TOURING BOGOR – PALEMBANG – BOGOR (III)
KEMBALI KE
BOGOR
Asphalt yang
hitam masih berbalut embun
Menahan debu yang
ingin berterbangan
Burung ciblek
yang mulai keluar dari sarangnya
masih terlihat malu-malu
memperdengarkan kicauannya
Bunyi dari
HPku yang mengalunkan nada alarm antelope
kembali berdering subuh ini, mendahului bunyi adzan subuh yang dikumandangkan
dari masjid kampung sebelah. Aku menggeliatkan badanku sebentar, kemudian
segera menuju kamar mandi.
Pagi ini badanku terasa segar
setelah tidur siang kemarin yang cukup lama dan tidur lebih awal semalam.
Istriku telah selesai mandi dan mulai membereskan pakaian yang harus
dimasukkan kedalam side box motor. Setelah selesai sholat akupun mulai ikut
membereskan semua bawaan yang kami turunkan saat sampai di Palembang hari Jumat
malam kemarin.
Sebelum berangkat kami memutuskan
untuk tidak sarapan terlebih dahulu karena masih terlalu pagi, jarum jam masih
menunjukkan pukul lima tepat. Aku menuju motor, memasukkan semua barang bawaan
dan perlengkapan serta memeriksanya kembali supaya jangan sampai ada yang
tertinggal. Bapakku telah membuka pintu pagar dan melakukan senam ringan untuk
menjaga kesehatan tubuhnya. Diusianya yang telah lebih dari enam puluh enam
tahun, wajahnya masih terlihat lebih muda dari usianya. Rambutnya masih
terlihat hitam, jalannyapun masih gagah. Biasanya bapakku bersepeda sejauh 10
kilometeran setelah sholat subuh, namun pagi ini beliau hanya melakukan senam
ringan saja karena ingin melihatku pulang ke Bogor.
Aku menghidupkan motor, memanaskan
mesinnya dan memeriksa kembali kesiapannya sebelum berangkat. Semua lampu aku
coba nyalakan agar yakin semua masih berfungsi dengan baik dan tidak ada
masalah. Klaksonnya mengeluarkan bunyi “tooottt” yang keras saat aku menekan
tombolnya. Bapakku terkejut mendengar suara kencang yang keluar dari hela keong
yang bertengger disisi kiri dan kanan engine guard si Kuning. Klakson ini baru
kupasang di Bogor malam menjelang berangkat ke Palembang. Sengaja aku pasang
klakson dengan suara kencang agar suaranya bisa di dengar pengendara kendaraan
lain di depan saat aku melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi atau sebagai
isyarat pada saat aku akan mendahului kendaraan di depan. Dengan klakson yang
mengeluarkan bunyi standard sulit untuk meminta kendaraan yang berjalan lambat
supaya lebih ke kiri, apalagi motor-motor kecil yang memenuhi jalan sampai ke
jalur kanan walaupun dipacu dengan kecepatan yang rendah.
Istriku telah siap, ibukupun telah
berdiri di teras depan rumah. Aku menghampiri ibuku, memeluk dan menciumnya
serta meminta didoakan supaya perjalanan kami lancar dan diberi keselamatan.
Sebenarnya aku ingin kembali ke Bogor hari Senin saja supaya bisa menikmati
pempek buatan adikku, tetapi istriku ingin pulang hari ini karena Senin malam
dia akan ikut kursus menulis online.
Jam 05.15, perlahan
si Kuning mulai kujalankan meninggalkan halaman rumah kedua orang tuaku, lambaian
tangan mereka mengiringi kepergian kami. Motor masih melaju perlahan, gelap
masih enggan beranjak, sesekali semilir angin berhembus dan menggoyang
daun-daun pohon di halaman rumah yang kami lalui.
Jalan Mayor Zen masih sepi, hanya
dua-tiga kendaraan saja yang lewat. Di persimpangan tiga jalan RE Martadinata
aku membelokkan motor ke kanan memasuki jalan Patal – Pusri. Di Jalan inipun
masih terlihat sepi, mungkin karena ini hari Minggu. Di persimpangan empat Kenten, aku melihat pagar seng yang berdiri di tengah jalan sepanjang kira-kira
lima puluh meter. Di lokasi perempatan ini katanya akan dibangun fly over untuk
mengurangi kemacetan.
Dari jalan Patal – Pusri kami terus
memasuki jalan R Sukamto kemudian ke jalan Basuki Rahmad. Dari jalan Basuki
Rahmad kami terus ke Jalan Demang Lebar Daun kemudian belok kanan ke jalan
Parameswara. Setelah keluar dari jalan Parameswara dan masuk ke jalan raya
Polygon, kondisi jalan sudah tidak mulus lagi sampai dengan menjelang jembatan
Musi II. Selain banyak lubang, batu-batu gravel berukuran besarpun banyak yang
menyembul keluar.
Tidak jauh setelah melalui jembatan
Musi II aku meminggirkan motor dan masuk ke SPBU karena sejak sampai di Palembang si Kuning
memang sengaja tidak aku isi supaya menjelang keluar dari kota Palembang aku
bisa mengisi tankinya sampai penuh.Tanki yang berkapasitas 18 liter dengan
jarak tempuh sekitar 20 kilometer perliter ini memang membantu saat melakukan
perjalanan yang cukup jauh, apalagi di perjalanan yang tidak banyak terdapat SPBU yang menjual pertamax seperti di jalur lintas Sumatera ini.
