TOURING BOGOR – DIENG
(Part 3 : Pulang)
Selalu ada
kebahagiaan saat melalui jalan kecil yang berdebu
Yang berhias
hijaunya sawah dan pepohonan yang rindang
Anak-anak kecil yang
berlari riang menyambut hujan
Telah melemparkan
kita kembali kemasa silam
Setelah selesai memasukan barang-barang ke dalam box
motor dan tidur lebih awal semalam, pagi ini aku bangun dengan badan yang lebih
segar. Di samping, istriku masih tertidur pulas.
“Neng, bangun. Kita harus segera siap-siap untuk pulang
setelah sholat subuh nanti. Jangan sampai kita terlambat.” Aku berkata pelan
sambil membelai pipinya.
Istriku membuka kelopak matanya, lalu terseyum dan menatap wajahku sebelum menggeliatkan badan.
“Langsung pulang ? Kita sempat ke candi Arjuna dulukan? ”
sebuah pertanyaan meluncur dari mulutnya.
“Nggak. Kita langsung pulang saja. Nanti kalau kesiangan
kita bisa terjebak macet di jalan.” Aku menegaskan sambil memasukan
barang-barang kecil ke dalam tank bag.
Istriku diam, kemudian bangun dan menuju kamar mandi.
Setelah selesai sholat subuh, dia mengemasi mukena dan barang
perintal-perintilnya untuk dimasukan ke dalam tas yang akan diletakkan di
bagian belakang si Kuning.
Aku tau, istriku pasti sangat kecewa bila kami tidak
menyempatkan untuk ke candi Arjuna setelah kemarin pagi tidak bisa menyaksikan
sunrise di bukit Sikunir. Touring baginya bukan melulu hanya duduk di motor
untuk kemudian menikmati waktu istirahat setelah sampai tujuan sepertiku.
Selain menikmati perjalanan, dia juga ingin menikmati kawasan wisata yang ada
termasuk juga mencoba merasakan kulinernya.
Di Dieng sebenarnya banyak sekali lokasi wisata yang
jarak antara satu sama lainnya berdekatan sehingga tidak akan menghabiskan banyak
waktu untuk sampai. Namun aku selalu ingin memulai perjalanan saat hari masih
pagi karena ingin merasakan terpaan embun ke wajahku, atau berharap bisa
melihat orang-orang yang memulai kehidupannya sebelum matahari mulai
memancarkan sinar terang.
Aku mengambil sepatuku yang masih basah dan terasa begitu
dingin. Kali ini disamping mengenakan kaos kaki yang tebal, aku harus
membungkus kaki dengan kantong plastik supaya tetap hangat.
Istriku telah siap, namun mukanya terlihat begitu
memelas. Aku tau bahwa dia benar-benar sangat ingin mengujungi candi Arjuna
sebelum kami pulang.
“Ok, kita akan mampir ke candi Arjuna sebelum pulang.”
Aku berkata kemudian sambil mengenakan tali sepatu.
“Tapi kalau sampai sana nanti masih ditutup, kita
langsung pulang dan tidak akan menunggu sampai dibuka.” Lanjutku lagi.
Mendengar kalimatku, sontak ekspresi memelas istriku
hilang dan berganti dengan senyum kegembiraan.
Hanya butuh waktu 5 menit dari penginapan untuk sampai ke
lokasi candi Arjuna. Warung-warung di sekitar lokasi wisata ini sudah mulai
dibuka, namun masih terlihat sepi. Istriku segera turun dari motor dan dan
menghampiri seorang ibu yang tengah membersihkan meja di dekat warungnya.
“Candi Arjunanya sudah buka, Bu ?” Tanya istriku
Si ibu tidak menjawab, dia hanya membalikkan badannya dan
melambaikan tangan memanggil seorang pria tengah baya yang sedang meletakkan
kursi panjang di warung sebelahnya.
Pria itu menghampiri istriku dan bertanya, “Mau masuk
mbak ?”
“Iya, pak.”
“Harga karcisnya 20 ribu untuk dua orang, mbak.” Ujarnya
sambil menyodorkan 2 buah potongan karcis.
