Tuesday, April 21, 2015

Touring Bogor - Dieng (Part 3 : Pulang)



TOURING BOGOR – DIENG
(Part 3 : Pulang)

Selalu ada kebahagiaan saat melalui jalan kecil yang berdebu
Yang berhias hijaunya sawah dan pepohonan yang rindang
Anak-anak kecil yang berlari riang menyambut hujan
Telah melemparkan kita kembali kemasa silam

            Setelah selesai memasukan barang-barang ke dalam box motor dan tidur lebih awal semalam, pagi ini aku bangun dengan badan yang lebih segar. Di samping, istriku masih tertidur pulas.
            “Neng, bangun. Kita harus segera siap-siap untuk pulang setelah sholat subuh nanti. Jangan sampai kita terlambat.” Aku berkata pelan sambil membelai pipinya.
            Istriku membuka kelopak matanya, lalu terseyum dan menatap wajahku sebelum menggeliatkan badan.
            “Langsung pulang ? Kita sempat ke candi Arjuna dulukan? ” sebuah pertanyaan meluncur dari mulutnya.
            “Nggak. Kita langsung pulang saja. Nanti kalau kesiangan kita bisa terjebak macet di jalan.” Aku menegaskan sambil memasukan barang-barang kecil ke dalam tank bag.
            Istriku diam, kemudian bangun dan menuju kamar mandi. Setelah selesai sholat subuh, dia mengemasi mukena dan barang perintal-perintilnya untuk dimasukan ke dalam tas yang akan diletakkan di bagian belakang si Kuning.
            Aku tau, istriku pasti sangat kecewa bila kami tidak menyempatkan untuk ke candi Arjuna setelah kemarin pagi tidak bisa menyaksikan sunrise di bukit Sikunir. Touring baginya bukan melulu hanya duduk di motor untuk kemudian menikmati waktu istirahat setelah sampai tujuan sepertiku. Selain menikmati perjalanan, dia juga ingin menikmati kawasan wisata yang ada termasuk juga mencoba merasakan kulinernya.
            Di Dieng sebenarnya banyak sekali lokasi wisata yang jarak antara satu sama lainnya berdekatan sehingga tidak akan menghabiskan banyak waktu untuk sampai. Namun aku selalu ingin memulai perjalanan saat hari masih pagi karena ingin merasakan terpaan embun ke wajahku, atau berharap bisa melihat orang-orang yang memulai kehidupannya sebelum matahari mulai memancarkan sinar terang.
            Aku mengambil sepatuku yang masih basah dan terasa begitu dingin. Kali ini disamping mengenakan kaos kaki yang tebal, aku harus membungkus kaki dengan kantong plastik supaya tetap hangat.
            Istriku telah siap, namun mukanya terlihat begitu memelas. Aku tau bahwa dia benar-benar sangat ingin mengujungi candi Arjuna sebelum kami pulang.
            “Ok, kita akan mampir ke candi Arjuna sebelum pulang.” Aku berkata kemudian sambil mengenakan tali sepatu.
            “Tapi kalau sampai sana nanti masih ditutup, kita langsung pulang dan tidak akan menunggu sampai dibuka.” Lanjutku lagi.
            Mendengar kalimatku, sontak ekspresi memelas istriku hilang dan berganti dengan senyum kegembiraan.
            Hanya butuh waktu 5 menit dari penginapan untuk sampai ke lokasi candi Arjuna. Warung-warung di sekitar lokasi wisata ini sudah mulai dibuka, namun masih terlihat sepi. Istriku segera turun dari motor dan dan menghampiri seorang ibu yang tengah membersihkan meja di dekat warungnya.
            “Candi Arjunanya sudah buka, Bu ?” Tanya istriku
            Si ibu tidak menjawab, dia hanya membalikkan badannya dan melambaikan tangan memanggil seorang pria tengah baya yang sedang meletakkan kursi panjang di warung sebelahnya.
            Pria itu menghampiri istriku dan bertanya, “Mau masuk mbak ?”
            “Iya, pak.”
            “Harga karcisnya 20 ribu untuk dua orang, mbak.” Ujarnya sambil menyodorkan 2 buah potongan karcis.
            “Masuknya lewat mana, pak?”
            “Lewat sana, mbak.” Ujarnya sambil menunjukkan pintu besi berwarna biru yang tingginya hanya sekitar 60 centi meter. “Motornya tolong diparkir di sebelah sana ya, mas.” Lelaki itu berkata kepadaku sambil menunjuk sebuah pohon yang rindang.
            Aku memarkirkan motor dan mengambil tripod, kemudian berjalan cepat menyusul istriku. Walaupun pagi ini hujan tidak turun, tetapi matahari belum juga muncul untuk menyingkirkan kabut yang menghalangi sinarnya.
            Belum ada orang lain yang masuk ke kawasan candi Arjuna ini ketika kami sampai dan mulai berphoto. Cahaya yang ada terlihat flat, bukan kondisi yang ideal untuk menghasilkan photo yang bagus. Apa boleh buat, mudah-mudahan saja hasilnya nanti masih bisa diedit dengan photoshop.
           