Dari persimpangan empat Sungki aku
belok ke kanan masuk ke dalam jalan raya Palembang – Indralaya. Suasana Minggu
pagi yang cerah belum juga mampu membuat keramaian lalu lintas di jalan ini
hidup lebih awal. Embun yang turun ke jalan masih terlihat walaupun sudah mulai
menipis, cahaya matahari pagi mulai nampak samar-samar menerobos embun yang
bergerak lambat ditiup semilir angin.
Gerbang Indralaya |
Tugu Juang di Indralaya |
Hanya membutuhkan waktu 40 menit
dari rumah orang tuaku ke Tugu Juang di Indralaya, kepadatan lalu lintas pada
jalan yang tengah dicor seperti pada malam Sabtu yang lalu tidak tampak. Di
sepanjang jalan Indralaya kami juga tidak melihat ada penjual sarapan di
pinggir jalan. Untuk daerah yang tidak terlalu sibuk, kelihatannya sarapan di
luar rumah bukanlah suatu kondisi yang normal. Sungguh berbeda dengan pulau
Jawa, karena hampir di sepanjang jalan yang kami lalui saat touring
kemanapun, penjual bubur ayam, nasi uduk, mie, lontong dan lainnya sudah
bertebaran sejak habis subuh.
Dari Indralaya aku terus memacu si
Kuning kearah Tanjung Raja. Jalan yang masih lengang namun dengan kondisi yang
tidak terlalu mulus tidak membuat si Kuning kesulitan. Warna hijau yang nampak
dari barisan pepohonan liar yang didominasi dengan pohon pisang di sepanjang
jalan ini sungguh menyejukkan. Dan ternyata tidak membutuhkah waktu yang lama
kami sudah tiba di Tanjung Raja.
Pasar Tanjung Raja cukup ramai di
pagi hari. Banyak petani yang datang dari desa di sekitar kecamatan ini yang
menawarkan hasil kebunnya, petani dari kecamatan lainpun banyak juga yang
berjualan di pasar ini. Di Tanjung Raja juga terdapat pasar hewan yang cukup
besar, aneka ternak seperti sapi, kerbau, kambing, domba bahkan hingga angsa
dan bebek ramai ditawarkan. Pada saat masih kuliah sekitar tahun 1991, aku
beberapa kali diajak oleh temanku berbelanja sapi disini. Dia yang profesinya
sebagai penjual sapi dan daging di Palembang membeli sapi dari pasar hewan
Tanjung Raja. Sapi-sapi itu berasal dari berbagai daerah di Sumatera Selatan,
dibawa dengan menggunakan kapal dan mobil untuk bisa sampai di pasar ini.
Sekali datang ke Tanjung Raja, paling sedikit dia akan membeli lima belas ekor
sapi.
Dari kak Anda, nama sahabatku itu,
aku diajarkan juga cara menaksir bobot sapi. Melihat dari bentuk dan menepuk
beberapa bagian tubuh sapi untuk mengetahui kepadatan dagingnya kita dapat menentukan
berapa berat sapi itu saat berupa karkas setelah dipotong nanti. Dari perkiraan
berat itulah kita menentukan berapa harga sapi hidup tersebut, tawar menawar
dilakukan dengan saling memperlihatkan angka perhitungan di kalkulator
masing-masing. Harga daging yang dipakai sebagai paktokan harga umumnya
standard, selisih harga hanya diakibatkan dari selisih dalam memperkirakan
berat sapi yang akan diperjual belikan.
Selepas dari Tanjung Raja menuju
Kayu Agung, di kiri kanan jalan banyak terlihat sawah yang ditaman penduduk
di daerah rawa. Sawahnya terlihat menghijau menandakan tanah itu subur. Sungai
kecil yang terletak di bibir jalan digunakan juga oleh penduduk sekitar sebagai
sarana transportasi dengan menggunakan perahu-perahu dayung. Sejak kecil
mereka sudah mahir mendayung perahu, membantu orang tuanya membawa hasil kebun
mereka dan juga menggunakannya untuk berdagang.
Gerbang memasuki Kayu Agung |
Di taman kota Kayu Agungpun sepi.
Tidak nampak satu orangpun di taman yang bisa digunakan untuk rekreasi ataupun
berolahraga ini, padahal ini hari Minggu. Mungkin melakukan olahraga pagi bukan
hal yang umum untuk penduduk yang masyarakatnya kebanyakan petani atau
pedagang, entah kalau sore hari nanti…barangkali penduduk akan banyak yang
berekreasi di sini, terutama kaum muda-mudinya. Patung kapal dengan ukuran yang
cukup besar berwarna coklat berdiri dengan megahnya di tengah taman. Cukup
indah untuk taman kota yang ukurannya tidak terlalu luas.
Jalan-jalan di sepanjang lintas
timur Sumatera menyajikan pemandangan yang monoton dan sedikit membosankan.
