TOURING BOGOR – DIENG
(Part 1 : Menuju Dieng)
Aku selalu
merindukan pelukanmu
Di atas motor yang
melaju kencang
Diterpa angin dan
panas yang menyengat,
Namun tak pernah
bisa memadamkan hasrat
Untuk selalu
berpetualang bersamamu
Jarum jam masih menunjukkan pukul
8.30 pagi, masih ada waktu 30 menit lagi untuk melihat-lihat keindahan wisata
Dieng dari internet sebelum meeting pagi di kantor mulai. Sudah beberapa hari ini aku
browsing tentang keindahan Dieng, termasuk route perjalanan menuju ke sana bila
menggunakan sepeda motor.
Sudah lama aku ingin ke Dieng, ingin
merasakan dinginnya udara di sana sambil menikmati pemandangan alam yang
terkenal indah. Aku mengetahui tentang Dieng pertama kali saat menonton film
yang berjudul “Kawah si Nila” pada sekitar tahun 1980-an yang diputar di TVRI
menjelang tutup tahun. Film yang menceritakan bencana meletusnya gunung Dieng
pada tanggal 20 Februari 1979 pagi yang menewaskan ratusan orang akibat gas
beracun yang dikeluarkannya. Kisah yang memilukan.
Aku menghubungi istriku melalui WA,
menyampaikan keinginan untuk toring ke Dieng. Dan seperti biasa wanita cantik
yang sudah mendampingiku hampir 17 tahun ini selalu menyambut rencana touring
dengan antusias. Istriku yang hobby menulis membutuhkan banyak bahan untuk
membuat tulisan, touring adalah salah satu kegiatan yang membuatnya semakin
produktif menulis. Sudah banyak tulisan tentang touring yang kami lakukan dia
tulis dan posting di blognya.
Wisata kuliner dan melihat
pemandangan yang indah termasuk hal yang dia sukai, namun sayang istriku belum
bisa memotret dengan baik. Sejak beberapa tahun yang lalu aku mengajarkannya
cara menggunakan kamera dan memotret dengan benar, namun dia tak pernah
berminat. Berulang kali aku berusaha menyakinkannya bahwa ini akan sangat
membantu dalam membuat tulisannya, namun berulangkali pula dia hanya bilang
memotret adalah tugas Akang saja.
Kamis tanggal 2
April jam 4 pagi hari , aku dan istriku sudah bangun. Kami segera mandi dan bersiap untuk
berangkat setelah sholat subuh nanti. Sejak semalam semua perlengkapan yang
akan kami bawa sudah siap. Pakaian untuk beberapa hari, perlengkapan sholat,
makanan dan minuman, tool kits, GPS, mini movie/camera recorder, kamera DSLR,
tripod sudah siap semua, dan bahkan sepatu dan helm-pun sudah aku bersihkan
juga. Tidak lupa charger untuk smart phone supaya tidak kehabisan daya bettery
di jalan juga sudah kupasang di motor ber-cc 650 ini.
Hujan gerimis masih turun sejak dini
hari, namun aku memutuskan untuk tidak memakai jas hujan karena ingin mencoba ketahanan
jaket touring dan sepatu yang baru kubeli 2 minggu lalu terhadap hujan yang
tidak terlalu deras seperti ini. Jaket buatan lokal tersebut bahannya cukup
bagus dengan jahitan yang rapi, harganyapun lumayan murah bila dibandingkan
dengan jaket buatan luar.
Jam 05.10 aku telah berada diatas si
Kuning yang mesinnya sudah menyala, namun istriku belum juga muncul dari dalam
rumah. Aku bunyikan klaskson supaya dia segera bergegas. Suara yang keluar dari
klakson hela yang bertengger di sisi kiri dan kanan cukup keras, apalagi di
pagi yang masih sepi seperti ini.
“Iya,
sebentar !” Jawabnya dari dapur
“Cepetan,
nanti kalau kita kesiangan sampai Cimahi bisa terjebak macet.” Jeritku dari
atas si Kuning.