“Masuknya lewat mana, pak?”
“Lewat sana, mbak.” Ujarnya sambil menunjukkan pintu besi
berwarna biru yang tingginya hanya sekitar 60 centi meter. “Motornya tolong
diparkir di sebelah sana ya, mas.” Lelaki itu berkata kepadaku sambil menunjuk
sebuah pohon yang rindang.
Aku memarkirkan motor dan mengambil tripod, kemudian
berjalan cepat menyusul istriku. Walaupun pagi ini hujan tidak turun, tetapi
matahari belum juga muncul untuk menyingkirkan kabut yang menghalangi sinarnya.
Belum ada orang lain yang masuk ke kawasan candi Arjuna ini
ketika kami sampai dan mulai berphoto. Cahaya yang ada terlihat flat, bukan kondisi yang ideal untuk
menghasilkan photo yang bagus. Apa boleh buat, mudah-mudahan saja hasilnya
nanti masih bisa diedit dengan photoshop.
Kawasan Candi Arjuna |
Candi Srikandi dan Candi Puntadewa |
Candi Semar yang paling berdekatan letaknya dengan candi
Arjuna, candi ini merupakan candi sarana, sebagai tempat berkumpul dan menunggu
para umat sebelum masuk ke candi Arjuna.
Candi ini konon dipergunakan juga untuk gudang penyimpanan senjata dan
perlengkapan pemujaan. Candi Semar berbentuk persegi panjang membujur arah Utara-Selatan. Ukurannya lebih
kecil dari Candi Arjuna.
Istriku, Aku dan Aku di Candi Semar |
Setelah selesai berphoto, jam 06.30 aku dan istriku
kembali mulai meluncur dengan siKuning, membelah jalan asphalt yang tidak
begitu mulus dengan pemandangan kiri-kanan yang begitu cantik oleh deretan
pohon pinus dan tanaman sayur-mayur yang menghijau. Sementara di kejauhan
tampak deretan bukit yang memamerkan keindahannya. Beberapa orang penduduk terlihat
telah memulai aktifitas merawat tanaman mereka.
Akhirnya kami tiba di ruas jalan yang diberi papan
peringatan “Hati-hati Jalan Longsor”, beberapa pria berdiri di dekat pembatas
jalan darurat untuk memandu pengendara yang akan melintasi jalan tersebut.
Jalan yang tadinya memiliki 2 jalur kini menyempit dan hanya tinggal sejalur
saja akibat longsor dan pembatas jalan darurat yang dibuat. Mobil dengan bak
terbuka yang berlawanan arah dengan kami memperlambat kecepatannya saat melalui
jalan ini, sedangkan kami berhenti untuk menanti giliran.
Ketika seorang pria memberi kode untukku jalan, aku
menarik gas siKuning dengan perlahan. Jurang yang terlihat sangat dalam berada
di sebelah kananku, terlihat jelas dari bagian jalan yang longsor. Istriku
terlihat cemas, kuatir kalau motor yang kami tunggangi terpeleset dan jatuh.
Namun Alhamdulillah, kami bisa melalui jalan ini dengan selamat.
Kami kembali menikmati pemandangan indah yang terbantang
di sepanjang jalan yang kecil dan berkelok. Istriku terlihat sibuk membidikan
kamera ke kanan dan ke kiri, mencoba merekam semua keindahan tersebut. Sesekali
kami temui jalan yang berlubang dan becek, namun itu bukan kendala yang berarti
untuk motor 650 cc yang bertype enduro ini.
Melalui rute Dieng – Wanayasa – Banjarnegara –
Purbalingga, banyak kelokan dengan kodisi jalan yang tidak begitu lebar. Kadang
mendaki dan kadang menurun. Tidak sedikit juga jalan yang kami lalui mulai
rusak dan berlubang, tapi pemandangan yang disuguhkan membuat aku semakin
merasakan kebesaran Illahi.