Yang sedikit berbeda hanya saat berada di Lempuing karena menyajikan
pemandangan rumah-rumah Bali yang banyak memiliki rumah sembahyang yang bentuknya
sangat indah. Patung-patung yang dibalut dengan kain bermotif kotak-kotak putih
dan hitam serta sesajen berupa bunga-bungaan yang menjuntai yang ditempatkan di
altar penyembahan terlihat sangat menarik, suasanya persis dengan yang ada di
pulau Bali.
Tugu Batas Propinsi |
Jam 08.10 kami sudah tiba
di perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung. Aku segera menepikan motor untuk
mengambil photo sebagai kenangan. Istriku yang mungkin kakinya sudah merasa
pegal sempat sempoyongan ketika turun dari motor dan nyaris jatuh ke dalam
semak di pinggir gapura perbatasan. Sebenarnya gapura ini masih terletak di
wilayah propinsi Sumatera Selatan, tidak sampai dua puluh meter lagi ada gapura
yang terletak di propinsi Lampung dengan tulisan “Selamat Datang di Propinsi
Lampung”.
Tugu Perbatasan milik propinsi
Sumatera Selatan ini kelihatan tidak dirawat, sangat kotor dan terdapat
coretan. Di kaki gapuranya rumput dan semak liar tumbuh meninggi. Mungkin tugu
ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting selain hanya sebagai penanda
batas propinsi saja. Namun semestinya tugu ini dibuat sebagus mungkin dan
dirawat dengan baik sebagai gambaran wilayah yang ada di dalamnya. Jika
pemerintah propinsi kesulitan untuk melakukan perawatan bisa saja semestinya
dialih tanggung jawabkan ke pemerintah kecamatan dan diteruskan ke pemerintah
desa, yang penting biaya perawatan tetap menjadi tanggung jawab pemerintah
propinsi. Tapi mungkin ada benarnya juga tugu tersebut memang tidak perlu
dirawat karena sudah melambangkan kondisi propinsi Sumatera Selatan yang juga terlihat
kurang terawat. Hasil observasi di kota Palembang satu hari kemarin ditambah
perjalanan melalui jalan lintas timurnya memberikan gambaran mengenai kondisi
ini.
Jam 08.30, beberapa saat setelah
memasuki daerah Mesuji Lampung, aku kembali mengisi bahan bakar si Kuning
sekalian untuk sarapan pagi. Bekal roti dan minuman isotonic yang semalam
dibeli aku keluarkan dari side box, kemudian kami duduk di teras depan kantor
pegawai SPBU ini, menikmati sarapan dan meluruskan kedua kaki sambil
memperhatikan satu-dua kendaraan yang mengisi bahan bakar.
Setengah jam kemudian kami kembali
melanjutkan perjalanan, menikmati jalan-jalan yang tidak mulus dan mendahului
beberapa truk yang berjalan lambat karena berusaha menghindari lubang. Dengan
muatan yang terkadang sangat tinggi, truk bergoyang-goyang seperti hendak
jatuh. Akupun meliuk-liukkan si Kuning, mengikuti gelombang jalan dan memilih
bagian yang lebih mulus. Dengan torsi motor yang cukup besar dan posisi duduk
yang tegak, melewati jalan seperti ini sungguh bukan suatu hal yang mangesalkan
karena tidak membuat letih dan terasa menyenangkan.
Belum sampai jam sepuluh pagi ketika
kami sudah sampai di pasar Tulang Bawang. Lalu lintas tidaklah begitu ramai, mungkin
karena sudah lewat ”jam pasar”. Menjelang lebaran, pasar Tulang Bawang menjadi
salah satu tempat yang dapat menghambat perjalanan karena macet. Seperti
umumnya pasar di manapun, badan jalan selalu dijadikan tempat berdagang oleh
pedagang kagetan untuk menggelar dagangannya.
Di persimpangan tiga Menggala aku
membelokan motor ke kiri, menuju arah Sukadana. Terkadang si Kuning sesekali
aku pacu sampai kecepatan 127 kilometer perjam, walaupun ada satu dua lubang
disepanjang jalan ini namun aku tidak begitu kuatir karena masih bisa terlihat
dari jarak yang cukup aman untuk menghindar. Apalagi dengan rem ABS yang
tertanam, pengereman menghasilkan gerakan motor yang lembut dan membuatnya
tidak oleng. Tidak jarang istriku mengingatkan untuk menurunkan kecepatan
karena ingin menikmati perjalanan, disamping mungkin karena kuatir terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan.
Masih di daerah Sukadana, namun
telah melalui gerbang “Selamat Jalan” dari kota Sukadana, kami kembali melalui jalan
yang rusak cukup parah. Batu-batu kali dan pecahan yang berukuran besar
menyembul dari jalan yang bergelombang. Mobil-mobil berjalan sangat perlahan,
apalagi mobil truk yang membawa muatan berat. Motor kecil masih bergerak lincah
mencari jalan yang bisa dilewati.
Aku mencoba melewati jalan jelek
tersebut tanpa harus memilih jalan yang bagus, mecoba ketangguhan motor
Kawasaki ini, ground clearancenya yang cukup tingi dengan long travel
suspension seharusnya tidak akan menjadi masalah. Ternyata memang benar, jalan
jelak tersebut dengan mudahnya bisa dilalui, apalagi saat ini kondisinya kering
sehingga aku tidak kuatir roda motor akan slip dan terjatuh.
