Saturday, April 18, 2015

Dieng Yang Indah



TOURING BOGOR – DIENG
(Part 2 : Dieng Yang Indah)

Hujan yang biasanya menyenangkanmu
Pasti akan tetap selalu menyenangkanmu
Kalau sekarang hujan membuatmu gelisah
Bersabarlah, karena dia akan digantikan dengan pelangi yang indah

Suara adzan yang berkumandang dari HP-ku terdengar keras dan memaksaku untuk membuka mata. Rasa ngantuk dan malas akibat udara dingin yang menusuk sampai ke tulang membuatku malas bergerak. Jam menunjukkan pukul 4 kurang 10 menit. Istriku menggeliatkan badannya, memaksa rasa malas untuk segera menyingkir, kemudian segera menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
“Kang, bangun. Sholat dulu baru nanti tidur lagi.” Istriku berkata sambil menarik selimut yang menutupi tubuhku.
Aku semakin meringkukkan badan seperti udang yang sedang di goreng karena dingin semakin mendekap. Baju dan celana long-john yang kukenakan ternyata hanya sedikit membantu, padahal saat kubawa ke Korea menjelang musim dingin, baju dan celana ini terasa hangat dipakai. Suhu udara di Korea waktu itu antara 0 – 8 derajat celcius.
“Ntar, masih dingin.” Aku menjawab sambil menarik kembali selimutnya.
Istriku segera sholat sendiri karena ruangan kamar yang sempit tidak memungkinkan kami untuk sholat berjamaah. Namun baru saja dia selesai sholat, suara adzan subuh berkumandang dari masjid yang berjarak sekitar 100 meter dari tempat kami menginap.
“Lho, kok baru adzan?” tanyanya heran.
“Pengingat waktu sholat di HP Akang benar kok. Saat di Bogor dan di Kurau bunyinya selalu bersamaan dengan adzan dari masjid.” Aku menjawab. “Nggak apa-apa, sholatnya nggak perlu diulang karena saat sholat tadi sudah masuk waktu subuh.” Lanjutku.
Aku bangun dan menuju kamar mandi dengan rasa malas. Ketika kran kubuka, air hangat mengalir dengan deras. Aku segera berwudhu dan sholat.
Jam sudah menunjukkan pukul 5.30 pagi ketika kami masih bermalas-malasan di tempat tidur, di luar hujan masih turun rintik-rintik yang membuat kami semakin malas untuk segera beranjak. Hujan rintik-rintik yang turun sejak tengah malam memupus keinginan untuk melihat dan mengambil photo sunrise di bukit Sikunir, padahal aku sudah bela-belain membawa kamera DSLR dengan lensanya yang cukup berat plus tripodnya yang juga berat demi mendapatkan photo sunrise di bukit Sikunir ini.
Jam 6.20 hujan akhirnya berhenti, kami segera bersiap untuk mulai menjelajahi kawasan wisata di sekitar daerah ini. Istriku sudah mengenakan mantel merah kesayangannya yang hampir saja tidak bisa dibawa karena keterbatasan bagasi motor. Mantel merah itu memang eye catching dan selalu tampak bagus bila diphoto. Aku hanya mengenakan jaket motor karena sudah tidak memungkinkan untuk ikut-ikutan membawa mantel lain hanya sekedar untuk berphoto.
Hujan yang sangat deras kemarin sejak dari Purwanegara sampai Wonosobo membuat sepatuku basah. Air mengalir masuk melalui atas sepatu yang tidak tertutup rapat oleh jas hujan. Untung aku selalu membawa sandal jepit, sehingga tidak perlu berdingin-dingin menggunakan sepatu yang basah itu. Namun menggunakan sandal jepit, selain tidak aman digunakan untuk bermotor, juga akan mengurangi estetika saat berphoto, apalagi bila harus berphoto dengan istriku yang menggunakan sepatu boot-nya.
Aku membelokkan si Kuning ke arah kanan, melewati beberapa daerah wisata di kawasan ini. Di papan penunjuk jalan aku melihat kawasan wisata candi Arjuna, kawah Sikidang, telaga Balik Kambang, candi Dwarawati dan bukit Sikunir. Pemandangan di sekitar ini terlihat sangat indah, hamparan tanaman sayur penduduk yang didominasi tanaman kentang terlihat menghijau dengan landscape yang berundak. Di kejauhan aku melihat kepulan asap putih yang membumbung tinggi, asap putih yang keluar dari cerobong pembangkit listrik tenaga panas bumi milik PT. Geo Dipa.