Terlepas dari jalan kecil, kami memasuki jalan raya antar
propinsi jalur selatan. Si Kuning bisa kupacu cukup kencang, terkadang sampai
130 km/jam. Motor ini sebenarnya lumayan stabil untuk diajak berlari sampai
kecepatan 160 km jam seperti yang pernah kucoba saat di Tegal ketika touring ke
Guci. Tapi kali ini kami ingin menikmati jalan-jalan yang dilalui, aku
lebih sering hanya memacunya pada kecepatan 80-100 km/jam saja.
RM Asep Strawberry |
Kami memilih untuk makan lesehan sambil melihat hijaunya sawah
yang dibatasi oleh pagar BRC. Aku
memesan menu paket bebek bakar untuk 2 orang. Menu ini terdiri dari nasi liwet,
bebek bakar, lalapan, tahu, ikan asin dan sambal. Uang yang harus kami
keluarkan untuk menu ini plus 2 gelas kelapa muda sebesar Rp. 132 ribu rupiah
termasuk pajak 10%. Cukup murah untuk rumah makan yang eksotik dan nyaman ini.
Menu Paket Bebek Bakar |
Melihat langit yang putih mulai menjadi abu-abu, kami
segera menanggalkan jaket dan menggantinya dengan jas hujan sebelum
meninggalkan RM Asep Strawberry. Ternyata dugaan kami benar, baru berjalan 15
menit hujan mulai turun dengan derasnya.
Hujan selalu membuat perasaanku menjadi senang, namun
melalui jalur Tasikmalaya – Garut aku harus ekstra hati-hati karena banyak tikungan
yang mendekati 90 derajat dengan kondisi asphalt yang kurang bagus, belum lagi
banyak truk dan bus besar yang melintas.
Sampai memasuki daerah Ranca Ekek semua aman-aman saja,
aku menyempatkan mampir ke SPBU karena bar petunjuk bahan bakar tinggal 2 buah.
Hujan masih turun, namun tidak lagi sederas saat berada di Jalan Tasikmalaya –
Garut.
Namun memasuki km 24 jalan raya Garut – Bandung,
kendaraan yang melintas mulai bergerak
perlahan, air setinggi 20 cm mulai
menggenangi jalan. Aku berusaha selap-selip mencari celah agar siKuning bisa
lewat. Pengalaman melewati air yang lebih tinggi dari saat ini sewaktu touring
ke Kuningan dan Baturaden bulan yang lalu membuatku tidak kuatir kalau motor ini
akan mogok.
Banjir |
Beberapa kilometer kemudian, puluhan motor dan mobil yang
berada di depanku terlihat tidak bergerak sama sekali, sementara dari arah
berlawanan banyak motor yang menerobos jalur yang seharusnya hanya dipakai
untuk satu arah ini. Aku tersenyum ketika membayangkan seandainya yang
menerobos ini adalah rombongan motor besar, pasti di medsos sudah ramai caci
maki yang keluar. Namun kalau yang melakukannya motor kecil seperti ini, semua
menganggap ini adalah hal yang wajar-wajar saja. Tidak perlu ada caci maki !
Ketika melihat ada celah untuk maju, aku segera menarik
gas si Kuning perlahan melalui pinggiran jalan. Air yang berwarna coklat keruh setinggi
30 cm sudah menggenangi jalan dan merendam sepatuku. Setelah melalui mobil
angkot yang berada disebelah kanan, aku baru menyadari kalau di depan genangan
air sangat tinggi. Mobil dan motor sudah banyak yang mogok.
Sudah tidak memungkinkan untuk kembali mundur sehingga
aku paksakan untuk terus melajukan kuda besi ini. Genangan air ternyata semakin
tinggi dan menyentuh dengkulku. Pada ujung knalpot siKuning aku bisa melihat
gelembung air yang tercipta dari tekanan gas buang dan mengeluarkan suara blub…blub..blub…
“Waduh, Neng, air ternyata semakin tinggi. Gawat kalau
siKuning sampai mogok. Susah untuk mencari bengkel moge disekitar sini.” Aku
mulai merasa panik.
Istriku tidak menjawab, ketegangan kelihatannya sudah
menjalar dalam hatinya.
“Mudah-mudahan saja air tidak sampai menyentuh air intake sehingga tidak masuk ke
mesin. Kalau sampai mogok, kita harus mencari dealer Kawasaki di Bandung atau
mencari mobil storing untuk membawanya ke Bogor.” Lanjutku.