Di beberapa tempat yang kondisinya
jelek berhasil kulalui dengan aman, namun di jalan yang sedikit menanjak dengan
lubang yang cukup dalam di penghujung daerah Sukadana aku salah memperkirakan ketinggian
tepi lubang dengan bagian bawah motor saat mencoba mendahului mobil innova
hitam yang bergerak pelan. Suara halus yang seharusnya keluar dari knalpot
kawasaki Versys ini tiba-tiba berubah menjadi bunyi yang keras menakutkan…trototototototot….
Aku dan istri terkejut, beberapa
pengemudi motor dan mobil menoleh ke arah kami begitu mendengar bunyi mesin
yang tidak lagi merdu dengan suara yang cukup memekakkan. Namun aku tidak
segera berhenti dan memperkirakan bunyi itu pasti berasal dari bagian tabung
knalpot yang robek karena tergesek batu.
Si Kuning masih saya kujalankan,
melalui lagi beberapa jalan yang jelek. Namun saat melalui jalan mulus, baru
terasa bahwa powernya gembos. Tarikannya menjadi loyo dan akselerasinya benar-benar
memble. Wah, ini berarti aku harus cepat berhenti untuk memastikan kerusakan
yang terjadi pada knalpot tersebut.
Nungging periksa knalpot |
Aku menepikan motor pada sisi jalan yang agak
lapang. Setelah aku dan istriku turun, aku segera jongkok dan mengintip bagian
bawah si Kuning. Ternyata sambungan saluran buang dari mesin dengan saluran
masuk tabung knalpot terlepas dan terlihat kempot. Melihat dari baut yang
terpasang aku memperkirakan bahwa posisi baut ini lebih mendekati tanah
dibanding tabung knalpotnya sehingga baut tersebut tersangkut dibatu.
Seandainya diposisikan nol derajat atau benar-benar horizontal, mungkin batu
tersebut hanya akan menggesek tabung knalpotnya saja.
Tidak berapa jauh dari tempat kami
berhenti, ada bengkel motor yang halamannya cukup luas. Motor segera aku
masukan ke halaman bengkel. Orang-orang yang ada di bengkel melihat ke arah
kami begitu mendengar ada suara trotototototot…
Aku permisi dengan pemilik bengkel
untuk menumpang memperbaiki knalpot karena tiga montir yang ada kulihat sedang
sibuk memperbaiki kendaraan lain. Kalau harus menunggu aku kuatir akan
kehilangan banyak waktu, jadi lebih baik aku kerjakan sendiri saja terlebih dulu.
Mbengkel |
Aku membuka side box, kemudian mengeluarkan
kunci L dan kunci shocket. Bagian aksesoris di samping Versys banyak
menggunakan baut dengan kepala untuk kunci L. Istriku duduk di bangku panjang yang
terletak di teras bengkel sambil melihatku mulai membongkar bagian demi bagian
samping motor supaya bisa melepaskan tabung knalpot.
Selagi aku masih sibuk berkutat
mengatasi masalah ini, istriku yang tidak bisa menahan rasa laparnya mengajak
untuk mencari makan siang lebih dulu dengan alasan kuatir sakit mag-nya kambuh.
Aku yang selalu kehilangan nafsu makan bila sedang asyik mengerjakan sesuatu
mempersilahkannya untuk makan sendiri. Nanti setelah selesai memperbaiki
knalpot, mudah-mudahan selera makanku akan timbul kembali.
Setengah jam kemudian, salah satu
montir yang telah selesai memperbaiki motor datang membantuku. Aku meminta
diambilkan besi bulat atau pipa tebal untuk membundarkan kembali bagian ujung
knalpot dan clampnya yang penyok.
Dibantuin Montir |
Setelah
pekerjaan ini selesai, berikutnya adalah mengembalikan tabung knalpot tersebut
ketempatnya semula dan memasang kembali semua tutup body di samping kiri dan
kanan. Ketika mesin dihidupkan dan gas dibuka agak besar, bunyi yang keluar dari
knalot sudah kembali halus. Aku menarik nafas lega. Walaupun harus kehilangan
waktu hampir satu setengah jam, namun bunyi trotototot yang memekakkan telinga sudah
tidak terdengar lagi dan berharap tarikan si Kuningpun menjadi enteng kembali.
Di
jalan yang cukup mulus, aku mencoba untuk memacu kecepatan sampai 125 kilometer
perjam, juga mencoba akselerasinya dengan melakukan pemindahan dari gigi besar
ke gigi kecil saat hendak mendahalui kendaraan di depan dengan jarak yang cukup
dekat. Alhamdulillah semua sudah kembali seperti semula.
Macet menjelang Bakauheuni |
Menjelang
masuk ke area pelabuhan ternyata sangat macet karena banyak truk dan mobil yang
antri menuju pelabuhan. Aku berusaha selap-selip mencari celah agar tidak
tertahan dalam antrian ini. Dengan posisi mengemudi yang tegak, apalagi setelah
aku pasang penambah tinggi dudukan setang, kegiatan selap-selip ini cukup mudah
bisa dilakukan. Sekitar jam 14.30 kami sampai di pelabuhan Bakauheuni dan
menuju dermaga satu setelah membayar karcis masuk. Namun sayang, kapal yang
tengah bersandar dan bersiap berangkat sudah penuh sehingga kami diminta untuk
menunggu kapal ferry berikutnya yang akan berangkat sekitar setengah jam lagi.
