Thursday, April 16, 2015

Menuju Dieng




TOURING BOGOR – DIENG
(Part 1 : Menuju Dieng)

Aku selalu merindukan pelukanmu
Di atas motor yang melaju kencang
Diterpa angin dan panas yang menyengat,
Namun tak pernah bisa memadamkan hasrat
Untuk selalu berpetualang bersamamu
           
            Jarum jam masih menunjukkan pukul 8.30 pagi, masih ada waktu 30 menit lagi untuk melihat-lihat keindahan wisata Dieng dari internet sebelum meeting pagi di kantor mulai. Sudah beberapa hari ini aku browsing tentang keindahan Dieng, termasuk route perjalanan menuju ke sana bila menggunakan sepeda motor.
           Sudah lama aku ingin ke Dieng, ingin merasakan dinginnya udara di sana sambil menikmati pemandangan alam yang terkenal indah. Aku mengetahui tentang Dieng pertama kali saat menonton film yang berjudul “Kawah si Nila” pada sekitar tahun 1980-an yang diputar di TVRI menjelang tutup tahun. Film yang menceritakan bencana meletusnya gunung Dieng pada tanggal 20 Februari 1979 pagi yang menewaskan ratusan orang akibat gas beracun yang dikeluarkannya. Kisah yang memilukan.
          Aku menghubungi istriku melalui WA, menyampaikan keinginan untuk toring ke Dieng. Dan seperti biasa wanita cantik yang sudah mendampingiku hampir 17 tahun ini selalu menyambut rencana touring dengan antusias. Istriku yang hobby menulis membutuhkan banyak bahan untuk membuat tulisan, touring adalah salah satu kegiatan yang membuatnya semakin produktif menulis. Sudah banyak tulisan tentang touring yang kami lakukan dia tulis dan posting di blognya.
          Wisata kuliner dan melihat pemandangan yang indah termasuk hal yang dia sukai, namun sayang istriku belum bisa memotret dengan baik. Sejak beberapa tahun yang lalu aku mengajarkannya cara menggunakan kamera dan memotret dengan benar, namun dia tak pernah berminat. Berulang kali aku berusaha menyakinkannya bahwa ini akan sangat membantu dalam membuat tulisannya, namun berulangkali pula dia hanya bilang memotret adalah tugas Akang saja.
           Kamis tanggal 2 April jam 4 pagi hari , aku dan istriku sudah bangun. Kami segera mandi dan bersiap untuk berangkat setelah sholat subuh nanti. Sejak semalam semua perlengkapan yang akan kami bawa sudah siap. Pakaian untuk beberapa hari, perlengkapan sholat, makanan dan minuman, tool kits, GPS, mini movie/camera recorder, kamera DSLR, tripod sudah siap semua, dan bahkan sepatu dan helm-pun sudah aku bersihkan juga. Tidak lupa charger untuk smart phone supaya tidak kehabisan daya bettery di jalan juga sudah kupasang di motor ber-cc 650 ini.
           Hujan gerimis masih turun sejak dini hari, namun aku memutuskan untuk tidak memakai jas hujan karena ingin mencoba ketahanan jaket touring dan sepatu yang baru kubeli 2 minggu lalu terhadap hujan yang tidak terlalu deras seperti ini. Jaket buatan lokal tersebut bahannya cukup bagus dengan jahitan yang rapi, harganyapun lumayan murah bila dibandingkan dengan jaket buatan luar.
           Jam 05.10 aku telah berada diatas si Kuning yang mesinnya sudah menyala, namun istriku belum juga muncul dari dalam rumah. Aku bunyikan klaskson supaya dia segera bergegas. Suara yang keluar dari klakson hela yang bertengger di sisi kiri dan kanan cukup keras, apalagi di pagi yang masih sepi seperti ini.
          “Iya, sebentar !” Jawabnya dari dapur
          “Cepetan, nanti kalau kita kesiangan sampai Cimahi bisa terjebak macet.” Jeritku dari atas si Kuning.
          Jalur selatan yang paling menakutkan bagiku adalah daerah Cimahi dan jalan Soekarno Hatta di Bandung. Kemacetan di daerah ini menjadi momok yang mengerikan karena pada jam 6.30 sampai 08.00 pagi ribuan motor tumpah ke jalan dengan berbagai kepentingan. Sebagian besar mungkin adalah para pekerja yang akan menuju kantor atau tempatnya bekerja. Perjalanan di daerah ini bisa menjadi tersendat-sendat atau malah diam ditempat untuk beberapa lama, saling berdesakan dan saling pepet. Demikian juga pada sore hari saat bubar jam kantor, bahkan kemacetan di daerah ini bisa sampai jam 9 malam. Wuih, benar-benar harus mempunyai ekstra kesabaran, apalagi menghadapi motor-motor kecil yang main potong seenaknya saja tanpa memberi aba-aba saat mau belok ke kiri atau ke kanan.