Jalur
selatan yang paling menakutkan bagiku adalah daerah Cimahi dan jalan Soekarno
Hatta di Bandung. Kemacetan di daerah ini menjadi momok yang mengerikan karena pada
jam 6.30 sampai 08.00 pagi ribuan motor tumpah ke jalan dengan berbagai
kepentingan. Sebagian besar mungkin adalah para pekerja yang akan menuju kantor
atau tempatnya bekerja. Perjalanan di daerah ini bisa menjadi tersendat-sendat
atau malah diam ditempat untuk beberapa lama, saling berdesakan dan saling
pepet. Demikian juga pada sore hari saat bubar jam kantor, bahkan kemacetan di
daerah ini bisa sampai jam 9 malam. Wuih, benar-benar harus mempunyai ekstra
kesabaran, apalagi menghadapi motor-motor kecil yang main potong seenaknya saja
tanpa memberi aba-aba saat mau belok ke kiri atau ke kanan.
Tidak
lama istriku keluar dari dapur dan menuju ke arahku dan si Kuning, dia segera
naik dan duduk di atas jok motor yang lebih sering kupilih untuk menemani
touring kami saat tanpa rombongan di banding motor lain yang ber-cc 1800. Si
Kuning menurutku lebih bisa diandalkan hampir di segala medan. Saat touring ke
Palembang setahun yang lalu, si Kuning sudah teruji di jalan tanah yang licin,
jalan yang rusak parah dan bergelombang, jalan gravel dan bahkan sempat melalui
jalan yang berlumpur sehingga terpaksa di dorong oleh beberapa orang.
Saat
short touring ke Kebun Bunga dan waduk Cirata bulan kemarinpun si Kuning
aman-aman saja saat diajak melewati jalan menanjak yang licin dan rusak.
Handling motor ini mudah dilakukan dan nyaman. Sungguh beda dengan si Silvy
yang bertubuh bongsor yang hanya nyaman untuk jalan yang mulus saja.
Jam
05.15 si Kuning mulai bergerak perlahan, membelah gerimis yang masih turun dan
hawa dingin yang tidak lagi sampai ke tubuhku karena tertutup jaket. Suara
burung gereja yang biasanya sudah mulai ramai, tidak terdengar pagi ini.
Mungkin mereka masih terlelap dibalik plafon sudut-sudut rumah di cluster ini.
Sampai
daerah Puncak, hujan gerimis belum juga mereda. Kabut mulai turun menyentuh
asphalt yang basah dan hitam. Tanaman teh yang tumbuh di sepanjang pinggir jalan
membuat pemandangan di daerah ini semakin cantik. Apalagi kelap-kelip ribuan
lampu yang terlihat jauh di bawah semakin membuat suasana pagi ini semakin
syahdu. Aku membayangkan ketiga anakku yang masih tertidur pulas, kuatir mereka
akan terlambat berangkat ke sekolah karena malas bangun akibat udara yang
dingin.
sarapan bubur di Cianjur |
Dari
Puncak menuju Cianjur jalan tidak terlalu ramai oleh kendaraan, aku melajukan
kecepatan si Kuning antara 80 – 100 km/jam. Jam 6 kurang, kami sudah sampai di
Canjur. Ketika membayangkan kelezatan bubur ayam Cianjur, aku segera menawarkan istriku untuk
sarapan di kota ini.
Rumah
Makan Pribumi tempat kami biasa makan bubur ayam ternyata tutup karena bangunannya tengah
dibongkar, mungkin akan direnovasi. Melihat ada penjual bubur lain dengan tenda
yang cukup besar, aku segera menghentikan si kuning disini. Bubur ayam Cinjur
terkenal kelezatannya, apalagi bila disajikan dengan potongan ati dan ampela yang ditumis.