Kawasan Candi Arjuna
Di lokasi kawasan wisata candi Arjuna terdapat candi-candi lain sepeti candi Semar, candi Srikandi, candi Puntadewa dan candi Sembadra. Letaknya berdekatan satu sama lain. Candi Arjuna merupakan candi yang tertua dan terbesar serta memiliki keistimewaan yang terletak pada bak batu yang selalu terisi tetesan air embun yang berasal dari atap candi. Uniknya air embun itu tidak pernah kering meski terkena panas matahari. Masyarakat menamai air embun itu “Parwito Sari” dan meyakini air itu banyak mengandung berkah bagi yang menggunakannya.

Candi Srikandi dan Candi Puntadewa

            Candi Semar yang paling berdekatan letaknya dengan candi Arjuna, candi ini merupakan candi sarana, sebagai tempat berkumpul dan menunggu para umat sebelum masuk ke candi Arjuna.  Candi ini konon dipergunakan juga untuk gudang penyimpanan senjata dan perlengkapan pemujaan. Candi Semar berbentuk persegi panjang  membujur arah Utara-Selatan. Ukurannya lebih kecil dari Candi Arjuna.
Istriku, Aku dan Aku di Candi Semar
            Setelah selesai berphoto, jam 06.30 aku dan istriku kembali mulai meluncur dengan siKuning, membelah jalan asphalt yang tidak begitu mulus dengan pemandangan kiri-kanan yang begitu cantik oleh deretan pohon pinus dan tanaman sayur-mayur yang menghijau. Sementara di kejauhan tampak deretan bukit yang memamerkan keindahannya. Beberapa orang penduduk terlihat telah memulai aktifitas merawat tanaman mereka.

            Akhirnya kami tiba di ruas jalan yang diberi papan peringatan “Hati-hati Jalan Longsor”, beberapa pria berdiri di dekat pembatas jalan darurat untuk memandu pengendara yang akan melintasi jalan tersebut. Jalan yang tadinya memiliki 2 jalur kini menyempit dan hanya tinggal sejalur saja akibat longsor dan pembatas jalan darurat yang dibuat. Mobil dengan bak terbuka yang berlawanan arah dengan kami memperlambat kecepatannya saat melalui jalan ini, sedangkan kami berhenti untuk menanti giliran.
            Ketika seorang pria memberi kode untukku jalan, aku menarik gas siKuning dengan perlahan. Jurang yang terlihat sangat dalam berada di sebelah kananku, terlihat jelas dari bagian jalan yang longsor. Istriku terlihat cemas, kuatir kalau motor yang kami tunggangi terpeleset dan jatuh. Namun Alhamdulillah, kami bisa melalui jalan ini dengan selamat.
            Kami kembali menikmati pemandangan indah yang terbantang di sepanjang jalan yang kecil dan berkelok. Istriku terlihat sibuk membidikan kamera ke kanan dan ke kiri, mencoba merekam semua keindahan tersebut. Sesekali kami temui jalan yang berlubang dan becek, namun itu bukan kendala yang berarti untuk motor 650 cc yang bertype enduro ini.