Menunggu naik ke Ferry |
Sambil
menunggu naik ke dalam kapal ferry berikutnya, aku duduk di depan kedai minum
dan memesan segelas white coffe untuk menghilangkan kantuk yang mulai datang. Istriku
yang melihat rumah makan berada disebelah kedai ini menawariku untuk makan
siang. Karena masih malas makan aku minta suaya dibungkuskan saja dengan lauk
sepotong ayam dan sepotong rendang untuk di makan di atas kapal.
Setelah tiga
puluh menit, akhirnya aku diminta petugas untuk naik ke atas kapal. Dengan
berjalan kaki istriku naik lebih dahulu melalui jembatan kendaraan untuk
mengambil photo dan mencoba mencari ruang ekskutif supaya bisa lebih nyaman
beristirahat nanti. Ada banyak motor yang juga akan menyebrang ke Merak, namun
hanya aku yang menggunakan motor besar dalam penyeberangan kali ini.
Naik ke Ferry |
Walaupun
belum masuk hari libur yang panjang, ternyata banyak juga mobil dan motor yang
naik ke atas kapal. Kendaraan ini tempatkan di dek atas, sementara truk di
tempatkan di dalam lambung kapal. Kondisi kapal ferry ini kelihatan tidak baik,
mungkin hanya memenuhi syarat laik berlayar saja. Banyak cat yang sudah
terkelupas dan memudar, sebagian ada yang mulai keropos dan karatan. Seperti
kebanyakan fasilitas umum yang ada di Indonesia, walaupun dek tempat parkir
motor cukup jauh dari kamar mandi namun bau pesing masih bisa tercium sampai
tempat ini.
Ternyata
ruang eksekutif dalam kapal ferry ini tidak sebagus kapal ferry sebelumnya yang
kami tumpangi saat menyeberang dari Merak ke Bakauheuni. Disamping telah penuh
terisi, kursi yang adapun sudah banyak yang kondisinya rusak. Bayangan bisa
tidur diatas kursi hilanglah sudah, berganti dengan pemandangan yang cukup
membuat tubuh semakin lelah.
Setengah
jam sudah kami berada di atas kapal namun belum juga terdengar bunyi tooooott
yang panjang tanda kapal akan berangkat, entah sedang menunggu apalagi. Karena
mulai terasa lapar, aku keluarkan bungkus nasi dari dalam kantong kresek hitam,
kemudian memakannya dengan cepat. Daging ayam dan rendang yang sudah mulai
mengeras karena mungkin terlalu sering dihangatkan kali ini terasa enak.
Karena
mengantuk, aku mencoba untuk tidur sambil duduk. Penumpang di ruang eksekutif
ini bertambah ramai, bau keringat mulai menebar, mungkin juga termasuk
keringatku yang mengalir deras saat memperbaiki motor tadi. Aku melepas sepatu
supaya kakiku bisa “bernafas” dan mengeringkan keringat. Alhamdulillah,
ternyata tidak ada aroma yang tidak sedap yang keluar. Aman, artinya tidak akan
ada penumpang lain yang bakal protes.
Beberapa
saat kemudian terdengar suara khas ttoooooottt yang panjang, dari jendela aku lihat
kapal mulai bergerak perlahan meninggalkan dermaga. Tali temali mulai ditarik
dan digulung. Di sebelah tempat kami duduk, seorang bapak tua yang kelihatan
seperti pensiunan tentara sedang asyik menceritakan kelebihan salah satu calon
presiden yang menjadi jagoannya dalam pilpres mendatang, berharap dua orang ibu
yang menjadi pendengarnya akan ikut memilih calon yang sama. Suaranya terdengar
begitu berapi-api.
Suasana
di kapal ferry kali ini terasa menjemukan, ditambah lagi rasa kantuk yang
semakin berat namun tidak bisa aku salurkan. Di depan ruangan terdengar suara
penyanyi yang sambil bermain orgen menyanyikan lagu-lagu yang ngetop pada era
tahun 80-an. Sesekali dia mengajak para penumpang untuk maju ke depan dan ikut
bernyanyi.
Di anjungan ferry |
Setelah
beberapa jam kapal berlayar aku belum juga bisa tidur walaupun rasa mengantuk
menyerang begitu hebat. Berkali-kali mulutku menguap dan membuat mata berair.
Mungkin ini karena pengaruh minum white coffe tadi. Akhirnya aku mengajak
istriku untuk berphoto di anjungan kapal. Angin sore yang bertiup kencang
membuat udara menjadi sejuk. Di anjungan ini banyak orang yang duduk-duduk dan
berdiri di pinggir kapal untuk melihat pemandangan laut. Dari jarak yang tidak
terlalu jauh pelabuhan Merak sudah terlihat. Paling lama mungkin empat puluh
menit lagi kapal akan merapat. Barisan cerobong asap pabrik juga terlihat cukup
jelas, cerobongnya yang tinggi menjulang mengeluarkan asap berwarna putih
keabu-abuan. Di sebelah kanan kapal ferry ini, aku juga melihat banyak
kapal-kapal kecil milik nelayan yang bergerak menuju keramba yang terapung dan
bergerak naik turun dipermainkan gelombang laut.