Saat tidak ada touring yang jauh, hampir setiap hari Sabtu aku dan istriku
"manasin" motor ke Cianjur hanya untuk sarapan bubur ayam dan kemudian kembali lagi ke
Bogor. Biasanya kami berangkat jam 5 pagi dan pada jam 7.30 kami sudah berada di
rumah kembali.
Setelah
selesai sarapan, aku kembali melajukan si Kuning. Jalan sudah mulai ramai,
hujan gerimispun sudah mulai berhenti sejak kami menjelang memasuki Cianjur.
Jaket yang kukenakan ternyata cukup tangguh untuk menahan hujan gerimis yang
cukup rapat, demikian juga sepatuku. Puluhan motor yang dikendarai para pekerja
pabrik yang berada di kawasan jalan Cianjur – Padalarang tampak mulai memenuhi
jalan.
Menjelang
meninggalkan Padalarang menuju Cimahi, jalan mulai padat oleh aneka jenis
kendaraan. Si Kuning mulai berjalan tertatih tatih membelah kemacetan. Motor,
mobil kecil sampai truck memenuhi jalan ini. Berdesakan-desakan satu sama lain
dan bergerak sangat perlahan. Bau karbon monoksida yang dikeluarkan oleh asap
knalpot menyengat keras menembus balaklava yang aku gunakan.
Di bundaran
Jl Soedirman – Jl. Elang Raya saat hendak masuk ke jalan Soekarno – Hatta ada
razia kendaraan yang dilakukan polresta Bandung, semua motor yang berada di depan
motorku diminta untuk menepi. Salah seorang polisi yang berdiri di tengah jalan
memberikan kode kepadaku untuk juga ikut menepi, namun entah kenapa seorang
kawannya yang berdiri di samping si Kuning memberikan kode kepada temannya
tersebut untuk memintaku agar tetap jalan.
“
Kenapa kita disuruh tetap jalan, Kang ?” Tanya istriku
“
Nggak tau. Mungkin dia sudah percaya kalau surat-surat motor kita lengkap “
Jawabku sekenanya.
Memasuki
Jl. Soekarno – Hatta, kendaraan masih bertumpuk, terutama disemua perempatan
traffic light. Matahari yang sudah mulai meninggi membuat tubuhku mengeluarkan
keringat dalam balutan jaket yang kupakai. Aku meminta istriku untuk
menjulurkan selang water bag, kemudian menyedot air minum yang berada dalam
ransel di belakang punggungku. Water bag yang aku bawa ini mempunyai kapasitas
2 liter, jadi tidak terlalu berat untuk menggendongnya selama perjalanan.
Dengan menggunakan water bag, kami tidak perlu berhenti bila merasa haus karena
minum bisa kami lakukan sambil duduk di atas motor yang sedang melaju.
“Mau
kemana, mas ?” Tiba-tiba seorang pria berumur 30 tahunan dengan bola mata sebelah kanan
yang terlihat berwarna abu-abu menyapaku. Dia menjajari si Kuning dengan
Kawasaki ninja 250 cc berwarna merah.
“Mau
ke Jogja ya ?” lanjutnya lagi
“Nggak.
Kami mau ke Dieng.” Jawab istriku
“Oh.
Saya besok ke berangkat ke Jogja.” Dia menambahkan.
“Ada
acara apa?” aku bertanya. Dia lalu menyebutkan sebuah event yang terdengar
tidak begitu jelas.
“Ok.
Saya duluan ya. Hati-hati di jalan dan selamat touring. ” Dia mengakhiri percakapan
sambil mendahului kami.
Kejadian
seperti ini sering kami temui, sapaan dari sesama biker yang mempunyai hobby
menjelajah dengan motornya. Ada brotherhood yang tertanam, kami menyebutnya
saudara satu asphalt. Walaupun dari komunitas yang berbeda, namun bila ada
biker yang mengalami kesulitan saat melakukan touring, biasanya biker yang ada
di daerah tersebut akan dengan senang hati memberikan bantuan.