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi

Aku meminggirkan si Kuning dan mengambil beberapa photo untuk stock dan untuk bahan tulisan istriku. Udara dingin masih terasa pada tangan dan mukaku yang tidak tertutup, uap yang keluar dari mulut begitu jelas terlihat saat menghembuskan nafas.

Pemandangan indah di Dieng

Setelah mengambil beberapa photo, kami mencoba mencari penginapan yang “lebih layak”. Beberapa home stay yang kami lewati terlihat sama dengan penginapan yang kami tempati sekarang. Aku terus melajukan si Kuning sampai kami melihat home stay dengan arsitekturnya yang sedikit bergaya Bali.
“Coba kita tanya di sini, Kang. Kelihatannya home stay ini punya kamar yang bagus kalau dilihat dari ruang resepsionisnya.” Ujar istriku.
Setelah turun dari si Kuning, kami segera menghampiri seorang lelaki berperawakan sedang yang berada di ruang tersebut dan menanyakan apakah masih tersedia kamar untuk satu malam ini saja. Awalnya lelaki tersebut mengatakan masih ada kamar dan mengizinkan kami untuk melihat kamarnya terkebih dahulu, namun ketika melihat daftar pesanan kamar, dia meminta maaf karena ternyata hari ini sampai hari Minggu semua kamar sudah penuh. Menurutnya para tamu akan datang siang hari ini. Di beberapa home stay yang terlihat bagus juga ternyata sudah penuh. Apa boleh buat, artinya kami harus bertahan satu malam lagi di kamar yang kami tempati saat ini.
Sekarang kami melaju ke arah kawasan wisata lainnya. Di jalan yang terdapat pos retribusi, dua orang petugas memberi aba-aba untuk memperlambat laju kendaraan dan memintaku membayar karcis masuk seharga 8 ribu rupiah perorangnya.
Dieng Plateau Theater
Dieng Plateau Theater
Kawasan wisata pagi ini masih terlihat sepi, aku dan istri memutuskan untuk menuju Dieng Plateau Teater terlebih dahulu. Tempat ini berada di atas Telaga Warna di lereng bukit Sikendil desa Dieng. Sayangnya saat kami sampai tempat ini ternyata belum dibuka dan tidak ada informasi jam berapa akan dibuka, gedung theaternya juga tampak kurang terawat.  Dieng Plateau Theatre dilengkapi sarana audio visual dan film dokumenter tentang aktifitas gunung Dieng yang berisi gambaran pembentukan kawah-kawah dan juga tentang tragedi kawah Sinila yang menyemburkan gas beracun karbon monoksida pada 20 Februari 1979. Bencana itu menelan 149 korban jiwa.
Selanjutnya tujuan kami ke Telaga Warna. Di pintu masuk kawasan wisata ini kelihatan masih sepi, hanya ada 3 orang petugas yang berdiri. Jarum jam sudah menunjukan sekitar pukul 8 pagi, namun wisatawan yang berkunjung belum banyak yang datang.
“Sudah dibuka, mas?” tanyaku saat melihat loketnya masih tertutup.
“Sudah, mas. Berapa orang ?” dia balik bertanya.
“Berdua saja. Berapa ?”
“15 ribu untuk dua orang, mas.” Dia menjawab sambil menyodorkan 2 buah potongan karcis.
Aku mengeluarkan uang dan membayarnya, kemudian kami segera masuk. Datang ke lokasi wisata memang paling enak sebelum banyak wisatawan lain yang datang karena kita bisa bebas untuk berphoto di lokasi yang diinginkan tanpa merasa terganggu. Sulit untuk meminta orang lain menjauh, apalagi kalau antrian untuk berphoto di lokasi tersebut semakin banyak. Cara yang paling baik ya datang lebih awal sebelum banyak orang lain yang datang.
Melihat telaga yang membentang di hadapan kami, istriku berseru kegirangan.
“Kang, bagus banget ya. Airnya kelihatan hijau dan tenang. Barisan bukit di sana membuat pemandangan ini semakin cantik. Ayo kita photo-photo mumpung belum ada orang lain.” Dia memaksaku untuk segera menyiapkan kamera dan tripod yang kami bawa.
Pemandangan di telaga Warna pagi ini memang terlihat bagus. Airnya yang berwarna hijau terlihat tenang. Sebuah pohon dengan daun berwarna kemerah-merahan berdiri tegak di tepinya. Dibawah pohon itu ada sebuah bangku yang terbuat dari potongan pohon yang bisa dipakai untuk duduk memandang keindahan telaga warna.