Keburuntungan
ternyata belum mau berpihak pada kami. Karena menunggu antrian untuk berlabuh,
kapal ferry ini harus berhenti dalam jarak yang sebenarnya sudah dekat dekat
dermaga. Aku menggerutu dan mengomel, harapan untuk bisa sampai di Bogor
sekitar jam sepuluhan malam sulit untuk bisa terjadi. Semakin malam akan
semakin lambat pula laju motor untuk antisipasi kondisi jalan yang kurang bagus
disamping jarak pandang yang terbatas. Belum lagi bayangan akan daerah rawan
setelah daerah Jasinga membuatku cukup kuatir karena saat ini aku berboncengan
dengan istri.
Tepat
jam tujuh malam, kami baru turun dari kapal. Indikator penunjuk bahan bakar si
Kuning sudah menunjukkan posisi seperempat karena saat di Lampung tadi aku
sengaja mengisinya hanya satu kali supaya bisa mengisi dengan pertamax sampai
penuh saat di Cilegon nanti. Menggunakan premium dengan nilai oktan yang
rata-rata hanya 88 membuatku tidak nyaman karena takut dapat merusak fuel pump.
Setelah
mengisi bahan bakar, kami memutuskan untuk menginap saja di Serang karena jam
sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Disamping mengantuk, aku juga
masih kuatir dengan kondisi jalan yang akan kami lalui karena saat touring ke pantai
Carita bulan Februari yang lalu kondisi jalan di daerah Pandeglang, Rangkas
Bitung dan Jasinga masih ada yang cukup jelek.
Jam
delapan malam lewat beberapa menit kami sampai di hotel Mahadria yang terletak
di jalan Ki Mas Jong kota Serang. Setelah memarkirkan motor di depan lobby aku
dan istri segera menuju receptionist untuk menanyakan kelas kamar yang
tersedia. Hotel ini tidak begitu ramai oleh tamu yang menginap, sehingga masih
banyak pilihan kamar yang tersedia. Setelah berunding singkat, kami memutuskan
untuk mengambil kamar type deluxe saja karena disamping harganya cukup murah,
juga karena kebutuhannya hanya untuk tidur, besok jam lima pagi kami sudah
harus berangkat lagi menuju Bogor supaya sampai di sana nanti tidak terlalu
siang.
Alarm
dari HPku berbunyi keras, akau membuka mata dan melihat ke jam tangan, jam 04.30.
Aku masih mengantuk, tidur yang dimulai dari jam sembilan tadi malam ternyata
belum bisa menghilangkan rasa kantuk yang mendera. Istriku telah selesai mandi
dan bersiap untuk sholat subuh, adzan belum berkumandang. Aku mencoba untuk
berdiri, setelah menggeliatkan badan dan mengambil handuk aku segera menuju
kamar mandi.
Setelah
menyerahkan kunci kamar ke petugas hotel, kami mulai bersiap-siap untuk
melanjutkan perjalanan pulang. GPS aku hidupkan dan mulai memilih kota Bogor
sebagai tujuan akhir. Namun baru beberapa saat hidup, mendadak GPS ini langsung
mati. Aku coba untuk hidupkan lagi…kali ini malah mati saat sedang proses searching.
Kucoba lagi, mati lagi…sampai beberapa kali.
Akhirnya aku menggunakan google maps dari HPku
dan langsung memasukan Bogor sebagai destination. Tanpa memeriksa route jalan
yang dipilihkan google, aku langsung saja mengikuti arah yang ditunjukkan atas
instruksi istriku, dia yang duduk diboncengan bertindak sebagai navigator
karena aku tidak mempunyai HP holder di motor ini.
Baru
saja jalan beberapa ratus meter, aku merasa ada yang tidak beres dengan jalan
yang akan kami lalui karena mengarah ke jalan yang kecil, mungkin jalan
perumahan. Aku menanyakan ke istriku apakah sesuai dengan jalan yang
ditunjukkan google maps, dia seperti kebingungan dan berkata “Kelihatannya
berlawanan, kang…” oalah…ternyata memang berlawanan, seharusnya saat
dipersimpangan tiga tadi aku mengambil ke arah kanan, ternyata malah
diinstruksikan belok ke kiri.
Apa
boleh buat, si Kuning aku putar balik. Jalan masih sepi, baru dua tiga mobil
dan motor saja yang nampak di jalan. Dengan menghidupkan fog lamp supaya jalan
kelihatan lebih terang, aku memacu motor dengan kecepatan 90 sampai 100
kilometer perjam, mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh google maps.
Macet di pasar Tambak |
Menjelang
pukul enam kurang, aku baru sadar kalau ternyata google maps mengarahkan untuk
melalui jalur Tangerang kembali setelah kami terjebak dikemacetan pasar Tambak.