Di
Jl. Soekarno – Hatta yang memiliki jalur cepat, aku segera masuk ke jalan
tersebut. Si Kuning aku pacu cukup kencang, meliuk-liuk diantara mobil-mobil
yang berada di jalan tersebut. Jalur cepat ini sebenarnya hanya dikhususkan
untuk mobil saja, untuk motor berada di jalur kiri, namun untuk motor besar
polisi selalu membiarkannya. Motor kecil hanya boleh masuk ke jalur ini bila
hendak berputar arah.
Keluar
dari Jl. Soekarno – Hatta kami masuk ke daerah Cibiru, lalu lintas yang biasanya
ramai pagi ini terlihat sedikit lengang. Di pertigaan jalan menuju Jatinangor
dan Garut, aku membelokkan si Kuning ke kiri untuk mengambil arah ke Cileunyi.
Di
Cileunyi kendaraan tidak begitu ramai seperti biasanya, si Kuning bisa aku
lajukan dengan cepat. Namun baru beberapa saat tiba-tiba di depan aku lihat
kemacetan yang luar biasa. Jalan yang dicor beton tersebut tergenang oleh air
setinggi 10 cm, aku menduga kemacetan diakibatkan oleh banjir.
“
Wah, Neng. Kelihatannya ada banjir di depan sana. Gawat ! Kita bisa terjebak
macet di sini. Dalam perhitungan normal kita akan sampai di Dieng jam 7 malam,
tapi kalau macet seperti ini Akang tidak tau akan sampai jam berapa.” Ujarku
pada istriku.
“
Mudah-mudahan saja nggak, Kang.” Jawab istriku
Aku
terus melajukan si Kuning dengan perlahan, mencari celah yang bisa kulalui. Di
sebelah kanan, aku melihat dua orang yang memberikan tanda untuk masuk ke dalam
jalur berlawanan yang pembatasnya terbuka. Beberapa kendaraan segera masuk ke
jalur tersebut, aku mengikutinya. Kendaraan lain dari arah berlawanan segera
memberikan jalan untuk kami yang melalui jalur ini. Saat aku menoleh ke jalur
kiri ternyata hampir semua kendaraan tidak bergerak sama sekali
sepanjang lebih kurang 500 meter. Kasihan sekali.
Beberapa
puluh meter kemudian kami melihat penyebab kemacetan adalah segerombolan
orang-orang berkaos merah yang tengah melakukan orasi di depan sebuah kantor.
Mereka berteriak-teriak dengan menggunakan pengeras suara, entah sedang
menuntut apa dan kepada siapa. Yang jelas perbuatan mereka telah menyebabkan
kemacetan yang panjang.
kemacetan di Cipacing |
Ternyata
yang membuka jalan melalui jalur kanan tadi adalah polisi, pantas saja
kendaraan dari arah berlawanan mudah sekali memberi kami jalan. Melewati batas
kemacetan, kami diminta untuk kembali masuk ke jalur kiri. Lalu lintas ternyata
cukup sepi. Aku kembali melajukan si Kuning dengan gembira karena kami hanya
tertahan sekitar 10 menit saja.
Aku
membelokkan si Kuning memasuki SPBU di Ranca Ekek untuk beristirahat. SPBU ini
selalu menjadi tempat pemberhentian istirahat saat touring dengan rombongan MBC
Bogor. Areanya yang luas dan nyaman serta adanya mini market membuat tempat ini
menjadi pilihan untuk berhenti. Toiletnya juga cukup bersih.
Aku
menepikan si Kuning di dekat tempat pengisian air radiator, mematikan mesinnya
dan mengeluarkan standard samping. Si Kuning terlihat cukup kotor karena
gerimis yang turun membuat tanah menjadi becek dan menempel. Charger HP yang kupasang
bekerja dengan baik, HP yang kujadikan GPS daya batterynya bertambah. GPS
beneran yang terpasang di belakang wind shield malah tidak aku gunakan karena ternyata petanya belum update.