          Tidak lama istriku keluar dari dapur dan menuju ke arahku dan si Kuning, dia segera naik dan duduk di atas jok motor yang lebih sering kupilih untuk menemani touring kami saat tanpa rombongan di banding motor lain yang ber-cc 1800. Si Kuning menurutku lebih bisa diandalkan hampir di segala medan. Saat touring ke Palembang setahun yang lalu, si Kuning sudah teruji di jalan tanah yang licin, jalan yang rusak parah dan bergelombang, jalan gravel dan bahkan sempat melalui jalan yang berlumpur sehingga terpaksa di dorong oleh beberapa orang.
           Saat short touring ke Kebun Bunga dan waduk Cirata bulan kemarinpun si Kuning aman-aman saja saat diajak melewati jalan menanjak yang licin dan rusak. Handling motor ini mudah dilakukan dan nyaman. Sungguh beda dengan si Silvy yang bertubuh bongsor yang hanya nyaman untuk jalan yang mulus saja.
           Jam 05.15 si Kuning mulai bergerak perlahan, membelah gerimis yang masih turun dan hawa dingin yang tidak lagi sampai ke tubuhku karena tertutup jaket. Suara burung gereja yang biasanya sudah mulai ramai, tidak terdengar pagi ini. Mungkin mereka masih terlelap dibalik plafon sudut-sudut rumah di cluster ini.
         Sampai daerah Puncak, hujan gerimis belum juga mereda. Kabut mulai turun menyentuh asphalt yang basah dan hitam. Tanaman teh yang tumbuh di sepanjang pinggir jalan membuat pemandangan di daerah ini semakin cantik. Apalagi kelap-kelip ribuan lampu yang terlihat jauh di bawah semakin membuat suasana pagi ini semakin syahdu. Aku membayangkan ketiga anakku yang masih tertidur pulas, kuatir mereka akan terlambat berangkat ke sekolah karena malas bangun akibat udara yang dingin.

sarapan bubur di Cianjur
       Dari Puncak menuju Cianjur jalan tidak terlalu ramai oleh kendaraan, aku melajukan kecepatan si Kuning antara 80 – 100 km/jam. Jam 6 kurang, kami sudah sampai di Canjur. Ketika membayangkan kelezatan bubur ayam Cianjur, aku segera menawarkan istriku untuk sarapan di kota ini.
       Rumah Makan Pribumi tempat kami biasa makan bubur ayam ternyata tutup karena bangunannya tengah dibongkar, mungkin akan direnovasi. Melihat ada penjual bubur lain dengan tenda yang cukup besar, aku segera menghentikan si kuning disini. Bubur ayam Cinjur terkenal kelezatannya, apalagi bila disajikan dengan potongan ati dan ampela yang ditumis. Saat tidak ada touring yang jauh, hampir setiap hari Sabtu aku dan istriku "manasin" motor ke Cianjur hanya untuk sarapan bubur ayam dan kemudian kembali lagi ke Bogor. Biasanya kami berangkat jam 5 pagi dan pada jam 7.30 kami sudah berada di rumah kembali.
         Setelah selesai sarapan, aku kembali melajukan si Kuning. Jalan sudah mulai ramai, hujan gerimispun sudah mulai berhenti sejak kami menjelang memasuki Cianjur. Jaket yang kukenakan ternyata cukup tangguh untuk menahan hujan gerimis yang cukup rapat, demikian juga sepatuku. Puluhan motor yang dikendarai para pekerja pabrik yang berada di kawasan jalan Cianjur – Padalarang tampak mulai memenuhi jalan.
         Menjelang meninggalkan Padalarang menuju Cimahi, jalan mulai padat oleh aneka jenis kendaraan. Si Kuning mulai berjalan tertatih tatih membelah kemacetan. Motor, mobil kecil sampai truck memenuhi jalan ini. Berdesakan-desakan satu sama lain dan bergerak sangat perlahan. Bau karbon monoksida yang dikeluarkan oleh asap knalpot menyengat keras menembus balaklava yang aku gunakan.