            Melalui rute Dieng – Wanayasa – Banjarnegara – Purbalingga, banyak kelokan dengan kodisi jalan yang tidak begitu lebar. Kadang mendaki dan kadang menurun. Tidak sedikit juga jalan yang kami lalui mulai rusak dan berlubang, tapi pemandangan yang disuguhkan membuat aku semakin merasakan kebesaran Illahi.
            Terlepas dari jalan kecil, kami memasuki jalan raya antar propinsi jalur selatan. Si Kuning bisa kupacu cukup kencang, terkadang sampai 130 km/jam. Motor ini sebenarnya lumayan stabil untuk diajak berlari sampai kecepatan 160 km jam seperti yang pernah kucoba saat di Tegal ketika touring ke Guci. Tapi kali ini kami ingin menikmati jalan-jalan yang dilalui, aku lebih sering hanya memacunya pada kecepatan 80-100 km/jam saja.
           
RM Asep Strawberry
Jam 12.15 kami sudah tiba di RM Asep Strawberry yang terletak di Tasikmalaya, menjelang perbatasan dengan Garut. Aku memarkirkan si Kuning di dekat pintu masuk. Rumah Makan ini sangat luas dengan arsitektur tradisional Sunda, di sini kita bisa memilih untuk makan lesehan atau menggunakan kursi makan.
            Kami memilih untuk makan lesehan sambil melihat hijaunya sawah yang dibatasi oleh pagar BRC. Aku memesan menu paket bebek bakar untuk 2 orang. Menu ini terdiri dari nasi liwet, bebek bakar, lalapan, tahu, ikan asin dan sambal. Uang yang harus kami keluarkan untuk menu ini plus 2 gelas kelapa muda sebesar Rp. 132 ribu rupiah termasuk pajak 10%. Cukup murah untuk rumah makan yang eksotik dan nyaman ini.
Menu Paket Bebek Bakar
            Melihat langit yang putih mulai menjadi abu-abu, kami segera menanggalkan jaket dan menggantinya dengan jas hujan sebelum meninggalkan RM Asep Strawberry. Ternyata dugaan kami benar, baru berjalan 15 menit hujan mulai turun dengan derasnya.
            Hujan selalu membuat perasaanku menjadi senang, namun melalui jalur Tasikmalaya – Garut aku harus ekstra hati-hati karena banyak tikungan yang mendekati 90 derajat dengan kondisi asphalt yang kurang bagus, belum lagi banyak truk dan bus besar yang melintas.
            Sampai memasuki daerah Ranca Ekek semua aman-aman saja, aku menyempatkan mampir ke SPBU karena bar petunjuk bahan bakar tinggal 2 buah. Hujan masih turun, namun tidak lagi sederas saat berada di Jalan Tasikmalaya – Garut.
            Namun memasuki km 24 jalan raya Garut – Bandung, kendaraan yang melintas mulai bergerak
Banjir
perlahan, air setinggi 20 cm mulai menggenangi jalan. Aku berusaha selap-selip mencari celah agar siKuning bisa lewat. Pengalaman melewati air yang lebih tinggi dari saat ini sewaktu touring ke Kuningan dan Baturaden bulan yang lalu membuatku tidak kuatir kalau motor ini akan mogok.
            Beberapa kilometer kemudian, puluhan motor dan mobil yang berada di depanku terlihat tidak bergerak sama sekali, sementara dari arah berlawanan banyak motor yang menerobos jalur yang seharusnya hanya dipakai untuk satu arah ini. Aku tersenyum ketika membayangkan seandainya yang menerobos ini adalah rombongan motor besar, pasti di medsos sudah ramai caci maki yang keluar. Namun kalau yang melakukannya motor kecil seperti ini, semua menganggap ini adalah hal yang wajar-wajar saja. Tidak perlu ada caci maki !
            Ketika melihat ada celah untuk maju, aku segera menarik gas si Kuning perlahan melalui pinggiran jalan. Air yang berwarna coklat keruh setinggi 30 cm sudah menggenangi jalan dan merendam sepatuku. Setelah melalui mobil angkot yang berada disebelah kanan, aku baru menyadari kalau di depan genangan air sangat tinggi. Mobil dan motor sudah banyak yang mogok.
            Sudah tidak memungkinkan untuk kembali mundur sehingga aku paksakan untuk terus melajukan kuda besi ini. Genangan air ternyata semakin tinggi dan menyentuh dengkulku. Pada ujung knalpot siKuning aku bisa melihat gelembung air yang tercipta dari tekanan gas buang dan mengeluarkan suara blub…blub..blub…