Aku terus menjaga putaran gas supaya konstan sehingga air
tidak bisa masuk ke knalpot dan tidak terhisap melalui air intake, namun motor revo yang mogok di depanku membuat petaka
itu harus terjadi. Karena aku terpaksa menurunkan putaran gas, tekanan genangan
air dijalan menjadi lebih besar daripada tekanan buang knalpot dan akibatnya
air tersebut masuk sehingga siKuning mogok.
Sia-sia aku menstarter siKuning beberapa kali karena
mesinnya tidak juga mau hidup. Istriku segera turun dan mencoba untuk mendorong
motor yang totalnya lebih dari 300 kg setelah ditambah berat badanku dan barang
bawaan.
SiKuning bergerak sangat perlahan sementara istriku
terilihat terengah-engah kecapekan, padahal bagian jalan yang bebas genangan
masih sekitar 40 meter lagi di depan. Banjir yang tingginya sampai setengah
paha menyulitkannya untuk melangkah, apalagi harus ditambah dengan mendorong
motor yang tengah mogok.
“Ya Allah….Neng, coba cari orang yang bisa bantu
mendorong.” Pintaku yang tak tega melihatnya ngos-ngosan.
“Nggak ada, Kang. Semua orang kelihatannya pada sibuk
ngurusin kendaraannya sendiri.” Suaranya terdengar terputus-putus karena
nafasnya sudah satu dua.
“Mas! Bisa bantu dorong.” Jeritku pada seorang lelaki
yang tengah berdiri di belakang mobil jazz berwarna putih yang mogok.
“Maaf, pak. Saya lagi dorong mobil ini.” Dia menjawab
singkat.
“Dik, tolong bantu dorong ya.” Aku berkata pada 2 orang
remaja tanggung yang berjalan menuju arahku.
“Baik, pak.” Mereka menjawab dengan wajah yang terlihat
girang.
Si Kuning kembali berjalan dengan perlahan membelah air
yang tinginya sekitar 80 cm, dari kaca spion aku melihat istriku berjalan
terseok-seok.
“Ayo, dik, dorong terus lebih cepat.” Aku memberi
semangat pada kedua remaja tanggung ini.
Ketika sampai di emperan sebuah toko yang tidak terkena
banjir, aku melihat puluhan motor sudah parkir di sana. Para pemiliknya sibuk
membuka busi dan berusaha mengeringkannya. Beberapa motor bisa hidup, tetapi
banyak juga yang gagal.
Aku termangu memandang si Kuning. Bila businya basah, aku
harus mengeringkannya. Namun untuk bisa membuka 2 buah busi motor ini, aku
harus mengangkat tankinya terlebih dahulu. Dan untuk bisa mengangkat tanki, aku
harus membuka fairing yang terpasang dan melepas selang bensin yang menuju injektor. Pekerjaan ini tidak susah sebenarnya, tapi akan memakan waktu yang
tidak sebentar.
Namun kalau air masuk melalui saluran hisap udara, tidak
ada jalan lain maka motor ini harus di bawa pakai mobil stroring ke bengkel dan
akan membutuhkan waktu yang berjam-jam untuk menunggu datangnya mobil storing
tersebut, belum lagi waktu perbaikannya.
Aku menunduk dan memperhatikan bekas air yang menggenangi
motor. Ada secercah harapan saat kulihat bekas air tidak sampai menyentuh letak
busi, hanya kurang beberapa centi meter saja.
Segera kutekan tombol starter. Mesin siKuning tidak
menyala dan hanya batuk-batuk saja, namun aku melihat banyak sekali air berwarna
kecoklatan yang keluar dari knalpot. Mendengar suara mesin yang kering, aku
yakin bahwa tidak ada air yang terhisap dan masuk ke mesin. Kutekan beberapa
kali tombol starter untuk mencoba menguras air yang berada dalam tabung knalpot
sampai akhirnya brrumm…brrumm…si Kuning kembali meraung dengan gagahnya.
“Alhamdulillah…ayo naik, Neng.” Ujarku penuh semangat.