Setelah
dari toilet, aku membuka side box dan mengeluarkan roti gandum berserta selai
strawberry yang kami bawa. Karena lupa membawa pisau roti, aku menggunakan jari
telunjuk untuk mengoleskan selai tersebut. Hehehe…saat adventure begini kita
harus bisa menggunakan sesuatu dengan maksimal, lagian jariku juga sudah bersih
setelah cuci tangan di toilet tadi.
Aku
memakan roti gandum dengan lahap, istriku juga memakannya. Susana seperti ini
bisa membuat hubungan suami istri semakin kuat karena merasakan kebersamaan
dalam perjalanan yang belum tau ceritanya akan bagaimana. Sejak tahun 2010
istriku selalu mendampingiku saat touring. Awalnya dia hanya ingin membuktikan
ceritaku tentang keindahan pemandangan yang kulalui, sensasi saat miring di
tikungan atau nikmatnya kuliner di tempat yang aku singgahi. Ternyata sejak itu
dia ketagihan, kemanapun tujuan touring dia selalu ikut. Kalaupun tidak ada
agenda touring club, kami akan melakukannya berdua saja untuk jarak yang jauh
ataupun dekat.
“Kang,
tolong photoin dulu untuk bahan tulisan.” Pinta istriku sesaat sebelum kami
meninggalkan SPBU. Aku meraih HP yang disodorkannya dan mengambil beberapa
frame sambil memberikan sedikit arahan supaya dia berdiri diposisi yang bagus
untuk diphoto.
di SPBU Ranca Ekek |
Perjalanan
kami lanjutkan. Jalan yang berkelok dengan rumah dan pepohonan yang rindang
di sepanjang kiri-kanan jalan menyerupai lukisan yang menarik. Udara yang mulai
beranjak panas tidak terasa karena hembusan angin yang dihasilkan dari motor
yang kupacu cukup kencang bisa masuk ke dalam jaket melalui lubang ventilasinya
yang bisa dibuka tutup karena menggunakan resliting disamping memang bahannya
sendiri tidak membuat gerah.
Memasuki
daerah Tasikmalaya, tiba-tiba aku dikejutkan dengan seorang wanita kurang waras
yang tidak berbusana yang seenaknya saja menyeberang jalan. Sontak secara reflek
aku menginjak pedal rem belakang dan menarik tuas rem depan supaya kecepatan si
Kuning segera berkurang. Istriku terkejut sehingga tubuhnya terdorong ke depan
dan menekan punggungku.
“Ada
apa, Kang ?” Tanya istriku
“Tuh,
ada cewek bugil nyeberang sembarangan.” Aku terkekeh sambil menunjuk wanita
yang sudah berdiri di pinggir jalan tanpa rasa bersalah itu.
Sekitar
jam 12.45 kami berhenti di RM Pringsewu yang sudah masuk ke dalam wilayah propinsi Jawa
Tengah. Sudah beberapa kali kami makan disini saat touring. Rumah makan yang
iklannya sejak puluhan kilo meter sebelum lokasi ini memiliki tempat parkir
yang luas, mushola, wifi, tempat bermain anak, pijat electric dan ruang makan
di luar yang cukup nyaman. Menu yang disajikanpun lumayan enak. Kali ini kami
memilih menu paket ayam bakar untuk 2 orang yang terdiri dari nasi, ayam bakar,
lalapan, sambel, kangkung cah tauco, buah serta minuman lemon tea dan es
kelapa. Entah karena lapar atau memang enak, kangkung cah tauconya terasa mak
nyus di dalam mulutku.
menu ayam bakar di RM Pringsewu |
Setelah
sholat dan beristorahat, tepat jam 14.00 kami kembali melanjutkan perjalanan.