Telaga Warna

Telaga Warna

Bila terkena sinar matahari, warna air di telaga Warna ini bisa terlihat biru, merah, putih, hijau dan lembayung. Warna ini mungkin dihasilkan dari polarisasi sinar matahari akibat pembiasan oleh air yang memiliki kandungan belerang yang cukup tinggi. Mungkin karena sebab itulah di telaga ini tidak ada ikan atau hewan air lainnya.

Telaga Warna
Batu Tulis Eyang Purbo Waseso
Setelah mengambil beberapa photo, kami menelusuri jalan setapak di pinggiran telaga untuk melihat lokasi wisata lainnya. Dalam kawasan telaga Warna ini terdapat beberapa kawasan wisata seperti telaga Pengilon, Batu Tulis Eyang Purbo Waseso, gua Jaran, gua Sumur Eyang Kumalasari, gua Semar dan gua Pengantin.
Gua Pengantin
Di telaga Pengilon, pepohonan yang tumbuh menghijau di atas bukit menjadi latar belakang yang cantik. Gelembung-gelembung gas dengan ukuran kecil menyembur keluar dari tanah berpasir di tepi telaga. Bau belerang cukup menyengat di sini, mungkin karena itu saat di pintu masuk tadi kami di tawari untuk membei masker seharga 5 ribu rupiah.