Jalan yang sebenarnya sangat lebar ini benar-benar macet total. Semua jalan
dipenuhi oleh motor dan mobil dengan arah yang sama, padahal ini bukan jalan
satu arah. Dari arah berlawanan, semua jalan juga tertutup oleh kendaraan
dengan arah yang sama berawanan dengan arah kami. Benar-benar kacau, entah siapa
yang memulai untuk saling serobot.
Hampir
empat puluh menit kami tertahan di pasar Tambak ini, bergerak maju sangat
sedikit. Saat aku tanya, pengemudi motor disebelah menerangkan bahwa setiap
pagi sebelum jam enam sampai jam delapan jalan ini selalu macet karena di depan
ada persimpangan empat dan semua pengemudi selalu saling serobot, walaupun ada
traffic lightnya. Tidak peduli lampu berwarna merah, mereka tetap saja jalan. Wuaaaalaah….…
Hanya
lewat beberapa puluh meter dari persimpangan empat pasar Tambak, jalan sangat
lengang. Aku lajukan si Kuning dengan kecepatan yang cukup tinggi. Jalan yang
lebar dengan kerusakan yang sedikit membuatku dengan mudah untuk meliuk-liukan
motor ber-cc 650 ini. Saat kondisi jalan begini, Versys 650 terasa sangat
ringan seperti sedang mengendarai scoopy saja. Akselerasinya yang cukup cepat dengan
tenaga yang tebal tidak membuat mental menjadi lelah saat ingin segera take
over kendaraan di depan.
Di
depan Indomart di jalan raya Serang - Tangerang kami berhenti untuk membeli
minuman sekalian sarapan karena kebetulan ada penjual lontong sayur yang tengah
mangkal disitu. Awalnya, istriku yang merasa tampilan lontong sayur ini berbeda
dengan lontong sayur yang pernah dijumpainya spontan menanyakan apa nama
makanan itu. Ketika penjual menyebutnya lontong sayur, alisnya langsung
berkerut dan berguman “Kirain jenis makanan baru…eh, ternyata lontong sayur…”
Aku tersenyum sambil terus menyuapkan potongan lontong ke dalam mulut.
Selesai
makan lontong, beristirahat dan buang air kecil, kami bersiap-siap lagi untuk
melanjutkan perjalanan. Matahari mulai merangkak naik, namun panasnya belum
terasa. Lalu lintas mulai menggeliat, kendaraan di jalan mulai membanyak.
Beberapa kilometer di depan mungkin ada pabrik karena pengemudi motor yang aku
lihat banyak yang mengenakan seragam dan sepatu kerja.
Sebelum
berangkat aku masih sempat bertanya dengan penjaga Indomart yang sedang menyapu
teras depan jalan terpintas menuju Bogor. Dia yang ternyata berasal dari
Tasikmalaya menjelaskan dengan begitu detil..bla-blanya…melalui jalan ini dan
melalui jalan itu. Dia juga menyarankan untuk masuk melalui komplek perumahan
??? (lupa perumahan apa) supaya jalannya lebih singkat. Hampir sebulan sekali
dia pulang ke Tasikmalaya dengan menggunakan motor bebeknya. Yang kuingat,
jalan yang diberitahunya adalah melelalui jalur gunung Sindur. Membayangkan
gunung Sindur, aku langsung menghayal akan bisa mendapatkan pemandangan bagus
khas daerah pegunungan dengan udaranya yang sejuk. Semoga.
Karena
sebenarnya masih belum begitu paham dengan jalur yang diterangkan, sudah tentu
aku tetap menggunakan google maps karena GPS yang terpasang di motor
benar-benar bermasalah. Mendekati persimpangan tiga setelah beberapa kilometer
berjalan, kebingungan mulai terjadi. Google maps menunjukan aku harus memutar
arah untuk segera memasuki jalan yang kelihatannya tidak begitu besar,
sedangkan bila mencoba mengingat petunjuk yang diberikan oleh pegawai Indomart
tadi aku masih harus terus berjalan.
Aku
menghentikan motor dan berunding dengan istriku untuk memilih mana petunjuk
yang harus diikuti. Dan setelah diskusi sebentar, akhirnya kami sepakat untuk
mengikuti jalan yang ditunjukkan google maps.
Si
kuning segera aku putar arahnya dan menuju jalan yang tidak begitu besar di
sisi kanan jalan ke arah kota Tangerang. Jalan ini tidak begitu ramai dan
kelihatannya menuju arah perumahan atau komplek industri. Jalan yang lurus
dengan kondisi yang lumayan bagus ternyata tidak panjang, kurang dari dua
kilometer saja kami sudah disuguhkan dengan kondisi jalan yang sangat jelek,
bergelombang dengan batu-batu kali yang bermunculan dengan ukuran yang besar.
Aku menghentikan motor dan meminta istriku untuk turun saat melalui bagian
jalan yang kuperkirakan dapat menyentuh bagian bawah motorku, kuatir kejadian
seperti di Sukadana-Lampung terulang lagi.
Kemacetan karena pekerjaan pengecoran jalan |
Apa
boleh buat, kali ini petunjuk menuju Bogor harus ditambah dengan feeling dan nanya sana-sini. Seringkali
saat google maps menyuruh belok, aku tetap saja melajukan si Kuning karena
tidak yakin bahwa petunjuknya benar.