Wajah istriku terlihat begitu gembira dan segera duduk di
belakangku.
Hujan terus mengguyur kami sepanjang perjalanan. Petualangan
di atas kuda besi kali ini benar-benar menguji stamina. Aku yang berharap jalur
Soekarno – Hatta di Bandung, Cimahi dan Padalarang sepi dari motor karena hujan
ternyata harus kecele. Jalur-jalur tersebut tetap ramai dengan pengendara motor
yang mengenakan jas hujan dan terlihat beraneka warna.
Menjelang magrib,
kami telah melewati kota CIanjur dan menuju Cipanas. Hujan belum juga berhenti,
kabut yang turun menambah gelap jalan yang harus kami lalui. Lampu kendaraan yang
datang dari arah depan hanya terlihat samar-samar. Mataku sangat sulit untuk
melihat batas jalan walaupun telah dibantu dengan 2 buah fog lamp yang melekat
pada crash bar siKuning.
Kabut yang menggulung tubuh kami terasa begitu dingin,
lebih dingin dari kabut yang turun saat berada di Dieng. Tangan kiriku yang
tidak mengenakan sarung tangan terasa membeku dan kram. Sulit digerakkan untuk
menarik tuas kopling. Jas hujan yang kami kenakan memang mampu membuat badan
menjadi tidak basah, namun tidak mampu mengusir udara yang sangat dingin
seperti ini. Aku mulai merasa lelah, istriku juga pasti merasakan hal yang sama
karena sejak dari Bandung dia kini lebih banyak diam.
Memasuki wilayah Puncak ternyata penderitaan belum juga
berakhir. Karena ini malam minggu, jalan di kawasan ini menjadi macet. Bau
beraneka jenis masakan dari warung di pinggir sepanjang jalan raya Puncak ini
membuat perutku semakin lapar. Namun untuk berhenti dan menikmati makan malam
bukan saatnya yang tepat karena sepatuku sudah basah sejak hujan yang turun
menjelang Nagrek dan terasa begitu dingin. Yang memenuhi pikiranku saat ini
hanyalah bisa cepat sampai di rumah untuk mandi air hangat dan segera berbaring.
Selepas dari Cisarua, jalanan benar-benar macet.
Kendaraan bergerak sangat perlahan. Aku terkadang harus mengambil bahu kiri
jalan yang tidak mulus untuk bisa melewati mobil yang tidak bergerak di
depanku. Kondisi jalan yang basah oleh air hujan cukup menyulitkan karena rawan
untuk tergelincir, apalagi side box yang terpasang membuat gerakan siKuning
menjadi tidak lincah untuk selap-selip.
Sesekali aku menggunakan jalur kanan dan melebih garis
putih bila kendaraan dari arah depan jaraknya masih jauh. Akselerasi motor
ber-cc 650 ini cukup baik, walapun saat ini dipakai berboncengan dengan muatan
side box yang penuh. Motor-motor kecil yang berjalan lambat namun memaksa
menggunakan jalur kanan sering membuatku menggelengkan kepala karena tidak
jarang mereka membuat laju kendaraan dari arah depan terpaksa berhenti.
Memasuki daerah Gadog aku bisa menarik napas lega, lalu
lintas sangat lancar. Aku menambah kecepatan siKuning lalu mengayunkannya ke
kiri dan ke kanan seperti perahu yang dipermainkan ombak, menikmati kegembiraan
setelah terbebas dari kemacetan yang begitu menjengkelkan.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 20.40 ketika kami
sampai di rumah. Sibungsu Rafif berteriak senang melihat kedatangan mamanya.
Aku melepaskan semua perlengkapan dan jas hujan yang dipakai, lalu bergegas
menuju kamar mandi untuk merasakan siraman air hangat yang mengalir dari shower
sebelum menikmati semangkok soto ayam lezat yang panas.
Di garasi aku melihat siKuning masih penuh dengan tanah
becek yang menempel dan terlihat semakin gagah. Biarlah dia terlelap malam ini setelah
menempuh jarak 980 kilometer, besok pagi pak Ano pasti akan memandikannya
sampai bersih. (TAMAT).