Lalu lintas cukup lancar saat
kami melewati Wanareja, Cilacap, Majenang, Lumbir, Wangon, lalu masuk ke daerah
Banyumas. Di Somagede, kami disuguhi pemandangan sawah hijau yang cantik di
kiri-kanan jalan, sementara langit terlihat terus meredup dan awan kelabu mulai
tampak semakin jelas.
Setelah
melewati Banjarnegara, tepatnya di Jl. Raya Merden Purwanegara butir-butir hujan
mulai turun. Rintik yang awalnya kecil kemudian berubah menjadi butiran cukup besar
dan rapat. Jarum jam di HP-ku menunjukkan pukul 16.20 ketika kami menepi di
teras sebuah toko yang tutup. Beberapa pengendara motor kecil lainnya pun ikut
menepi.
Aku
mengeluarkan jas hujan dari kantong plastic dan menyodorkan ke istriku sambil
mengamati langit di atas jalan yang akan kami lalui.
“Kita
harus pakai jas hujan, Neng. Hujan kelihatannya akan turun di sepanjang jalan
yang akan kita lalui. Langit di sebelah sana merata gelapnya. Jaket yang
sekarang kita pakai tidak akan mampu menahan butiran air hujan sederas ini.”
Ujarku.
Setelah
mengenakan jas hujan dan menyimpan jaket, si Kuning mulai bergerak menembus
derai hujan yang sangat deras. Bunyi butir-butir hujan yang menimpa kaca helmku
terdengar keras. Jalanan mulai terihat gelap, fog lamp yang terpasang di crash
bar si Kuning hanya mampu menyinari jarak beberapa meter ke depan saja. Aku
memperlambat lajunya karena takut slip akibat terjadi hydroplaning.
Hampir 6
bulan yang lalu aku terpaksa menjalani operasi tulang belakang akibat terjatuh
dari si Putih saat aku pacu ditikungan dalam kondisi hujan. Tikungan yang
sebelumnya paling nyaman saat dipakai miring-miring kali ini menjadi petaka.
Dengkul kiriku harus menerima 6 jahitan akibat luka yang menganga dan terlihat
seperti bolong, begitu juga dengan mata kaki bagian dalam. Karena keesokan
harinya luka ini membengkak, membuatku tidak bisa berjalan dengan normal. Saat
akan ke kamar mandi aku harus loncat-loncat dengan menggunakan kaki kanan.
Namun ketika aku akan mengambil posisi untuk duduk di toilet, aku salah
gerakan. Pinggangku yang baru 2 minggu di therapy di Bandung karena HNP yang
cukup parah kembali menjadi sakit. Sakit itu ternyata semakin sakit pada
keesokan harinya, dan di hari ke 3 membuatku sangat tidak berdaya. Bergerak
sedikit saja butir-butr keringat akan mengalir dari dahiku karena sakit yang
teramat sangat, sehingga akhirnya aku memutuskan untuk menerima masukan dokter
untuk dilakukan operasi. (kisah lengkapnya bisa dibaca disini).
Aku
sangat menikmati hujan, apalagi bila sedang mengendarai motor seperti ini. Saat
aku kecil, aku hanya bisa menikmati hujan dari kaca jendela saja karena ibuku
tidak pernah membolehkan kami, aku dan saudaraku, bermain hujan-hujanan seperti
kebanyakan teman-temanku. Melihat butir-butir hujan yang jatuh ke tanah lalu
membentuk gelembung-gelembung dan terbawa air hujan yang mengalir dan akhirnya pecah
sungguh sesuatu yang menyenangkan. Aku bisa berlama-lama memandangnya sampai
hujan berhenti.
Aku
tersenyum, kali ini aku bebas menikmati hujan. Menikmati butir-butirnya yang
jatuh ketubuhku yang dibalut jas hujan berwarna ungu dan mendengarkan bunyi
motorku yang semakin halus karena udara menjadi dingin akibat hujan yang turun
ini. Istriku yang duduk di belakang tidak terdengar suaranya, namun aku yakin bahwa
dia tengah menikmati guyuran hujan ini karena diapun mengalami masa kecil yang
sama denganku, tidak pernah diizinkan untuk bermain hujan !