Sekitar
jam sembilan lewat beberapa menit, di stasiun pengisian BBM di daerah jalan
raya Rumpin kami berhenti untuk mengisi bahan bakar dan beristirahat. Battery
HPku sudah menunjukkan angka 10 persen saja. Artinya tidak lama lagi petunjuk
jalan hanya tinggal by feeling dan
tanya-tanya saja. Kondisi jalan yang hampir merata jeleknya ditambah petunjuk
jalan yang tidak jelas memang bukanlah hal yang menyenangkan, tetapi jelas akan
membuat rasa bahagia yang lebih disaat berhasil melaluinya.
Sebelum
menyalakan mesin si Kuning saat mau melanjutkan perjalanan tiba-tiba aku
teringat membawa power bank yang dalam kondisi penuh. Aku segera membuka tank
bag dan mengeluarkan power bank tersebut, kemudian menyambungkan kabelnya ke HP
dan memberikannya ke istriku.
Kami
segera melaju kembali, jalan masih kecil dan jelek juga ramai. Dari google maps
kelihatan jarak tempuh sebenarnya hanya tinggal sekitar delapan puluh
kilometeran saja, jadi kalau kondisi jalan lumayan bagus, dalam waktu sejam
lebih sedikit kami sudah bisa sampai ke Bogor.
Rombongan kerbau |
Sepanjang
jalan yang kami lalui benar-benar jalur enduro. Bayangan melalui rute gunung
Sindur akan mendapatkan pemandangan yang indah pupuslah sudah. Sepanjang daerah
Rumpin jalannya benar-benar rusak dan sebagian menjadi licin karena disiram
supaya tidak berdebu. Menumpuh jaur ini benar-benar butuh ekstra kehati-hatian,
apalagi ada beberapa titik yang jalannya naik turun dan berbelok. Belum lagi di
sebagian jalan yang tengah diperbaiki, debunya tebal beterbangan dan menempel
sehingga motor dan tubuh kami menjadi putih sebagian. Hanya ada sebagian kecil
saja jalan yang punya pemandangan indah sawah yang hijau dan bukit (mungkin
gunung Sindur) serta penggembala yang sedang menggembalakan kerbaunya dalam
jumlah yang banyak.
Sesampai
di jalan haji Miing, kondisi jalan belum juga membaik. Di beberapa lokasi
sedang dilakukan pengecoran jalan sehingga terjadi kemacetan yang panjang.
Beberapa kali juga aku harus mengendalikan si Kuning sampai ke pinggir jalan
yang licin supaya bisa tetap lewat saat ada mobil dari arah berlawanan di jalan
yang sedang di concrete tersebut.
Selepas
dari jalan Haji Miing kami memasuki jalan Satelit Ranca Bungur, di jalan inipun
kondisinya setali tiga uang. Namun kami sudah mulai bisa bernafas lega karena
jarak ke Bogor sudah semakin dekat dan arahnya semakin jelas. Kemacetan mulai
semakin terasa karena banyaknya jalan yang sedang diperbaiki. Tidak sedikit
pengemudi motor dan penduduk di pinggir jalan yang memperhatikan kami. Body
motor yang besar, side box pannier yang nempel di sisi kanan dan kiri, serta
perlengkapan touring yang kami kenakan plus banyaknya debu yang melekat di
motor dan badan kami mungkin menjadi hal yang cukup menarik perhatian mereka.
Dari
jalan Satelit Ranca Bungur kami masuk ke jalan Cagak Ranca Bungur, jalan yang
bergelombang dengan lobang di sana-sini ternyata sangat asyik untuk dilalui
dengan menggunakan Kawasaki Versys ini. Benar-benar terasa suasana enduronya.
Ayunan motor ini yang dilengkapi dengan shock buatan Showa tidak membuat hentakan keras pada motor, apalagi bila melalui
kondisi jalan tersebut sambil berdiri. Benar-benar mengasyikkan.
Akhirnya
sampai jugalah kami di jalan letkol Atang Sandjaya sekitar jam sepuluhan. Dari
sini untuk sampai rumah hanya membutuhkan waktu setengah jam kalau dalam
keadaan normal alias tidak macet. Kami merasa lega karena akhirnya sampai juga
di Bogor. Si Kuning aku lajukan cukup kencang, bergerak lincah mendahului
kendaraan lain. Kelakson hela yang terpasang dengan suara “tooot”nya yang
kencang sangat membantu untuk membuat motor kecil yang sering berjalan di
tengah dengan kecepatan yang lambat untuk segera berpindah ke pinggir.
Sebelum
memasuki cluster perumahan kami, aku dan istri berhenti di pertokoan epicentrum
BNR untuk membeli mirai ocha pesanan
Rafif. Badan yang berdebu, motor yang kotor dan tubuh yang lelah, terbayar
sudah dengan pengalaman yang kami dapatkan. Segala kesulitan dan tantangan yang
kami hadapi adalah sebuah latihan dalam menghadapi perjalanan hidup yang tidak
bisa diprediksi, disamping tentunya touring ini juga adalah salah satu upaya
untuk terus membangun kebersamaan dan rasa cinta di antara kami berdua (TAMAT –
sampai bertemu di perjalanan touring berikutnya).
No comments:
Post a Comment