Telaga Pengilon

Setelah cukup puas di lokasi wisata telaga Warna ini kami keluar dan menuju lokasi parkir si Kuning. Semakin siang wisatawan yang datang semakin banyak. Motor, mobil dan bus sudah mulai memenuhi lokasi parkir. Lokasi parkir ini dikelilingi oleh warung-warung yang menjual makanan dan oleh-oleh khas Dieng seperti kripik kentang, kripik carica serta manisan carica. Melihat ada warung yang menjual bakso, aku dan istriku menunju kesitu untuk mencoba menghangatkan badan dengan semangkok bakso dan secangkir kopi. Matahari mulai bersinar mengusir kabut yang sudah mulai menipis, namun panasnya belum juga terasa.
Warung yang sederhana dan terbuat dari papan ini menjual oleh-oleh khas Dieng seperti deretan warung lainnya. Oleh-oleh itu ditumpuk dan disusun di bagian depan warung.
“Ada gorengan juga, bu?” aku bertanya
“Mendoan mau, pak?” tanyanya kembali
“Boleh.” Aku menjawab singkat
Si Ibu pemilik warung segera keluar meninggalkan warungnya, kemudian dia kembali dengan sepiring mendoan hangat. Ibu ini tidak membuat mendoan, dia mengambil dari warung lain yang ada disekitar situ. Begitu juga dengan jualan oleh-oleh, kalau disatu warung tidak ada, maka pemilik warung akan mengambilkannya dari warung yang lain. Mereka menerapkan kerjasama bisnis sederhana yang menguntungkan, satu sama lain saling mengisi kebutuhan.
Cabai Dieng
Semangkok bakso dan secangkir kopi instan sudah terhidang, ibu itu menawarkan untuk mencoba cabai khas Dieng untuk memberikan rasa pedas pada bakso. Menurutnya cabai Dieng akan berasa sangat pedas bila dihaluskan dengan bijinya, namun akan berkurang pedasnya bila dihaluskan tanpa biji. Namun pedasnya cabai Dieng tidak akan membuat sakit perut, rasa pedas hanya akan sampai dimulut saja. Aku dan istriku tertarik untuk mencoba, setengah sendok teh cabai yang telah dihaluskan tersebut aku masukan ke dalam mangkok bakso.
Ternyata benar, walaupun hanya setengah sendok teh, pedasnya luar biasa. Aku segera meneguk kopi instan yang sudah mulai terasa hangat, panasnya cepat sekali hilang karena udara di Dieng sangat dingin dan lembab. Mendoan yang dihidangkan dalam bentuk gorengan tepung segi empat ikut membantu menghilangkan rasa pedas tersebut.
Jam sudah menunjukkan pukul 09.30, istriku ingin kami melanjutkan kunjungan menuju tempat wisata lainnya. Namun karena kembali mengantuk aku ingin tidur saja, pergi ke tempat wisata lain akan dilakukan setelah sholat Jumat.
Baru saja aku terlelap, adzan tanda akan dimulainya kotbah Jumat nyaring terdengar dari masjid berukuran besar yang berjarak sekitar 100 meter dari tempat kami menginap, aku segera bangun dan mengambil air whudu untuk kemudian pergi ke masjid. Di luar penginapan kabut terlihat mulai turun, udara semakin dingin dan bukit yang biasanya terlihat dari depan penginapan mulai terlihat samar-samar sebelum akhirnya hilang tertutup kabut yang berwarna sedikit kelabu.
Menjelang sholat berakhir, hujan rintik-rintik mulai terdengar jatuh ke tanah. Mudah-mudahan saja hujan besar tidak turun. Setelah selesai sholat aku segera keluar masjid, hujan rintik-rintik ternyata mulai turun dengan rapat. Sempat kudengar seorang bapak mengatakan kepada rombongan yang sedang mempersiapkan pendakian gunung bahwa kalau hujan seperti ini akan berhenti dalam waktu yang lama, bisa sampai tengah malam katanya.
Aku berlari kecil menuju penginapan. Istriku yang sudah siap dengan mantel merahnya terlihat kecewa melihat hujan yang turun.
“Tuh, Kang. Sekarang hujankan. Kita jadi nggak bisa pergi ke candi Arjuna dan tempat lainnya.” Nadanya seperti penuh penyesalanan.
‘Ya mau gimana lagi. Tadi Akangkan ngantuk.” Jawabku sambil masuk ke dalam kamar.
Sampai jam 3 sore hujan belum juga berhenti, tidak terlalu lebat memang namun cukup untuk membuat tubuh basah dalam beberapa saat. Aku memilih tidur-tiduran dan membaca WA dari group alumni SMA sambil berharap hujan segera reda.
“Neng, kita makan duren saja yok.” Ajakku pada istriku.
“Di mana?” Dia bertanya.
“Tadi Akang lihat ada yang menjual duren di dekat warung tempat kita makan semalam. Coba Akang lihat dulu.” Aku segera keluar kamar dan menuju pintu utama penginapan.
“Masih ada, Neng. Durennya ditutup sama terpal. Nanti kita tanya saja sama ibu yang punya warung di mana tukang durennya. Kita makan duren sambi ngopi saja.” Ajakku.
Makan Durian
Kami bergegas keluar menggunakan payung, di luar hujan masih turun, kadang berhenti sebentar namun sesaat kemudian kembali deras. Kondisi cuaca yang sulit diprediksi.
Melihat kami berdiri di dekat durian yang tertutup terpal, seseorang segera berlari dari seberang jalan menghampiri kami.
“Mau beli duren, pak?” Dia bertanya.
“Iya. Berapa satunya, mas?” Tanyaku.
“Yang besar ini satunya 40 ribu, yang sedang ini 35 ribu, sedangkan yang kecil 30 ribu. Bapak bisa pilih yang mana, nanti kalau tidak enak akan saya tukar.” Ujarnya lagi.
“Yang ini saja, mas.” Aku menunjukan durian berukuran sedang yang bentuknya kelihatan bagus.
“Ini duren asli Dieng, pak. Rasanya manis.” Dia mencoba meyakinkanku.
Di sebelah barat, kabut kembali mulai turun. Bukit yang tadi terlihat samar-samar semakin tidak terlihat. Masjid di sebelah selatan yang hanya berjarak lebih kurang 50 meter dari hadapan kamipun mulai tertutup kabut. Udara dingin kembali menyergap kami.