Menjelang
magrib atau sekitar jam 17.20 kami tiba di Wonosobo, langit terlihat semakin
gelap karena hujan dan menjelang malam. Beberapa hari sebelum berangkat, aku
browsing mencari penginapan di Dieng. Namun hasil pencarian hanya menemukan
home stay saja, tidak ada hotel di sana. Mengingat Wonosobo yang terletak tidak
jauh dari Dieng, aku menawarkan istriku untuk menginap di Wonosobo saja, namun
dia tidak mau karena tidak yakin kalau di Dieng tidak ada hotel. Dia ingin
segera menikmati malam di Dieng, merasakan hawa dingin dan segarnya udara di
daerah yang cukup tinggi.
Memasuki
jalan menuju Dieng, pemandangan yang indah terhampar di kiri-kanan jalan
walaupun cahaya yang menerangi remang-remang. Lembah dan bukit saling bertautan
seolah hendak menjangkau langit yang temaram. Hujan ternyata tidak turun di
Dieng sore ini. Awan putih yang mulai terlihat gelap berarak rapi dan bergerak
perlahan. Bulan yang sudah menampakkan diri, terlihat begitu bulat dengan
sinarnya yang terang di antara siluet bukit-bukit yang kokoh. Pemandangan Dieng
yang indah, negerinya para Dewa.
Jalanan
terlihat begitu temaram, hanya sinar bulan dan lampu si Kuning saja yang menerangi. Melintasi
jalan kecil yang mendaki dan berkelok seperti ini harus hati-hati, apalagi ada
rambu peringatan jalan longsor yang yang dipasang untuk mengingatkan para
pengendara kendaraan.
Jam
18.04 kami sampai di Dieng, kami celingukan kiri-kanan mencari tempat
penginapan yang cukup layak untuk membuat tubuh segar kembali setelah menempuh
13 jam perjalanan. Beberapa home stay yang sempat kami lihat kondisinya tidak
menimbulkan minat untuk membaringkan tubuh di situ. Ternyata memang benar, di
Dieng sulit untuk menemukan hotel.
Setelah
melewati beberapa hotel, kami melihat ada penginapan yang bertuliskan “hotel”
dan terlihat cukup bagus. Dinding bangunannya yang terbuat dari anyaman bambu
terlihat artistik, sehingga tanpa memeriksa kondisi kamarnya dengan baik aku
langsung membayarnya untuk 2 malam seharga Rp. 300 ribu.
kamar home stay di Dieng |
Namun
begitu kami masuk dan meletakkan barang, kami baru sadar ternyata kamar ini
kondisinya lebih jelek daripada kamar-kamar yang kami lihat sebelumnya. Tempat
tidurnya yang terbuat dari bamboo sudah reyot karena anyamannya sudah pada
lepas. Karpetnya terlihat kotor. Dan yang paling parah adalah jendelanya yang
tidak bisa ditutup rapat dengan tirai yang tembus pandang dari celah yang
terbuka sehingga harus aku tutup dengan menggunakan selimut supaya ‘bulan madu”
bisa berjalan lancar. Hehehe… Namun kami masih beruntung karena kamar mandinya
bersih dan air hangatnya mengalir lancar. Bayangkan saja kalau tidak ada air
panas dan harus mandi pada jam 4 pagi dengan air yang bersuhu 6-10 derajat
celcius…bbrrrrr…
“Besok
kita cari penginapan yang lebih bagus ya, Neng.” Aku berkata pelan pada istriku
“Mudah-mudahan bisa kita dapatkan.”
Istriku
tidak menjawab, hanya tangannya saja yang menyentuh pipiku untuk kemudian
segera terlelap. (bersambung ke Part 2).
No comments:
Post a Comment