          Di bundaran Jl Soedirman – Jl. Elang Raya saat hendak masuk ke jalan Soekarno – Hatta ada razia kendaraan yang dilakukan polresta Bandung, semua motor yang berada di depan motorku diminta untuk menepi. Salah seorang polisi yang berdiri di tengah jalan memberikan kode kepadaku untuk juga ikut menepi, namun entah kenapa seorang kawannya yang berdiri di samping si Kuning memberikan kode kepada temannya tersebut untuk memintaku agar tetap jalan.
         “ Kenapa kita disuruh tetap jalan, Kang ?” Tanya istriku
         “ Nggak tau. Mungkin dia sudah percaya kalau surat-surat motor kita lengkap “ Jawabku sekenanya.
         Memasuki Jl. Soekarno – Hatta, kendaraan masih bertumpuk, terutama disemua perempatan traffic light. Matahari yang sudah mulai meninggi membuat tubuhku mengeluarkan keringat dalam balutan jaket yang kupakai. Aku meminta istriku untuk menjulurkan selang water bag, kemudian menyedot air minum yang berada dalam ransel di belakang punggungku. Water bag yang aku bawa ini mempunyai kapasitas 2 liter, jadi tidak terlalu berat untuk menggendongnya selama perjalanan. Dengan menggunakan water bag, kami tidak perlu berhenti bila merasa haus karena minum bisa kami lakukan sambil duduk di atas motor yang sedang melaju.
         “Mau kemana, mas ?” Tiba-tiba seorang pria berumur 30 tahunan dengan bola mata sebelah kanan yang terlihat berwarna abu-abu menyapaku. Dia menjajari si Kuning dengan Kawasaki ninja 250 cc berwarna merah.
          “Mau ke Jogja ya ?” lanjutnya lagi
          “Nggak. Kami mau ke Dieng.” Jawab istriku
          “Oh. Saya besok ke berangkat ke Jogja.” Dia menambahkan.
          “Ada acara apa?” aku bertanya. Dia lalu menyebutkan sebuah event yang terdengar tidak begitu jelas.
          “Ok. Saya duluan ya. Hati-hati di jalan dan selamat touring. ” Dia mengakhiri percakapan sambil mendahului kami.
          Kejadian seperti ini sering kami temui, sapaan dari sesama biker yang mempunyai hobby menjelajah dengan motornya. Ada brotherhood yang tertanam, kami menyebutnya saudara satu asphalt. Walaupun dari komunitas yang berbeda, namun bila ada biker yang mengalami kesulitan saat melakukan touring, biasanya biker yang ada di daerah tersebut akan dengan senang hati memberikan bantuan.
          Di Jl. Soekarno – Hatta yang memiliki jalur cepat, aku segera masuk ke jalan tersebut. Si Kuning aku pacu cukup kencang, meliuk-liuk diantara mobil-mobil yang berada di jalan tersebut. Jalur cepat ini sebenarnya hanya dikhususkan untuk mobil saja, untuk motor berada di jalur kiri, namun untuk motor besar polisi selalu membiarkannya. Motor kecil hanya boleh masuk ke jalur ini bila hendak berputar arah.
          Keluar dari Jl. Soekarno – Hatta kami masuk ke daerah Cibiru, lalu lintas yang biasanya ramai pagi ini terlihat sedikit lengang. Di pertigaan jalan menuju Jatinangor dan Garut, aku membelokkan si Kuning ke kiri untuk mengambil arah ke Cileunyi.
          Di Cileunyi kendaraan tidak begitu ramai seperti biasanya, si Kuning bisa aku lajukan dengan cepat. Namun baru beberapa saat tiba-tiba di depan aku lihat kemacetan yang luar biasa. Jalan yang dicor beton tersebut tergenang oleh air setinggi 10 cm, aku menduga kemacetan diakibatkan oleh banjir.
          “ Wah, Neng. Kelihatannya ada banjir di depan sana. Gawat ! Kita bisa terjebak macet di sini. Dalam perhitungan normal kita akan sampai di Dieng jam 7 malam, tapi kalau macet seperti ini Akang tidak tau akan sampai jam berapa.” Ujarku pada istriku.