            “Waduh, Neng, air ternyata semakin tinggi. Gawat kalau siKuning sampai mogok. Susah untuk mencari bengkel moge disekitar sini.” Aku mulai merasa panik.
            Istriku tidak menjawab, ketegangan kelihatannya sudah menjalar dalam hatinya.
            “Mudah-mudahan saja air tidak sampai menyentuh air intake sehingga tidak masuk ke mesin. Kalau sampai mogok, kita harus mencari dealer Kawasaki di Bandung atau mencari mobil storing untuk membawanya ke Bogor.” Lanjutku.
            Aku terus menjaga putaran gas supaya konstan sehingga air tidak bisa masuk ke knalpot dan tidak terhisap melalui air intake, namun motor revo yang mogok di depanku membuat petaka itu harus terjadi. Karena aku terpaksa menurunkan putaran gas, tekanan genangan air dijalan menjadi lebih besar daripada tekanan buang knalpot dan akibatnya air tersebut masuk sehingga siKuning mogok.
            Sia-sia aku menstarter siKuning beberapa kali karena mesinnya tidak juga mau hidup. Istriku segera turun dan mencoba untuk mendorong motor yang totalnya lebih dari 300 kg setelah ditambah berat badanku dan barang bawaan. 
            SiKuning bergerak sangat perlahan sementara istriku terilihat terengah-engah kecapekan, padahal bagian jalan yang bebas genangan masih sekitar 40 meter lagi di depan. Banjir yang tingginya sampai setengah paha menyulitkannya untuk melangkah, apalagi harus ditambah dengan mendorong motor yang tengah mogok.
            “Ya Allah….Neng, coba cari orang yang bisa bantu mendorong.” Pintaku yang tak tega melihatnya ngos-ngosan.
            “Nggak ada, Kang. Semua orang kelihatannya pada sibuk ngurusin kendaraannya sendiri.” Suaranya terdengar terputus-putus karena nafasnya sudah satu dua.
            “Mas! Bisa bantu dorong.” Jeritku pada seorang lelaki yang tengah berdiri di belakang mobil jazz berwarna putih yang mogok.
            “Maaf, pak. Saya lagi dorong mobil ini.” Dia menjawab singkat.
            “Dik, tolong bantu dorong ya.” Aku berkata pada 2 orang remaja tanggung yang berjalan menuju arahku.
            “Baik, pak.” Mereka menjawab dengan wajah yang terlihat girang.
            Si Kuning kembali berjalan dengan perlahan membelah air yang tinginya sekitar 80 cm, dari kaca spion aku melihat istriku berjalan terseok-seok.
            “Ayo, dik, dorong terus lebih cepat.” Aku memberi semangat pada kedua remaja tanggung ini.
            Ketika sampai di emperan sebuah toko yang tidak terkena banjir, aku melihat puluhan motor sudah parkir di sana. Para pemiliknya sibuk membuka busi dan berusaha mengeringkannya. Beberapa motor bisa hidup, tetapi banyak juga yang gagal.
            Aku termangu memandang si Kuning. Bila businya basah, aku harus mengeringkannya. Namun untuk bisa membuka 2 buah busi motor ini, aku harus mengangkat tankinya terlebih dahulu. Dan untuk bisa mengangkat tanki, aku harus membuka fairing yang terpasang dan melepas selang bensin yang menuju injektor. Pekerjaan ini tidak susah sebenarnya, tapi akan memakan waktu yang tidak sebentar.
            Namun kalau air masuk melalui saluran hisap udara, tidak ada jalan lain maka motor ini harus di bawa pakai mobil stroring ke bengkel dan akan membutuhkan waktu yang berjam-jam untuk menunggu datangnya mobil storing tersebut, belum lagi waktu perbaikannya.
            Aku menunduk dan memperhatikan bekas air yang menggenangi motor. Ada secercah harapan saat kulihat bekas air tidak sampai menyentuh letak busi, hanya kurang beberapa centi meter saja.
            Segera kutekan tombol starter. Mesin siKuning tidak menyala dan hanya batuk-batuk saja, namun aku melihat banyak sekali air berwarna kecoklatan yang keluar dari knalpot. Mendengar suara mesin yang kering, aku yakin bahwa tidak ada air yang terhisap dan masuk ke mesin. Kutekan beberapa kali tombol starter untuk mencoba menguras air yang berada dalam tabung knalpot sampai akhirnya brrumm…brrumm…si Kuning kembali meraung dengan gagahnya.