Masjid yang tertutup kabut tebal
 Setelah selesai makan durian dan ngopi, aku dan istri kembali ke penginapan. Hujan memang tidak bersahabat dengan kami hari ini. Istriku yang biasanya menyukai hujan, kali ini terpaksa ndumel karena keinginannya mengunjungi candi Arjuna dan tempat wisata lainnya menjadi tidak kesampaian.
Sampai kami selesai sholat Isya, hujan ternyata belum juga berhenti walaupun butirannya sudah tidak serapat tadi sore. Istriku mengajak keluar untuk membeli oleh-oleh, takut tidak sempat katanya kalau menunggu hujan sampai benar-benar berhenti. Aku mengangguk.
Diperjalanan menuju tempat yang menjual oleh-oleh, kami melihat warung makan yang menjual mie ongkok. Sebenarnya sejak memasuki Wonosobo, kami melihat banyak sekali penjual mie ongkok ini. Ingin sebenarnya berhenti dan mencoba bagaimana rasanya, namun karena mengejar waktu untuk sampai di Dieng, keinginan ini tidak kami lakukan.
“Kang, setelah beli oleh-oleh nanti kita makan mie ongkok ya. Neng ingin tau seperti apa rasanya.” Pinta istriku.
Oleh-oleh
Tidak banyak oleh-oleh yang kami beli karena terbatasnya kapasitas bagasi motor. Jadi kami hanya membeli alakadarnya saja sebagai tanda bahwa kami sudah pernah sampai ke Dieng. Hanya beberapa kotak minuman purwaceng, beberapa bungkus kacang Dieng, keripik jamur dan sekotak manisan carica. Setelah itu kami segera menuju warung makan yang menjual mie ongkok.
Mie ongkok
Mie Ongkok ini ternyata mie yang terbuat dari tepung sagu dan berasal dari Wonosobo. Mie yang dimasak dengan cara mencelupkannya ke dalam air panas dengan menggunakan wadah yang terbuat dari anyaman bambu yang disebut ongkok ini disajikan dengan kuah kental yang terbuat dari saripati singkong, udang kering dan ditambahkan bumbu kacang tanah yang menyerupai bumbu kacang untuk sate.  Mie ini disajikan dengan irisan kubis dan kucai dengan tambahan kerupuk dan beberapa tusuk sate ayam. Biasanya penjual juga menyediakan tempe mendoan untuk menemani makan mie ongkok ini. Dan yang tidak akan ketinggalan adalah sambel yang terbuat dari cabai Dieng sebagai pelengkap bagi yang menyukai rasa pedas. Bagi yang akan berwisata ke Wonosono atau Dieng jangan lupa untuk mencoba mencicipi mie ongkok ini, dijamin akan merasakan sensasi rasa mie yang berbeda.
Malam semakin larut, udara yang dingin bertambah dingin. Kami segera menuju penginapan untuk mengepak barang dan beristirahat. Besok perjalanan pulang akan dilanjutkan, semoga semua akan berjalan dengan lancar.

No comments:

Post a Comment