          “ Mudah-mudahan saja nggak, Kang.” Jawab istriku
          Aku terus melajukan si Kuning dengan perlahan, mencari celah yang bisa kulalui. Di sebelah kanan, aku melihat  dua orang yang memberikan tanda untuk masuk ke dalam jalur berlawanan yang pembatasnya terbuka. Beberapa kendaraan segera masuk ke jalur tersebut, aku mengikutinya. Kendaraan lain dari arah berlawanan segera memberikan jalan untuk kami yang melalui jalur ini. Saat aku menoleh ke jalur kiri ternyata hampir semua kendaraan tidak bergerak sama sekali sepanjang lebih kurang 500 meter. Kasihan sekali.
         Beberapa puluh meter kemudian kami melihat penyebab kemacetan adalah segerombolan orang-orang berkaos merah yang tengah melakukan orasi di depan sebuah kantor. Mereka berteriak-teriak dengan menggunakan pengeras suara, entah sedang menuntut apa dan kepada siapa. Yang jelas perbuatan mereka telah menyebabkan kemacetan yang panjang.
kemacetan di Cipacing
         Ternyata yang membuka jalan melalui jalur kanan tadi adalah polisi, pantas saja kendaraan dari arah berlawanan mudah sekali memberi kami jalan. Melewati batas kemacetan, kami diminta untuk kembali masuk ke jalur kiri. Lalu lintas ternyata cukup sepi. Aku kembali melajukan si Kuning dengan gembira karena kami hanya tertahan sekitar 10 menit saja.
          Aku membelokkan si Kuning memasuki SPBU di Ranca Ekek untuk beristirahat. SPBU ini selalu menjadi tempat pemberhentian istirahat saat touring dengan rombongan MBC Bogor. Areanya yang luas dan nyaman serta adanya mini market membuat tempat ini menjadi pilihan untuk berhenti. Toiletnya juga cukup bersih.
           Aku menepikan si Kuning di dekat tempat pengisian air radiator, mematikan mesinnya dan mengeluarkan standard samping. Si Kuning terlihat cukup kotor karena gerimis yang turun membuat tanah menjadi becek dan menempel. Charger HP yang kupasang bekerja dengan baik, HP yang kujadikan GPS daya batterynya bertambah. GPS beneran yang terpasang di belakang wind shield malah tidak aku gunakan karena ternyata petanya belum update.
         Setelah dari toilet, aku membuka side box dan mengeluarkan roti gandum berserta selai strawberry yang kami bawa. Karena lupa membawa pisau roti, aku menggunakan jari telunjuk untuk mengoleskan selai tersebut. Hehehe…saat adventure begini kita harus bisa menggunakan sesuatu dengan maksimal, lagian jariku juga sudah bersih setelah cuci tangan di toilet tadi.
          Aku memakan roti gandum dengan lahap, istriku juga memakannya. Susana seperti ini bisa membuat hubungan suami istri semakin kuat karena merasakan kebersamaan dalam perjalanan yang belum tau ceritanya akan bagaimana. Sejak tahun 2010 istriku selalu mendampingiku saat touring. Awalnya dia hanya ingin membuktikan ceritaku tentang keindahan pemandangan yang kulalui, sensasi saat miring di tikungan atau nikmatnya kuliner di tempat yang aku singgahi. Ternyata sejak itu dia ketagihan, kemanapun tujuan touring dia selalu ikut. Kalaupun tidak ada agenda touring club, kami akan melakukannya berdua saja untuk jarak yang jauh ataupun dekat.
       “Kang, tolong photoin dulu untuk bahan tulisan.” Pinta istriku sesaat sebelum kami meninggalkan SPBU. Aku meraih HP yang disodorkannya dan mengambil beberapa frame sambil memberikan sedikit arahan supaya dia berdiri diposisi yang bagus untuk diphoto.
di SPBU Ranca Ekek
      Perjalanan kami lanjutkan. Jalan yang berkelok dengan rumah dan pepohonan yang rindang di sepanjang kiri-kanan jalan menyerupai lukisan yang menarik. Udara yang mulai beranjak panas tidak terasa karena hembusan angin yang dihasilkan dari motor yang kupacu cukup kencang bisa masuk ke dalam jaket melalui lubang ventilasinya yang bisa dibuka tutup karena menggunakan resliting disamping memang bahannya sendiri tidak membuat gerah.
       Memasuki daerah Tasikmalaya, tiba-tiba aku dikejutkan dengan seorang wanita kurang waras yang tidak berbusana yang seenaknya saja menyeberang jalan. Sontak secara reflek aku menginjak pedal rem belakang dan menarik tuas rem depan supaya kecepatan si Kuning segera berkurang. Istriku terkejut sehingga tubuhnya terdorong ke depan dan menekan punggungku.