            “Alhamdulillah…ayo naik, Neng.” Ujarku penuh semangat.
            Wajah istriku terlihat begitu gembira dan segera duduk di belakangku.
            Hujan terus mengguyur kami sepanjang perjalanan. Petualangan di atas kuda besi kali ini benar-benar menguji stamina. Aku yang berharap jalur Soekarno – Hatta di Bandung, Cimahi dan Padalarang sepi dari motor karena hujan ternyata harus kecele. Jalur-jalur tersebut tetap ramai dengan pengendara motor yang mengenakan jas hujan dan terlihat beraneka warna.
             Menjelang magrib, kami telah melewati kota CIanjur dan menuju Cipanas. Hujan belum juga berhenti, kabut yang turun menambah gelap jalan yang harus kami lalui. Lampu kendaraan yang datang dari arah depan hanya terlihat samar-samar. Mataku sangat sulit untuk melihat batas jalan walaupun telah dibantu dengan 2 buah fog lamp yang melekat pada crash bar siKuning.
            Kabut yang menggulung tubuh kami terasa begitu dingin, lebih dingin dari kabut yang turun saat berada di Dieng. Tangan kiriku yang tidak mengenakan sarung tangan terasa membeku dan kram. Sulit digerakkan untuk menarik tuas kopling. Jas hujan yang kami kenakan memang mampu membuat badan menjadi tidak basah, namun tidak mampu mengusir udara yang sangat dingin seperti ini. Aku mulai merasa lelah, istriku juga pasti merasakan hal yang sama karena sejak dari Bandung dia kini lebih banyak diam.
            Memasuki wilayah Puncak ternyata penderitaan belum juga berakhir. Karena ini malam minggu, jalan di kawasan ini menjadi macet. Bau beraneka jenis masakan dari warung di pinggir sepanjang jalan raya Puncak ini membuat perutku semakin lapar. Namun untuk berhenti dan menikmati makan malam bukan saatnya yang tepat karena sepatuku sudah basah sejak hujan yang turun menjelang Nagrek dan terasa begitu dingin. Yang memenuhi pikiranku saat ini hanyalah bisa cepat sampai di rumah untuk mandi air hangat dan segera berbaring.
            Selepas dari Cisarua, jalanan benar-benar macet. Kendaraan bergerak sangat perlahan. Aku terkadang harus mengambil bahu kiri jalan yang tidak mulus untuk bisa melewati mobil yang tidak bergerak di depanku. Kondisi jalan yang basah oleh air hujan cukup menyulitkan karena rawan untuk tergelincir, apalagi side box yang terpasang membuat gerakan siKuning menjadi tidak lincah untuk selap-selip.
            Sesekali aku menggunakan jalur kanan dan melebih garis putih bila kendaraan dari arah depan jaraknya masih jauh. Akselerasi motor ber-cc 650 ini cukup baik, walapun saat ini dipakai berboncengan dengan muatan side box yang penuh. Motor-motor kecil yang berjalan lambat namun memaksa menggunakan jalur kanan sering membuatku menggelengkan kepala karena tidak jarang mereka membuat laju kendaraan dari arah depan terpaksa berhenti.
            Memasuki daerah Gadog aku bisa menarik napas lega, lalu lintas sangat lancar. Aku menambah kecepatan siKuning lalu mengayunkannya ke kiri dan ke kanan seperti perahu yang dipermainkan ombak, menikmati kegembiraan setelah terbebas dari kemacetan yang begitu menjengkelkan.
            Jarum jam telah menunjukkan pukul 20.40 ketika kami sampai di rumah. Sibungsu Rafif berteriak senang melihat kedatangan mamanya. Aku melepaskan semua perlengkapan dan jas hujan yang dipakai, lalu bergegas menuju kamar mandi untuk merasakan siraman air hangat yang mengalir dari shower sebelum menikmati semangkok soto ayam lezat yang panas.
            Di garasi aku melihat siKuning masih penuh dengan tanah becek yang menempel dan terlihat semakin gagah. Biarlah dia terlelap malam ini setelah menempuh jarak 980 kilometer, besok pagi pak Ano pasti akan memandikannya sampai bersih. (TAMAT).

No comments:

Post a Comment