, dan itu yang tidak Harry ketahui...hehehe..

Kawan-kawan yang lainpun sama, bolak-balik kayak setrika-an sambil mengintip melalui jendela melihat kawan yang sedang diuji di dalam ruangan. Sesekali mencoba mencari jawaban sambil membuka-buka literatur yang dibawa. Semakin lama kulihat wajah mereka semakin kusut karena semakin bingung. Semakin banyak pertanyaan ujian yang mereka tidak tahu jawabannya. Semakin stress....

Aku juga sebenarnya bingung karena semakin banyak ternyata yang aku tidak tahu. Skripsiku sangat tipis, lebih tebal sedikit dari stensilan erny arrow yang sering dibawa Ruslan ke kampus, hanya terdiri dari 60 halaman saja. Perhitungan yang ada hanya ada perhitungan head pompa dan perhitungan diameter pipa saja. Benar-benar simple dan kurang berbobot sebenarnya.Tapi aku tak peduli mengenai ini. Targetku yang penting lulus , menjadi sarjana dan bisa segera bekerja, titik! Tidak peduli nilainya hanya dapat yang pas-pasan saja alias C.

Nah, saat jam 10 malam pengumuman kelulusan diumumkan kami semua kecuali tiga orang menyambutnya dengan gembira (eh..empat orang maksud saya yang tidak bergembira, yang keempatnya ya sudah pasti si Harry. Dia tidak gembira karena banyak kawan-kawannya yang lulus, sementara harapan dia mestinya banyak yang tidak lulus supaya bisa kembali ujian bersama dia). Hore...kami lulus !!!! Kami lulus ...!!!!
Thanks God ! The first difficulties in our lives has gone... (by Sutedja)

Note: Terimo kasih buat Henry yang sudah minjemin jas buat aku ujian walaupun sedikit kedodoran.