         “Ada apa, Kang ?” Tanya istriku
          “Tuh, ada cewek bugil nyeberang sembarangan.” Aku terkekeh sambil menunjuk wanita yang sudah berdiri di pinggir jalan tanpa rasa bersalah itu.
          Sekitar jam 12.45 kami berhenti di RM Pringsewu yang sudah masuk ke dalam wilayah propinsi Jawa Tengah. Sudah beberapa kali kami makan disini saat touring. Rumah makan yang iklannya sejak puluhan kilo meter sebelum lokasi ini memiliki tempat parkir yang luas, mushola, wifi, tempat bermain anak, pijat electric dan ruang makan di luar yang cukup nyaman. Menu yang disajikanpun lumayan enak. Kali ini kami memilih menu paket ayam bakar untuk 2 orang yang terdiri dari nasi, ayam bakar, lalapan, sambel, kangkung cah tauco, buah serta minuman lemon tea dan es kelapa. Entah karena lapar atau memang enak, kangkung cah tauconya terasa mak nyus di dalam mulutku.
menu ayam bakar di RM Pringsewu
          Setelah sholat dan beristorahat, tepat jam 14.00 kami kembali melanjutkan perjalanan. Lalu lintas cukup lancar saat kami melewati Wanareja, Cilacap, Majenang, Lumbir, Wangon, lalu masuk ke daerah Banyumas. Di Somagede, kami disuguhi pemandangan sawah hijau yang cantik di kiri-kanan jalan, sementara langit terlihat terus meredup dan awan kelabu mulai tampak semakin jelas.
          Setelah melewati Banjarnegara, tepatnya di Jl. Raya Merden Purwanegara butir-butir hujan mulai turun. Rintik yang awalnya kecil kemudian berubah menjadi butiran cukup besar dan rapat. Jarum jam di HP-ku menunjukkan pukul 16.20 ketika kami menepi di teras sebuah toko yang tutup. Beberapa pengendara motor kecil lainnya pun ikut menepi.
          Aku mengeluarkan jas hujan dari kantong plastic dan menyodorkan ke istriku sambil mengamati langit di atas jalan yang akan kami lalui.
         “Kita harus pakai jas hujan, Neng. Hujan kelihatannya akan turun di sepanjang jalan yang akan kita lalui. Langit di sebelah sana merata gelapnya. Jaket yang sekarang kita pakai tidak akan mampu menahan butiran air hujan sederas ini.” Ujarku.
         Setelah mengenakan jas hujan dan menyimpan jaket, si Kuning mulai bergerak menembus derai hujan yang sangat deras. Bunyi butir-butir hujan yang menimpa kaca helmku terdengar keras. Jalanan mulai terihat gelap, fog lamp yang terpasang di crash bar si Kuning hanya mampu menyinari jarak beberapa meter ke depan saja. Aku memperlambat lajunya karena takut slip akibat terjadi hydroplaning.
          Hampir 6 bulan yang lalu aku terpaksa menjalani operasi tulang belakang akibat terjatuh dari si Putih saat aku pacu ditikungan dalam kondisi hujan. Tikungan yang sebelumnya paling nyaman saat dipakai miring-miring kali ini menjadi petaka. Dengkul kiriku harus menerima 6 jahitan akibat luka yang menganga dan terlihat seperti bolong, begitu juga dengan mata kaki bagian dalam. Karena keesokan harinya luka ini membengkak, membuatku tidak bisa berjalan dengan normal. Saat akan ke kamar mandi aku harus loncat-loncat dengan menggunakan kaki kanan. Namun ketika aku akan mengambil posisi untuk duduk di toilet, aku salah gerakan. Pinggangku yang baru 2 minggu di therapy di Bandung karena HNP yang cukup parah kembali menjadi sakit. Sakit itu ternyata semakin sakit pada keesokan harinya, dan di hari ke 3 membuatku sangat tidak berdaya. Bergerak sedikit saja butir-butr keringat akan mengalir dari dahiku karena sakit yang teramat sangat, sehingga akhirnya aku memutuskan untuk menerima masukan dokter untuk dilakukan operasi. (kisah lengkapnya bisa dibaca disini).
          Aku sangat menikmati hujan, apalagi bila sedang mengendarai motor seperti ini. Saat aku kecil, aku hanya bisa menikmati hujan dari kaca jendela saja karena ibuku tidak pernah membolehkan kami, aku dan saudaraku, bermain hujan-hujanan seperti kebanyakan teman-temanku. Melihat butir-butir hujan yang jatuh ke tanah lalu membentuk gelembung-gelembung dan terbawa air hujan yang mengalir dan akhirnya pecah sungguh sesuatu yang menyenangkan. Aku bisa berlama-lama memandangnya sampai hujan berhenti.
          Aku tersenyum, kali ini aku bebas menikmati hujan. Menikmati butir-butirnya yang jatuh ketubuhku yang dibalut jas hujan berwarna ungu dan mendengarkan bunyi motorku yang semakin halus karena udara menjadi dingin akibat hujan yang turun ini. Istriku yang duduk di belakang tidak terdengar suaranya, namun aku yakin bahwa dia tengah menikmati guyuran hujan ini karena diapun mengalami masa kecil yang sama denganku, tidak pernah diizinkan untuk bermain hujan !
          Menjelang magrib atau sekitar jam 17.20 kami tiba di Wonosobo, langit terlihat semakin gelap karena hujan dan menjelang malam. Beberapa hari sebelum berangkat, aku browsing mencari penginapan di Dieng. Namun hasil pencarian hanya menemukan home stay saja, tidak ada hotel di sana. Mengingat Wonosobo yang terletak tidak jauh dari Dieng, aku menawarkan istriku untuk menginap di Wonosobo saja, namun dia tidak mau karena tidak yakin kalau di Dieng tidak ada hotel. Dia ingin segera menikmati malam di Dieng, merasakan hawa dingin dan segarnya udara di daerah yang cukup tinggi.
          Memasuki jalan menuju Dieng, pemandangan yang indah terhampar di kiri-kanan jalan walaupun cahaya yang menerangi remang-remang. Lembah dan bukit saling bertautan seolah hendak menjangkau langit yang temaram. Hujan ternyata tidak turun di Dieng sore ini. Awan putih yang mulai terlihat gelap berarak rapi dan bergerak perlahan. Bulan yang sudah menampakkan diri, terlihat begitu bulat dengan sinarnya yang terang di antara siluet bukit-bukit yang kokoh. Pemandangan Dieng yang indah, negerinya para Dewa.
         Jalanan terlihat begitu temaram, hanya sinar bulan dan lampu si Kuning saja yang menerangi. Melintasi jalan kecil yang mendaki dan berkelok seperti ini harus hati-hati, apalagi ada rambu peringatan jalan longsor yang yang dipasang untuk mengingatkan para pengendara kendaraan.
         Jam 18.04 kami sampai di Dieng, kami celingukan kiri-kanan mencari tempat penginapan yang cukup layak untuk membuat tubuh segar kembali setelah menempuh 13 jam perjalanan. Beberapa home stay yang sempat kami lihat kondisinya tidak menimbulkan minat untuk membaringkan tubuh di situ. Ternyata memang benar, di Dieng sulit untuk menemukan hotel.
        Setelah melewati beberapa hotel, kami melihat ada penginapan yang bertuliskan “hotel” dan terlihat cukup bagus. Dinding bangunannya yang terbuat dari anyaman bambu terlihat artistik, sehingga tanpa memeriksa kondisi kamarnya dengan baik aku langsung membayarnya untuk 2 malam seharga Rp. 300 ribu.
kamar home stay di Dieng
        Namun begitu kami masuk dan meletakkan barang, kami baru sadar ternyata kamar ini kondisinya lebih jelek daripada kamar-kamar yang kami lihat sebelumnya. Tempat tidurnya yang terbuat dari bamboo sudah reyot karena anyamannya sudah pada lepas. Karpetnya terlihat kotor. Dan yang paling parah adalah jendelanya yang tidak bisa ditutup rapat dengan tirai yang tembus pandang dari celah yang terbuka sehingga harus aku tutup dengan menggunakan selimut supaya ‘bulan madu” bisa berjalan lancar. Hehehe… Namun kami masih beruntung karena kamar mandinya bersih dan air hangatnya mengalir lancar. Bayangkan saja kalau tidak ada air panas dan harus mandi pada jam 4 pagi dengan air yang bersuhu 6-10 derajat celcius…bbrrrrr…
      “Besok kita cari penginapan yang lebih bagus ya, Neng.” Aku berkata pelan pada istriku “Mudah-mudahan bisa kita dapatkan.”
Istriku tidak menjawab, hanya tangannya saja yang menyentuh pipiku untuk kemudian segera terlelap. (bersambung ke Part 2).

No comments:

Post a Comment